Benarkah
Kita Krisis Pemimpin?
M
Alfan Afian; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
SUMBER
: SINDO,
26 Mei 2012
Pilpres
masih agak lama, tetapi sosok-sosok yang ditampilkan, baik oleh partai politik
maupun media massa, masih banyak dikomentari berbagai pihak, “Kok ituitu saja?”
Setiap
zaman menemukan pemimpinnya. Apabila yang kita maksud pemimpin adalah presiden
karena memang ia yang memiliki kekuasaan nyata dalam sistem politik kita,
Pilpres 2014 sungguh merupakan momentum yang serius. Tapi, komentar “kok
itu-itu saja” itu segera menimpa keseriusan itu.Tapi, demokrasi politik itu
prosedural. Konsekuensinya, momentum serius bisa tidak dihadiri oleh
sosok-sosok yang seideal yang diharapkan.
Prosedur pemilihan sosoksosok yang hendak dipentaskan dan kontestasikan pada 2014 sangat ditentukan oleh partaipartai politik. Manakala kita berbincang tentang partaipartai politik di Indonesia saat ini, tidak ada yang demokrasi internalnya dijaminkan untuk memunculkan sosok terbaik. Prosedur pemilihan sosok tampak lebih ditentukan oleh kekuatan kekuasaan yang dikendalikan elite-elite khusus alias para oligar.
Partai, kalau demikian, bukan panggung terbuka bagi sosok-sosok potensial mana saja untuk bisa memanfaatkannya tampil berkompetisi, dan akhirnya tersaring yang “terbaik”. Kalau bukan logika patrimonial-dinastik, yang masih dominan kita jumpai di sini adalah, logika kepemilikan. Partai sekadar dimiliki sosok tertentu, dan yang terkuat itulah yang muncul. Partai belumlah merupakan entitas yang menerapkan paradigma demokrasi deliberatif.
Ada semacam kelas-kelas politik yang membuat logika merebut dan mempertahankan kekuasaan lebih menonjol, ketimbang logika demokrasi deliberatif. Ialah yang memberi kesempatan segenap pemangku kepentingan di dalamnya untuk unjuk gagasan dan ketat disiplin demokrasinya. Partisipasi yang otentik tidak dapat muncul, kecuali pola kuno mobilisasi para elite khususnya secara pragmatistransaksional.
Kultur kerajaan yang patrimonial, ditambah dengan rekayasa politik yang transaksional, membuat apa yang ada di hadapan kita bukan pilihan yang sangat diharapkan. Pemilih dihadapkan pada sikap dan tindakan yang minimalis. Tetap memilih walaupun pilihannya bukan yang terbaik. Dalihnya, ketimbang kita tidak punya pemimpin, yang muncul adalah kekacauan. Suatu bangsa yang dipimpin sosok otoriter,kata sebuah dalil, lebih baik ketimbang kekacauan karena kekosongan pemimpin.
Sekat Prosedural
Kita bisa mengomentari soal keterbatasan sistem dalam hal ini. Sistem politik kita ternyata tidak menjamin ada jalan terbuka bagi sosok-sosok potensial untuk bisa menjadi calon presiden. Mempercayakan begitu saja kepada partai-partai tidaklah cukup menyelesaikan masalah. Sementara jalan bagi calon independen disumbat oleh sistem. Konsekuensinya, partai terlepas dari kelemahan-kelemahannya, entitas yang sangat istimewa.
Manakala seorang potensial dan sangat pantas memimpin bangsa tidak punya kekuasaan super di partai, ia tidak akan dapat turun ke gelanggang. Partai tampak semakin diposisikan sebagai sekadar hanya kendaraan politik dalam demokrasi elektoral yang berdimensi transaksional. Apakah kita sedang krisis kepemimpinan? Saya menjawabnya tidak. Kita sesungguhnya tidak sedang krisis calon pemimpin.
Kita punya seabrek calon pemimpin.Sayangnya, mereka tidak tertampung dan memperoleh akses untuk bergumul dan berkompetisi dalam sistem. Untuk mencari satu orang pemimpin dan wakilnya, sesungguhnya mudah karena stok calon pemimpin kita tak kurang-kurang. Misalnya, untuk membentuk kesebelasan sepak bola tangguh semestinya mudah saja karena stok anak muda yang punya hobi sepak bola seluruh Indonesia tak kurang-kurang.
Tetapi, yang menjadi soal adalah hambatan prosedur tadi. Prosedur membuat kealamiahan dan keotentikan terpinggir. Yang muncul ialah yang berdisiplin prosedural. Barangkali inilah keterbatasan demokrasi politik di mana saja, yakni ketika prosedur tidak respons secara alamiah dan apa adanya, tapi selalu menciptakan para pemain terdorong untuk berkompetisi asal-asalan dan kuat-kuatan semata.
Tidak, sekali lagi, kita tidak sedang krisis calon pemimpin, tapi kita terbelenggu pada prosedur yang membentengi potensi-potensi,meminggirkan kearifan-kearifan, dan menyeyogiakan kekuatan kekuasaan untuk memandu pilihan-pilihan. Plato bahkan mengeluh dengan logika dasar demokrasi justru karena prinsip kesederajatannya.
Plato tampaknya tidak dapat memahami prinsip satu orang satu suara. Bagaimana mungkin suara tuan sama dengan pembantu.Tetapi, bukan kesederajatan dalam konteks itu yang menjadi soal dalam demokrasi substansial kita, melainkan ketika prinsip kesederajatan itu tergusur oleh prinsip kekuatan kekuasaan.
Kekuasaan dan Uang
Kekuatan kekuasaan (power) membuka kesempatan bagi rekayasa sumber daya. Demokrasi prosedural dan elektoral dikebiri prinsip kesederajatannya oleh rekayasa sumber daya yang secara konkret pada zaman kita bernama politik uang itu. Politik uang secara luas tidak sekadar membeli suara dalam pemilu, melainkan juga untuk memuluskan kekuasaan yang hendak direbut atau dipertahankan.
Power pada akhirnya semakin identik dengan money. Ketika kekuasaan sudah dipegang, ia menghasilkan apa saja terutama uang.Kekuasaan dan uang itulah lantas yang dominan di arena politik. “Democracy is only the game in town”. Karenaitu, tidakcukup memungkinkan yang lemah dan tak berdaya secara kekuasaan dan uang tampil sebagai pemimpin nasional. Demokrasi prosedural kita krisis prosedur untuk menjamin itu. Maka itu, tidak ada yang gratis untuk menjadi pemimpin nasional.
Nah, kalau ini kita sadari, tentu saja kearifan “pemimpin yang terpilih” menjadi penting. Seberapa jauh ia akan bisa menjalankan kepemimpinannya kelak, mendekati keotentikan, atau menjauhinya. Sejarah para pemimpin dunia sejak dahulu kala, apakah yang tampil secara demokratis atau tidak, akan diuji dalam kearifan kepemimpinannya.
Arif dalam makna yang luas, tidak saja bijak, tetapi juga kompeten alias mampu membalik wajah sejarah bangsanya, menjadi bangsa yang besar. Bukan bangsa kerdil. ●
Prosedur pemilihan sosoksosok yang hendak dipentaskan dan kontestasikan pada 2014 sangat ditentukan oleh partaipartai politik. Manakala kita berbincang tentang partaipartai politik di Indonesia saat ini, tidak ada yang demokrasi internalnya dijaminkan untuk memunculkan sosok terbaik. Prosedur pemilihan sosok tampak lebih ditentukan oleh kekuatan kekuasaan yang dikendalikan elite-elite khusus alias para oligar.
Partai, kalau demikian, bukan panggung terbuka bagi sosok-sosok potensial mana saja untuk bisa memanfaatkannya tampil berkompetisi, dan akhirnya tersaring yang “terbaik”. Kalau bukan logika patrimonial-dinastik, yang masih dominan kita jumpai di sini adalah, logika kepemilikan. Partai sekadar dimiliki sosok tertentu, dan yang terkuat itulah yang muncul. Partai belumlah merupakan entitas yang menerapkan paradigma demokrasi deliberatif.
Ada semacam kelas-kelas politik yang membuat logika merebut dan mempertahankan kekuasaan lebih menonjol, ketimbang logika demokrasi deliberatif. Ialah yang memberi kesempatan segenap pemangku kepentingan di dalamnya untuk unjuk gagasan dan ketat disiplin demokrasinya. Partisipasi yang otentik tidak dapat muncul, kecuali pola kuno mobilisasi para elite khususnya secara pragmatistransaksional.
Kultur kerajaan yang patrimonial, ditambah dengan rekayasa politik yang transaksional, membuat apa yang ada di hadapan kita bukan pilihan yang sangat diharapkan. Pemilih dihadapkan pada sikap dan tindakan yang minimalis. Tetap memilih walaupun pilihannya bukan yang terbaik. Dalihnya, ketimbang kita tidak punya pemimpin, yang muncul adalah kekacauan. Suatu bangsa yang dipimpin sosok otoriter,kata sebuah dalil, lebih baik ketimbang kekacauan karena kekosongan pemimpin.
Sekat Prosedural
Kita bisa mengomentari soal keterbatasan sistem dalam hal ini. Sistem politik kita ternyata tidak menjamin ada jalan terbuka bagi sosok-sosok potensial untuk bisa menjadi calon presiden. Mempercayakan begitu saja kepada partai-partai tidaklah cukup menyelesaikan masalah. Sementara jalan bagi calon independen disumbat oleh sistem. Konsekuensinya, partai terlepas dari kelemahan-kelemahannya, entitas yang sangat istimewa.
Manakala seorang potensial dan sangat pantas memimpin bangsa tidak punya kekuasaan super di partai, ia tidak akan dapat turun ke gelanggang. Partai tampak semakin diposisikan sebagai sekadar hanya kendaraan politik dalam demokrasi elektoral yang berdimensi transaksional. Apakah kita sedang krisis kepemimpinan? Saya menjawabnya tidak. Kita sesungguhnya tidak sedang krisis calon pemimpin.
Kita punya seabrek calon pemimpin.Sayangnya, mereka tidak tertampung dan memperoleh akses untuk bergumul dan berkompetisi dalam sistem. Untuk mencari satu orang pemimpin dan wakilnya, sesungguhnya mudah karena stok calon pemimpin kita tak kurang-kurang. Misalnya, untuk membentuk kesebelasan sepak bola tangguh semestinya mudah saja karena stok anak muda yang punya hobi sepak bola seluruh Indonesia tak kurang-kurang.
Tetapi, yang menjadi soal adalah hambatan prosedur tadi. Prosedur membuat kealamiahan dan keotentikan terpinggir. Yang muncul ialah yang berdisiplin prosedural. Barangkali inilah keterbatasan demokrasi politik di mana saja, yakni ketika prosedur tidak respons secara alamiah dan apa adanya, tapi selalu menciptakan para pemain terdorong untuk berkompetisi asal-asalan dan kuat-kuatan semata.
Tidak, sekali lagi, kita tidak sedang krisis calon pemimpin, tapi kita terbelenggu pada prosedur yang membentengi potensi-potensi,meminggirkan kearifan-kearifan, dan menyeyogiakan kekuatan kekuasaan untuk memandu pilihan-pilihan. Plato bahkan mengeluh dengan logika dasar demokrasi justru karena prinsip kesederajatannya.
Plato tampaknya tidak dapat memahami prinsip satu orang satu suara. Bagaimana mungkin suara tuan sama dengan pembantu.Tetapi, bukan kesederajatan dalam konteks itu yang menjadi soal dalam demokrasi substansial kita, melainkan ketika prinsip kesederajatan itu tergusur oleh prinsip kekuatan kekuasaan.
Kekuasaan dan Uang
Kekuatan kekuasaan (power) membuka kesempatan bagi rekayasa sumber daya. Demokrasi prosedural dan elektoral dikebiri prinsip kesederajatannya oleh rekayasa sumber daya yang secara konkret pada zaman kita bernama politik uang itu. Politik uang secara luas tidak sekadar membeli suara dalam pemilu, melainkan juga untuk memuluskan kekuasaan yang hendak direbut atau dipertahankan.
Power pada akhirnya semakin identik dengan money. Ketika kekuasaan sudah dipegang, ia menghasilkan apa saja terutama uang.Kekuasaan dan uang itulah lantas yang dominan di arena politik. “Democracy is only the game in town”. Karenaitu, tidakcukup memungkinkan yang lemah dan tak berdaya secara kekuasaan dan uang tampil sebagai pemimpin nasional. Demokrasi prosedural kita krisis prosedur untuk menjamin itu. Maka itu, tidak ada yang gratis untuk menjadi pemimpin nasional.
Nah, kalau ini kita sadari, tentu saja kearifan “pemimpin yang terpilih” menjadi penting. Seberapa jauh ia akan bisa menjalankan kepemimpinannya kelak, mendekati keotentikan, atau menjauhinya. Sejarah para pemimpin dunia sejak dahulu kala, apakah yang tampil secara demokratis atau tidak, akan diuji dalam kearifan kepemimpinannya.
Arif dalam makna yang luas, tidak saja bijak, tetapi juga kompeten alias mampu membalik wajah sejarah bangsanya, menjadi bangsa yang besar. Bukan bangsa kerdil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar