Mendorong
Pembangunan Peradaban Islam
(
Wawancara )
Bachtiar
Nasir ; Inisiator Pendirian
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Pimpinan Ar-Rahman
Quranic Learning Center (AQL)
SUMBER
: REPUBLIKA,
27 Mei 2012
Pada
Januari lalu, satu lagi organisasi ulama lahir di Indonesia. Di usianya yang
belia, organisasi yang diberi nama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) itu telah mewacanakan berbagai gerakan perubahan. Sang inisiator,
Bachtiar Nasir Lc MM, mengatakan, kehadiran MIUMI adalah untuk membantu
penyelesaian berbagai persoalan umat.
“Umat
Islam di Indonesia belum bersatu,“ ujar Bachtiar mengomentari lemahnya kekuatan
Islam dalam menangkal relativisme yang terus meluas. Dalam perbincangan dengan
wartawan Republika Devi A Oktavika, ia mengungkapkan kegelisahan atas hancurnya
struktur sosial Islam di Indonesia sekaligus optimisme untuk memperbaikinya.
Berikut petikan itu selengkapnya.
Apa yang melatarbelakangi berdirinya
MIUMI?
Semua
berangkat dari kerinduan kami, kalangan aktivis Islam, untuk bergerak lebih
progresif lagi. Kerinduan itu beralasan karena selama ini kita masih bergerak
sendiri-sendiri. Kemudian atas izin Allah SWT, kami yang berasal dari berbagai
latar belakang dengan kerinduan dan semangat yang sama bertemu.
Hal
lain yang mendorong pendirian MIUMI adalah kompleksitas persoalan umat Islam
yang membutuhkan dukungan. Saya yakin, sebagian besar ormas dan lembaga Islam
yang sudah ada telah sibuk dengan berbagai agenda sementara problematika umat
yang begitu besar menuntut langkah penyelesaian yang proaktif. Karena itulah,
kami membidik sisi intelektualitas dan keulamaan.
Bagaimana jika ke depannya MIUMI pun
akan demikian, yakni sibuk dengan agenda tertentu yang membatasi gerakannya?
Tentu
MIUMI juga akan semakin sibuk. Tetapi, setidaknya keberadaan MIUMI bisa
mengurangi beban dan tanggung jawab yang dipikul lembaga-lembaga Islam,
terutama MUI. Bedanya, kita adalah pergerakan yang tidak mendapatkan dana
khusus dari negara.
Selebihnya,
ingin saya tekankan pula bahwa basis pergerakan MIUMI adalah sekumpulan orang
yang ingin berbuat dengan apa yang kita miliki. MIUMI adalah semacam forum
ukhuwah yang sekaligus bekerja dalam tataran strategis. Dengan demikian, MIUMI
tidak punya proyek sendiri seperti lembaga-lembaga yang sudah ada sehingga
tidak tumpang tindih (dengan lembaga-lembaga yang sudah ada itu).
Peran strategis seperti apa yang
akan diberikan oleh MIUMI?
Peran
strategis kami, sesuai tagline adalah
membangun Indonesia yang lebih beradab. Adab di sini tidak mengarah pada etika
dalam bahasa Indonesia, tetapi peradaban atau hadharah dalam pengertian bahasa Arab. Kami di MIUMI akan
membangunnya lewat ilmu dan pemikiran yang dibarengi dengan kerja-kerja
strategis.
Tentang
struktur sosial Islam, kita perlu menyadari bahwa saat ini sendi-sendi sosial
Islam berada di ambang kehancuran. Salah satu indikatornya adalah runtuhnya
tabiat dasar struktur sosial Islam, yakni sabda Nabi SAW, “Al-`ulamaau waratsatu al-anbiyaa.“ (ulama adalah pewaris para
nabi). Tabiat dasar tersebut telah dihancurkan sampai puncaknya. Pernyataan bahwa “fatwa ulama tidak mengikat“
adalah sebagian dari bukti nyata kehancuran tersebut. Di antara dampak tidak
mengikatnya fatwa ulama adalah fenomena Lebaran dua kali yang terjadi di negara
kita. Fenomena-fenomena semacam ini tidak terjadi di negara lain, hanya di
Indonesia.
Melalui
pernyataan semacam itu, kita sadari atau tidak, sesungguhnya struktur sosial
Islam telah dihancurkan sampai puncaknya. Penghancuran itu, pertama, dilakukan
dengan menumbuhkan ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga Islam. Kedua, dengan
merontokkan kepercayaan umat pada syariat Islam. Dan, puncaknya nanti adalah
manusia dibuat tidak lagi mempercayai ulama mereka.
Kembali
pada peran strategis, MIUMI merealisasikannya melalui tiga langkah atau
gerakan, yakni riset, sosialisasi, dan penegakan. Menyikapi kasus penyerangan
terhadap pesantren Syiah di Madura akhir 2011, misalnya, kami mengadakan riset.
Data temuan dari riset tersebut selanjutnya akan kami sosialisasikan pada
lembaga-lembaga yang kompeten, juga pada masyarakat jika memang kapasitasnya
adalah untuk diketahui secara umum. Langkah selanjutnya yang tidak kalah
penting adalah upaya penegakan. Kekuatannya ada pada fatwa sehingga fatwa yang
telah dikeluarkan harus benar-benar ditegakkan. Coba bayangkan bagaimana
jadinya kalau para ulama kita tidak pede
atau bahkan mereka yang berkata, “Fatwa ulama kan tidak mengikat. Kalian ikut
ya syukur, kalau tidak mau ikut ya sudah.“
Di
sinilah MIUMI akan berperan sekuat tenaga. Melalui arus pemahaman Islam, kami
akan membangun peradaban dan kembali menghidupkan roh akidah Islam di tengah
umat.
Berbicara tentang penghancuran
struktur sosial Islam, siapa yang menghancurkannya?
Yang
pasti adalah iblis dan teman-temannya. Dari kalangan manusia, para penghancur
itu termasuk kelompok sekuler, liberal, kaum kafir dan musyrik, dan juga
penganut paham-paham turunan mereka, seperti materialisme dan feminisme.
Undang-Undang
Keadilan dan Kesetaraan Gender (UU KKG) adalah satu contoh di mana sebetulnya
tengah terjadi gelombang tsunami penghancuran perempuan dan rumah tangga.
Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana umat Islam concern terhadap hal itu?
Faktanya,
setelah coba kita selami, hambatan terbesar justru datang dari umat Islam
sendiri, terutama lembaga-lembaga Islam yang besar, termasuk organisasi massa
dan juga akademik. Sekularisme sudah masuk ke mana-mana dan relativisme sudah
merenggut individu-individu di tingkat pemikiran mereka.
Maka, pendirian MIUMI adalah sesuatu
yang urgent untuk menjawab semua kondisi tersebut?
Ya.
Karena itu kami tidak bisa lagi menundanya, meski pada dasarnya kami hanya
bermodalkan semangat. Semangat perjuangan kami itulah yang terwakili oleh kata
“muda“ dalam nama MIUMI. Bukan usia kami yang muda, melainkan semangat
perjuangan kami untuk Islam.
Sejauh
ini, Alhamdulillah respons dan antusiasme tokoh-tokoh dan para aktivis Islam di
Indonesia terhadap MIUMI sangat baik. Antusiasme yang tinggi juga datang dari
kalangan mahasiswa, terutama pascasarjana, yang sedang belajar di beberapa
negara, seperti Arab Saudi, Yordania, dan Jepang. Ke depan, saya juga akan
memenuhi undangan dari beberapa negara lainnya.
Ketika muncul kekhawatiran tentang
kemungkinan persaingan antara MIUMI dan lembaga Islam lainnya pada masa yang
akan datang, apa pendapat Anda?
Sebagaimana
saya katakan, MIUMI lahir untuk mendukung lembaga-lembaga Islam yang telah ada
dalam menghadapi persoalan umat yang luar biasa besar dan berat. Kami tidak
ingin dan tidak akan menjadi organisasi atau lembaga yang konfrontatif.
Intinya, MIUMI akan bekerja sama dengan semua pihak untuk Indonesia yang lebih
beradab.
Selain
itu, MIUMI berbeda dari lembaga Islam lainnya, terutama terkait gerakannya.
Kami bergerak membangun umat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam
yang kental, dengan melibatkan tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya.
Mengapa
kita mengambil jalur ini? Okelah politik penting, ekonomi pun demikian. Tapi,
kalau kita melihat teladan Rasulullah SAW tentang bagaimana kejayaan Islam
dahulu dibangun, kita akan tahu seberapa besar kita akan mampu membangun Islam
melalui ilmu pengetahuan. Dahulu, pada masa Rasulullah SAW banyak membangun
yang namanya madrasah.
Madrasah
yang dimaksud bukan sekolah dalam bentuk institusi pendidikan seperti yang kita
jumpai sekarang, melainkan semacam gerakan ilmu yang dibangun melalui
pengutusan sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Mereka yang memiliki kompetensi
diutus ke tempat-tempat tertentu untuk meneruskan ilmu mereka kepada umat.
Jadi, ada madrasah Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Kufah, Basrah, dan lain
sebagainya.
Nah,
gerakan semacam inilah yang sedang kita coba bangun. Tetapi, gerakan kami
nantinya tidak hanya sebatas pemikiran sehingga kami berjalan di lorong yang
sepi. Kita juga akan berperan strategis melalui tiga langkah tadi, yakni riset,
sosialisasi, dan upaya-upaya penegakan.
Melihat banyaknya persoalan umat
Islam yang tidak terselesaikan di Indonesia, apa sesungguhnya penyebabnya?
Itu karena strategi kerja kita belum
rapi. Bahkan, kalau boleh saya katakan, kerja umat Islam masih serabutan,
kurang bersatu. Lihat saja pemilu, meski mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam, partai Islam tak pernah menang. Kita belum menyeimbangkan kuantitas
dengan kualitas.
Selain
itu, sifat fatwa yang tidak mengikat turut menjadi penyebab lambatnya
penyelesaian persoalan umat. Kekuatan Islam salah satunya terletak pada
kekuatan fatwa. Kita bisa belajar pada Mesir yang selalu bersuara bulat soal
fatwa. Bukan karena tanpa perdebatan, melainkan karena para pemimpin dan ulama
di sana tidak membawa perdebatan mereka ke hadapan publik.
Sejak kapan ulama Indonesia
menempati posisi yang kurang kuat di mata masyarakat?
Sejak
ulama menunjukkan inkonsistensi. Dan, ketidakkonsistenan itu sering kali
terjadi ketika mereka terlibat dalam politik praktis. Politik itu perlu, bahkan
harus ada dalam sistem negara. Hanya, bagi ulama, khususnya, hal itu perlu
dibarengi dengan integritas.
Ketika
ulama atau tokoh agama yang terlibat dalam politik praktis meninggalkan
netralitas dan tidak menjaga citranya maka pada saat yang sama ia telah
menghancurkan kepercayaan publik terhadapnya. Akibatnya, ketika umat tidak lagi
nyaman dengan segala hal yang dikaitkan dengan Islam (partai Islam, politisi
Islam, dan lain sebagainya) karena ketidakpercayaan tadi, jadilah fatwa tidak
mengikat tadi.
Lalu,
apa bahayanya? Kita bisa belajar dari kasus Bani Israil ketika Nabi Musa as
diutus untuk menerima perintah Allah di Bukit Tursina. “Perjalanan dinas“ Musa
as yang seharusnya 30 malam berkembang menjadi 40 malam dikarenakan beliau
tidak berpuasa pada hari ke-30 sebagaimana diperintahkan.
Hanya
dalam tempo 10 malam, 70 orang sahabat Musa as yang ikut serta dalam perjalanan
itu mencaci sang Nabi dan tidak lagi mau memper cayainya walau di situ ada Nabi
Harun AS yang menjaganya. Apa bahaya ketidakpercayaan umat kepada nabinya pada
saat itu? Jadilah umat Nabi Musa AS itu penyembah anak lembu yang terbuat dari
emas.
Jadi,
mengingatkan kembali pada hadis Rasulullah SAW bahwa ulama adalah pewaris para
nabi, kehancuran ulama berarti kehancuran Islam. Islam hancur jika ulama atau
kelembagaan ulamanya hancur. Yang menyedihkan, itu sudah terjadi di Indonesia,
negara di mana fatwa ulama tidak mengikat. Inilah yang harus kita perbaiki
meski harus dengan terseok-seok.
Apa saran Anda untuk mencegah
kehancuran tersebut?
Saya
berharap para ulama tidak bergeser dari dan memegang teguh pesan Rasulullah
SAW. Mereka adalah pewaris para nabi yang seharusnya membekali diri dengan
sifat-sifat serta kualifikasi yang sesuai dengan posisi mulia tersebut.
Adapun
bagi ulama yang harus terjun ke dalam politik praktis, saya menyarankan agar
mereka memahami dan menerapkan apa yang dinamakan teologi kekuasaan. Di sisi lain,
umat pun harus memahami konsep keulamaan itu sendiri berdasarkan firman Allah
dalam surah Fathir ayat 28. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah para ulama.“
Ayat
di atas adalah kriteria dari Allah mengenai keulamaan seseorang. Ilmu seorang
ulama akan membuatnya takut kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang dimilikinya
maka akan semakin besar rasa takutnya. Ikuti mereka (ulama yang sesuai dengan
kriteria tersebut) maka kita akan selamat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar