Minggu, 27 Mei 2012

Menafsir Lady Gaga


Menafsir Lady Gaga
Jannus TH Siahaan ; Pengamat Sosial Keagamaan,
Tinggal di Pinggiran Bogor, Jawa Barat
SUMBER :  KORAN TEMPO, 26 Mei 2012


Entah sudah berapa kali, paling kurang sejak era reformasi bergulir, masyarakat kita terfragmentasi hanya gara-gara perbedaan tafsir. Fragmentasi itu terjadi di banyak persoalan, dan dalam hal-hal tertentu berujung pada ketegangan. Ketegangan yang tidak terkelola dengan baik, karena ketiadaan pranata sosial yang mampu menjadi payung untuk semua, kerap pula bermuara pada anarkisme dan kekerasan. Terlebih jika fragmentasi terjadi akibat tak tertampungnya tafsir yang beragam mengenai teks-teks keagamaan.

Yang paling mutakhir adalah perbedaan tafsir beberapa kalangan dan komunitas masyarakat atas rencana kedatangan penyanyi pop asal Amerika Serikat, Lady Gaga. Kabar itu sendiri sudah beredar sejak beberapa pekan silam. Ketika ribuan lembar tiket sudah terjual, fan berjulukan "little monster" siap menyambut kedatangan Lady Gaga, mendadak muncul aksi yang menentang rencana konser itu, terutama di Jakarta. Ketegangan muncul. Di sinilah letak masalahnya, yakni perbedaan tafsir atas sosok Lady Gaga.

Menurut pengakuan juru bicara kepolisian, izin pementasan tidak diterbitkan setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk masukan dari beragam komunitas keagamaan, kemasyarakatan, serta beberapa fraksi politik di parlemen. Tanggapan pun bergemuruh. Beberapa media, khususnya televisi, mengangkatnya sebagai topik bahasan. Dilakukanlah peninjauan dari berbagai sudut pandang. Beberapa pemangku kepentingan diajak serta berbicara. Bahkan Indonesia Lawyer Club (ILC) menjadikannya tema sentral bahasan pertengahan pekan lalu. Semuanya sama: berujung pada perbedaan soal tafsir.

Jika benar ini persoalannya, kasus Lady Gaga akan masuk daftar di antara beberapa daftar kasus serupa lainnya yang telah membuat masyarakat kita terfragmentasi ke beberapa kubu dan kelompok. Sulitnya pula, jika perbedaan tafsir serta cara yang digunakan untuk menafsir Lady Gaga lantas dijadikan justifikasi oleh kelompok tertentu untuk menempatkan kelompok lainnya sebagai pihak yang dipersalahkan. Lalu, muncullah tafsir tunggal atas Lady Gaga. Persoalan semakin rumit kalau mereka yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti juga ikut-ikutan menjadi juru tafsir Lady Gaga.

Selanjutnya, kita dengan mudah bisa membayangkan ujung suatu persoalan, jika seorang ahli matematika mencoba ikut menafsir rumus-rumus mengenai sosiologi. Atau seorang ahli bahasa, karena merasa ahli di bidangnya itu, lantas merasa ahli di banyak bidang lainnya sehingga merasa mampu pula menafsir hal-hal yang hanya dikuasai oleh seorang ahli fisika. Semakin banyak yang terlibat, akan semakin beragam pula tafsir yang tercipta atau sengaja diciptakan untuk maksud dan tujuan tertentu mengenai suatu permasalahan.

Sejatinya, tidak semua sisi kehidupan kita beralaskan sebuah realitas, apalagi realitas tunggal. Sikap kita terhadap sebuah dan beberapa persoalan sering kali hanyalah sebuah tafsir atas apa yang tersaji di hadapan kita. Hanya hal-hal yang berbentuk materi sajalah yang sudah menjadi realitas karena entitas bawaan yang menyertainya. Tetapi, terkait dengan beragam peristiwa, wujudnya amat bergantung pada cara, referensi, serta tujuan kita melakukan penafsiran dan pemaknaan atas peristiwa tersebut. Dan hasil sebuah penafsiran amat signifikan perannya dalam menjaga harmoni dan tata kelola kehidupan.

Perbedaan cara, pendekatan, referensi, serta tujuan suatu penafsiran juga sangat memengaruhi respons masyarakat dalam menyikapi sebuah persoalan. Kasus Lady Gaga, harus jujur diakui, telah memunculkan perbedaan cara menafsir di tengah-tengah masyarakat kita. Bahkan, untuk kepentingan tertentu, sebuah komunitas masyarakat, dengan pendekatan kursif yang masih melekat di sebagian masyarakat kita, bisa memaksa institusi kepolisian untuk mengikuti tafsir yang mereka kehendaki mengenai Lady Gaga. Maka batallah, untuk sementara, rencana pergelaran yang menyedot perhatian ribuan remaja kita itu.

Lady Gaga tentu bukan sebuah entitas tunggal. Dalam industri musik mutakhir seperti sekarang, Lady Gaga tak lebih dari sebuah produk yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menjadi trend setter. Dalam beberapa pementasannya, Lady Gaga muncul dengan beragam karakter sehingga membuka ruang yang lebar bagi para penikmatnya untuk memberi makna dan tafsir yang berbeda pula. Pada komunitas tertentu, erotika yang menyertai penampilannya dianggap hal biasa, tetapi oleh komunitas lain dinilai sebagai ancaman serius bagi moral kaum remaja.

Meski oleh kelompok tertentu Lady Gaga disebut pemuja setan, tidak sedikit yang menyebutnya pahlawan karena menjadi simbol korban kekerasan yang mampu bangkit dari deraan mental dan tekanan jiwa. Jika diibaratkan tamu, Lady Gaga berencana berkunjung ke rumah kita. Kalau kita tuan rumah yang "baik", maka kita harus siap menerima tetamu dengan karakter para tamu yang tidak sama. Akan berbeda halnya kalau kita terbiasa menerima tamu tertentu saja, sehingga yang datang ke rumah kita yang itu-itu juga. Betapa monotonnya kehidupan semacam ini.

Agar kehidupan berjalan lebih berwarna, sebaiknya kita mengikuti kebiasaan para fotografer yang menjadikan sebuah obyek sebagai bidikannya. Kalau tidak puas dengan sudut pandang tertentu, seseorang bisa mengambilnya dari sudut yang lain. Jangan karena hasil bidikan tidak memuaskan, lalu seseorang memindahkan gunung. Sesuatu yang mustahil dilakukan. Lady Gaga dan kasus-kasus serupa lainnya memerlukan pendekatan dari berbagai sudut pandang agar kesimpulan penafsiran yang kita lakukan bisa komprehensif dan tidak parsial. Paling kurang, keyakinan kita sama: tidak ada ciptaan Tuhan yang kehadirannya hanya untuk kesia-siaan. Bukankah semua punya hikmahnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar