Mengurai
Sengketa Newmont
Maruarar
Siahaan ; Mantan Hakim Mahkamah
Konstitusi
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 25 Mei 2012
Langkah pemerintah membeli 7 persen saham
divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tidak berjalan mulus. Niat turut serta
mengelola sendiri kekayaan negara tersebut justru memantik sengketa kewenangan
di antara lembaga negara.
Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkan
kebijakan pemerintah itu tanpa melalui persetujuan mereka. Padahal DPR juga
memiliki kewenangan legislasi dan pengawasan anggaran. Pandangan DPR ini
didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Sengketa ini pun memuncak ke Mahkamah
Konstitusi.
Sengketa kewenangan tersebut mengungkap
adanya supremasi parlementer yang bersandar pada tiga undang-undang, yaitu
undang-undang yang menyangkut keuangan negara, undang-undang mengenai
perbendaharaan negara, dan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan
keuangan negara. Patut dipahami, tiga undang-undang tersebut dibuat pada 2000.
Artinya, konsep dan paradigmanya adalah yang berlaku pada saat itu. Padahal
saat ini sudah terjadi perubahan ke arah supremasi konstitusi berupa mandat
langsung dari rakyat ke presiden.
Sengketa kewenangan terjadi karena
masing-masing lembaga negara berbicara dalam ukuran dan parameter yang
berbeda-beda. Seharusnya, pandangan atau alat ukur yang dipakai sama karena
konstitusi merupakan hukum dasar. Perubahan atau amendemen UUD 1945 turut
menggeser supremasi parlemen ke sistem pemerintahan presidensial. Tapi
amendemen UUD itu menyebabkan adanya beberapa kewenangan yang dimiliki lembaga negara
secara bersamaan dengan lembaga yang lain. Kerancuan akan timbul ketika wilayah
kewenangan itu mulai ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing pihak,
sehingga berujung sengketa kewenangan.
Kewenangan presiden termaktub dalam tiga
aturan. Pertama, Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan. Kedua, Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 bahwa anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang. Ketiga, Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 bahwa presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Dengan menganut sistem presidensial, presiden
adalah real executive, kepala pemerintahan, sekaligus kepala negara dan
dibantu Menteri Keuangan dalam mengurus keuangan negara. Dalam Pasal 7 UU No.
1/2004 tentang perbendaharaan negara disebutkan, salah satu kewenangan Menteri
Keuangan selaku bendahara umum negara adalah menempatkan uang negara dan
mengelola atau menatausahakan investasi.
Investasi vs Penyertaan Modal
Meski mengantongi modal konstitusi dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya,
pemerintah menghadapi polemik mengenai
investasi dan penyertaan modal dalam pembelian saham divestasi Newmont. Dalam
memandang polemik itu, kita bisa mengacu pada dua aturan. Pertama, Pasal 41 UU
No. 1/2004 bahwa pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang dalam
bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung.
Aturan ini sama sekali tidak
menyebutkan adanya persetujuan DPR.
Kedua, Pasal 24 ayat 7 UU No. 17/2003 tentang
keuangan negara. Pasal itu menyatakan: "Dalam keadaan tertentu, untuk
penyelamatan perekonomian nasional, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman
atau penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan
DPR.” "Keadaan tertentu dan penyelamatan perekonomian nasional" itu
merujuk pada keadaan yang luar biasa dan dapat dikatakan krisis. Contohnya
adalah kondisi krisis tahun 1998-1999. Jadi, keadaan tertentu itu tidak
meliputi divestasi 7 persen saham Newmont.
Dalam keadaan normal, pemisahan kekuasaan
presiden dalam sistem presidensial harus memiliki keleluasaan atau diskresi
menyelenggarakan kekuasaan tanpa intervensi cabang kekuasaan lain. Pembelian 7
persen saham Newmont sesuai dengan kewenangan konstitusional pemerintah seperti
disebutkan dalam Pasal 4 dan Pasal 33 UUD 1945. Dengan memiliki akses terhadap
data kekayaan negara yang diambil, pemerintah dapat mengawasi royalti dan
pendapatan negara lainnya bagi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Adapun Pasal
41 UU No. 1/2004 mengatur kewenangan pemerintah melakukan investasi jangka
panjang yang tidak mensyaratkan persetujuan DPR.
Pendapat DPR yang bersandarkan pada Pasal 24
ayat 7 UU No. 17/2003, bahwa pembelian saham divestasi Newmont harus lewat
persetujuan parlemen, merupakan tafsir yang sangat tekstual dan individual.
Pendapat itu juga mengabaikan sistem pemerintahan presidensial dengan pemisahan
kekuasaan sebagai paradigma yang dianut dalam Perubahan UUD 1945.
Sebagai saksi ahli dalam sidang kasus
sengketa kewenangan lembaga negara tersebut, saya juga menyampaikan ke majelis
hakim Mahkamah Konstitusi bahwa pemerintah, sebagai penyelenggara pemerintahan,
berwenang secara konstitusional dalam pembelian 7 persen saham divestasi
Newmont. Kewenangan ini tidak memerlukan persetujuan DPR. Sementara itu,
penggunaan pasal yang menyatakan perlu persetujuan DPR merupakan konsepsi
sistem pemerintahan parlementer dan tidak sesuai dengan konstitusi. Hal ini
juga telah mengganggu kewenangan konstitusional Presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar