Minggu, 27 Mei 2012

Haruskah Loan to Value 70% Ditunda?


Haruskah Loan to Value 70% Ditunda?
David Kiki Samosir ; Finance & Admin Head Sinar Mas Land
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 26 Mei 2012



SURAT permohonan yang ditujukan Real Estate Indonesia (REI) kepada Bank Indonesia (BI) agar loan to value (LTV) 70% ditunda merupakan usulan yang wajar dengan melihat penundaan penaikan harga BBM.

Apabila penaikan harga BBM berjalan seperti apa yang direncanakan, usulan penundaan pemberlakuan LTV mungkin tidak akan terjadi. Artinya, wibawa dan kematangan regulator memang sudah teruji. Kesiapan mental masyarakat dan pelaku bisnis pun sudah lebih baik saat ini.

Bank Indonesia sebagai otoritas bidang moneter mempunyai kewenangan untuk memberlakukan atau menunda LTV 70% tanpa harus memanggil REI selaku asosiasi perusahaan properti dan real estat di Indonesia untuk berdiskusi dan menyiapkan aturan.
Kekhawatiran REI atas pengetatan uang muka sebesar 30% boleh dikatakan terlalu berlebihan. Selama ini, uang muka yang berlaku di pasar sebesar 0%. Akibat yang mungkin terjadi yaitu market rumah kecil akan berkurang karena kemampuan keuangan calon konsumen dan mereka mungkin akan menunda untuk memiliki rumah dengan alternatif menyewa rumah sampai uang muka terkumpul.

Begitu juga kekhawatiran BI terhadap bubble sebaiknya jangan terlalu tinggi, melihat rasio kredit perumahan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 3% masih tergolong rendah.

Penundaan pemberlakuan LTV sudah tentu akan menguntungkan bisnis properti dan perbankan, apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tumbuh. Peningkatan penjualan properti berkorelasi positif terhadap peningkatan pemberian kredit pemilikan rumah (KPR). Penundaan itu, meskipun baik bagi bisnis di sektor real estat, tidak baik bagi Bank Indonesia sebagai regulator. Selain terkesan tidak tegas dan well planning, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa berkurang.

Bila melihat kinerja perusahaan real estat dan properti sejak keluarnya surat edaran dari Bank Indonesia terhadap rencana pemberlakuan LTV 70%, itu ternyata secara signifikan tidak terganggu. Hal tersebut dapat dilihat dari data pergerakan indikator harga saham perusahaan properti yang sudah listed di Bursa Efek Indonesia. Pada umumnya, pengembang bahkan melakukan ekspansi bisnis di 2012 dengan meningkatkan target penjualan dan penambahan land bank.

Hal tersebut dilakukan karena permintaan akan rumah tinggal sebagai kebutuhan pokok terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi saat ini sebesar 6,3%. Menurut pakar properti Panangian Simanungkalit, pertumbuhan permintaan properti di 2012 mencapai 20%-30%.

Kinerja bisnis properti di kuartal I 2012 pada umumnya baik. Beberapa pengembang besar membukukan kenaikan pendapatan usaha jika dibandingkan dengan tahun lalu. Pendapatan usaha BSD, misalnya, mencapai Rp 800 miliar atau naik 28,9% dari tahun lalu. Adapun PT Lippo Cikarang membukukan pendapatan usaha Rp254 miliar atau naik 95,68% jika dibandingkan dengan tahun lalu, sedangkan Sumarecon Agung membukukan pendapatan Rp814,3 miliar atau naik 103,9% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Begitu juga penjualan Agung Podomoro sebesar Rp1,21 triliun atau naik 8% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Memang, penerapan LTV akan berpengaruh sementara pada bisnis properti karena kebutuhan akan rumah merupakan kebutuhan pokok. Kondisinya sangat berbeda dengan kendaraan bermotor yang bukan jenis kebutuhan pokok. Permintaan akan kebutuhan rumah atau tempat tinggal terus meningkat, tidak sebanding dengan penawaran. Pertambahan penduduk seperti deret ukur, sedangkan pertambahan rumah dan tempat tinggal seperti deret hitung. Pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat tinggal tidak dapat dilakukan seperti produk lain atau pabrikasi, yaitu sesuai dengan permintaan: apabila ada permintaan 1.000 unit akan diproduksi secara massal 1.000 unit.

Penawaran produk rumah harus direncanakan sesuai dengan besarnya lahan, tema produk, infrastruktur, fasilitas umum, fasilitas sosial, lingkungan komersial, dan lain–lain. Pemenuhan kebutuhan pokok tidak bisa dihindari atau dibatalkan. Kondisi terburuk yang mungkin terjadi ialah penundaan pemenuhan kebutuhan, contohnya rumah atau tempat tinggal.

Di lain pihak, industri perbankan sebagai agent of development melakukan perannya dalam mendukung masyarakat untuk memiliki rumah sebagai kebutuhan pokok dan mendukung pertumbuhan ekonomi di sektor riil dengan memberikan dukungan pendanaan proyek properti melalui pinjaman kredit pemilikan rumah atau KPR. Beberapa bank sudah merespons regulasi LTV 70% dengan menciptakan beberapa strategi dan produk baru. BII, misalnya, menciptakan produk KPR bebas bunga, BNI membatasi pemberian pinjaman untuk KPA dan membatasi pinjaman pemilikan rumah yang kedua, BTN merencanakan peluncuran produk KPR jangka waktu 25 tahun, BCA menawarkan bunga 8% selama 55 bulan, Panin Bank menawarkan suku bunga KPR 7,88% fixed 1 tahun, dan Bank Mandiri menawarkan KPR tetap (fixed) 2 tahun sebesar 7,5%.

Sebaiknya perlu dicari solusi yang menguntungkan semua pihak, baik kepada pelaku bisnis di bidang properti, kepada masyarakat yang membutuhkan rumah sebagai kebutuhan pokok, pihak industri perbankan sebagai agent of development, maupun terhadap Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang mengatur perekonomian yang saat ini sedang tumbuh.

Bagaimanapun, syarat kredit konsumsi yang lebih ringan akan memicu terjadinya kemacetan pembayaran dan menghambat pertumbuhan ekonomi atau bubble. Perilaku konsumen akan terdorong lebih konsumtif ketimbang menabung.

Karena itu, pemberlakuan LTV 70% sebenarnya tidak perlu ditunda asal semua pihak yang berkepentingan melakukan berbagai langkah. Misalnya, industri properti bisa mengembangkan rumah tipe kecil yang luasnya di bawah 70 m2 dengan harga terjangkau serta mengatur perpanjangan jangka waktu pelunasan uang muka. Lalu, industri perbankan sudah saatnya efisien dalam mengatur biaya operasional (copo) agar suku bunga tetap bersaing. Bank Indonesia sebaiknya mengatur tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah ke-2, rumah ke-3, dan seterusnya sehingga suku bunga KPR untuk rumah pertama harus lebih rendah. Namun, bagi masyarakat, kepemilikan rumah harus menyesuaikan dengan penghasilan terutama untuk kepemilikan rumah pertama.

Jika langkah-langkah itu bisa dilakukan secara maksimal oleh semua pihak yang berkepentingan, LTV 70% niscaya tidak perlu ditunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar