Corby
– The Ganja Queen
Syafiq
Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta
SUMBER
: INILAH.COM,
24 Mei 2012
Pernahkah Anda menonton film The
Ganja Queen? Film
dokumenter yang dibintangi ‘Sang Ratu Ganja’ Schapelle Corby, itu mendapat
rekomendasi empat setengah (dari lima) bintang di situs Amazon.
Disutradari Janine Hosking, film yang dirilis
dalam bentuk DVD oleh Home Box Office (HBO) pada November 2008 itu mengisahkan
perjalanan Corby, tentu dalam versinya sendiri, yang mengaku tidak bersalah dan
diperlakukan tidak adil di depan pengadilan dan penjara Kerobokan Bali.
Kalau saja HBO menayangkan ulang film
berdurasi 92 menit itu lagi, pasti ratingnya bakal melejit. Pasalnya, secara
cukup mengejutkan wanita cantik yang kini berusia 34 itu mendapatkan grasi lima
tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi
mengatakan, grasi ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara
Indonesia di Australia, yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.
Tak pelak, berbagai media di Indonesia dan
Australia pun ramai memberitakan grasi bagi Corby. Pemerintah pun menuai banyak
kritik, karena pemberian grasi itu dianggap tidak sejalan dengan kebijakan
memperketat hukuman bagi kasus narkoba dan upaya pemberantasan barang haram
itu.
Kritik pedas antara lain dilontarkan pakar
Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. Kata Yusril, sepanjang sejarah baru
kali ini Presiden RI memberikan grasi atau mengampuni kejahatan narkoba.
“Presiden-presiden sebelumnya tak pernah melakukan hal itu, baik terhadap napi
WNI maupun napi asing,” kata Yusril.
Sesungguhnya, selain DVD di atas, terdapat
tiga buku yang menceritakan Corby secara sangat berbeda dengan yang disiarkan
media massa. Yang pertama adalahSchapelle
Corby, My Story. Buku setebal 301 halaman itu ditulis Corby bersama
Kathryn Bonella.
Kemudian, ada Schapelle Evidence Facts Truth, karya
wartawan bidang kriminalitas Gold Coast Bulletin Tony Wilson, setebal 256
halaman.
Tapi buku Wilson itu kurang mendapat respon
sebagus buku Corby yang lain yang berjudul panjang, No More Tomorrows: The Compelling True Story of an
Innocent Woman Sentenced to Twenty Years in a Hellhole Bali Prison..(Tak
Ada Hari Esok: Kisah Nyata tentang Wanita Tak Bersalah yang Dihukum Dua Puluh
Tahun dalam Neraka Penjara Bali). BukuNo
More Tomorrows yang juga ditulis Corby bersama Kathryn Bonella, itu
berhasil meraih international
best seller.
Awalnya Kathryn Bonella datang ke Bali untuk
menggarap program televisi Australia,60
Minutes. Eh, ia betah di Bali rupanya. Maka pada 2005
Kathryn pindah ke Bali untuk menulis buku setebal 304 halaman itu bersama
Corby.
No More Tomorrows mengisahkan
perjalanan Corby ke Bali pada 8 Oktober 2004. Semula, liburan selama dua pekan
itu dimaksudkan untuk merayakan ulangtahun saudara perempuan Corby di Bali.
Ternyata tamasya itu menjadi mimpi buruk
baginya, setelah petugas di Bandara Ngurah Rai Denpasar menemukan 4,2 kilo
marijuana di dalam tas Corby yang tidak terkunci.
Schapelle Corby dipenjara pada Mei 2005 di
Kerobokan, Bali. Dengan vonis 20 tahun, seharusnya ia baru bebas pada 2024.
Marijuana itu, menurut Corby, ‘disimpan
seseorang di dalam tas sesudah ia check
in.’ Akibatnya, ia terpaksa menanggung konsekuensi kejahatan orang
lain di sebuah negara yang vonis bagi penyelundup narkobanya, menurut Corby,
“merupakan salah satu yang paling berat di dunia.”
Itu kata Corby. Padahal di negara lain ia
mungkin sudah dihukum mati.
Tidak cukup begitu, dalam bukunya Corby
menceritakan joroknya sel, ketidaknyamanan dan kekerasan yang diterimanya di
penjara Kerobokan.
Patut dicatat, dari dalam penjara itu Corby
bisa menulis secara bagus, piawai, menegangkan, menarik, sehingga banyak dipuji
pembaca di Barat. Yang menarik adalah bahwa banyak kritik dialamatkan kepada
media (Indonesia) yang dianggap telah memutarbalikkan fakta karena seolah
mendukung keputusan pengadilan Bali.
Tetapi kritik balik yang dilontarkan kepada
Corby menolak hal itu. Pasalnya, banyak yang sulit menerima kenyataan:
bagaimana mungkin orang tidak tahu ada ‘barang titipan’ diselundupkan ke dalam
tasnya, jika barang itu seberat 4,2 kilo? Apalagi di negara dengan privacy tinggi seperti
Australia, segala hal (termasuk bebenah kopor) lazimnya dikerjakan sendiri.
Bagaimana pun, kita bisa menduga, kelak
begitu Corby bebas, ia bakal menulis lebih banyak lagi – dan namanya kian
moncer, sementara nama Indonesia dan Bali sendiri bisa makin tercemar.
Maka tak heran bila ahli hukum mengingatkan
agar hadiah grasi itu jangan sampai memberi kesan Indonesia lemah terhadap
Australia.
Pakar hukum internasional UI, Hikmahanto
Juwana, misalnya, menyarankan agar Presiden tidak boleh terlihat lemah di mata
publik Indonesia setelah mengabulkan grasi itu.”
Ini mengingat publik Indonesia tahu bahwa
Australia sudah menekan pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengupayakan
perlindungan bagi Corby," kata Hikmahanto.
Oleh karena itu, Hikmahanto berharap Presiden
SBY juga harus meminta Australia segera menyelesaikan sejumlah masalah hukum
WNI yang ada di negara Kangguru itu.
"Di sinilah Pemerintah SBY harus meminta
kepada pemerintah Australia resiprositas atau timbal balik atas pengabulan
grasi Corby," katanya.
Repotnya, meski misalnya nanti pemerintah
Indonesia bisa meminta perlakuan serupa (reciprocal)
kepada pemerintah Australia, toh itu tidak menjamin publik
Australia bisa menerimanya, karena publik di negara bebas seperti Australia
sangatlah dominan suaranya sehingga pemerintahnya lebih berhati-hati dalam
mengambil keputusan.
Sekarang saja, sebagaimana ditunjukkan lewat
kasus Corby itu, kita melihat bahwa mungkin pemerintah Australia (yang sangat
mendengarkan suara rakyatnya) telah meneruskan tekanan itu kepada pemerintah
Indonesia, demi upaya perlindungan bagi Sang Ratu Ganja.
Namun Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr
membantah telah menjalin kesepakatan dengan pihak Indonesia, bahwa grasi Corby
diberikan sebagai pertukaran atas pembebasan tiga WNI dari tahanan Australia.
Menurut Bob Carr, pembebasan tiga warga Indonesia itu tak lain karena mereka
masih anak-anak.
Sejalan pernyataan Carr, Staf Khusus Presiden
Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, grasi itu diberikan
bukan karena kesepakatan khusus antara Indonesia dan Australia, melainkan ‘atas
dasar pertimbangan kemanusiaan.’
Tetapi, orang kemudian bertanya, bila memang
benar Corby bersalah seperti yang dituduhkan kepadanya, yang berarti ia turut
berperan merusakkan moral dan kesehatan bangsa Indonesia, maka apakah sekitar
lima juta anak bangsa korban narkoba tidak lebih perlu mendapatkan
‘pertimbangan kemanusiaan’?
Atau jangan-jangan Corby memang tidak
bersalah, sebagaimana yang dikatakannya dalam film dan buku-bukunya -- dan kita
terlanjur menghukumnya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar