Minggu, 27 Mei 2012

Akuisisi Bank Nasional


Akuisisi Bank Nasional
Susidarto ; Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 26 Mei 2012



PERTANYAAN siapa yang boleh dan layak memiliki bank di Indonesia kembali mengemuka di tengah wacana dominasi kepemilikan asing terhadap perbankan nasional. Terlebih saat ini DBS Holdings berencana membeli saham dan mengakuisisi Bank Danamon hingga mendekati angka 99%. Terlepas dari dominasi kepemilikan asing pada perbankan lokal yang kini mencapai 51% lebih, apakah benar investor asing tidak layak menguasai bank kita, dan lebih pantas pengusaha (investor) lokal?

Kita perlu berkaca pada pengalaman terkait dengan banking crisis dunia perbankan nasional kita tahun 1998/1999. Waktu itu, bank lokal yang dimiliki pemain lokal, ternyata hanya menyalurkan dana masyarakat ke perusahaan satu grupnya yang notabene milik si empunya bank tersebut.

Saat perusahaan mereka tak mampu membayar kewajibannya maka bank miliknya pun ikut rontok. Akibatnya, waktu itu puluhan bank lokal harus dimasukkan program rekapitalisasi, bahkan banyak yang dilikuidasi. Sejumlah bankir masuk daftar hitam (cekal), dan sebagian menjadi pesakitan karena melakukan moral hazard. Setelah melalui proses penyehatan oleh BPPN (sekarang berubah menjadi PPA, dan terakhir LPS), pemerintah menjual sahamnya ke investor, termasuk asing. Jadi siapa yang salah dalam hal ini?

Masuknya investor asing, terlebih yang kredibel, ke dalam bank lokal sebenarnya memiliki lebih banyak segi positif ketimbang negatif. Dari segi persepsi risiko, bank yang dimiliki investor asing menerapkan manajemen yang lebih solid dan masif. Mereka lebih berhati-hati mengelola usaha dan menerapkan manajemen risiko yang lebih baik.

Aliansi Strategis

Sisi positif lainnya, masuknya investor asing akan membantu perbankan nasional yang ingin masuk ke kancah global. Mereka cukup membentuk aliansi strategis (strategic alliances) dengan mitranya sesama bank yang sudah mendunia. Masuknya pemain asing ke bank-bank rekap itu minimal akan memacu bank tersebut melakukan aliansi strategis secara fungsional dalam operasional dan pemasaran.

Melalui aliansi strategis itu, bank-bank itu tidak perlu membuka cabang di luar negeri. Saat ini, banyak industri makanan dan minuman membentuk aliansi strategis. Misalnya antara Aqua dan Danone, antara Coca-Cola dan Ades, serta antara perusahaan komputer Hewlett-Packard (HP) dan Canon.

Tidak masalah investor asing menguasai perbankan nasional kita, sepanjang bank yang mereka akuisisi itu menjalankan usahanya secara prudent (hati-hati), dan lebih bermanfaat bagi perekonomian domestik. Sebaliknya, percuma industri perbankan lokal dikuasai pemain lokal bila tujuannya hanya mengeruk keuntungan demi pemilik bank itu dan kelompoknya, serta untuk tempat pencucian uang (money laundering).

Kata kuncinya adalah bagaimana BI dan pemerintah menciptakan iklim kondusif agar keberadaan bank nasional milik asing itu bisa memberi kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa. Misalnya membuat regulasi supaya perbankan, tanpa terkecuali, menyalurkan kreditnya ke sektor produktif untuk investasi dan modal kerja.

Suka atau tidak suka, cepat atau lambat, Indonesia sudah memasuki globalisasi ekonomi keuangan. Kita tidak bisa lagi membendung integrasi sektor keuangan global. Masuknya investor asing ke beberapa bank nasional, minimal bisa menstimulasi bank-bank ini menjadi pioner dalam memasuki pasar bebas. Sudah saatnya perbankan nasional bangkit supaya nisa ikut bersaing memperebutkan kue globalisasi ekonomi. Terlebih menjelang terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN pada 2015.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar