Pengalaman
Intelektual Batara Simatupang
Sabam
Siagian ; Redaktur Senior The Jakarta
Post
SUMBER
: KOMPAS,
26 Mei 2012
Pada tanggal 26 Mei di Jakarta, Dr Batara
Simatupang yang sekarang bermukim di Amsterdam akan meluncurkan otobiografinya,
sekaligus memperingati ulang tahunnya ke-80. Namun, timbul pertanyaan dari
mereka yang tidak mengenalnya: siapa Dr Batara Simatupang?
Dalam rangka mendorong perkembangan ilmu
ekonomi, yang relatif masih muda sejarahnya di Indonesia, Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FEUI) pada 1950-an menugaskan alumninya ke luar negeri
untuk studi lanjutan. Maksudnya adalah mempersiapkan korps dosen bangsa
Indonesia. Jumlah yang cukup besar dikirim dalam beberapa gelombang ke
Universitas California, Berkeley, AS.
Nama paling tersohor di antara mereka adalah
Widjojo Nitisastro, yang bertahun-tahun bertugas sebagai Ketua Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Bahkan, ia disanjung sebagai arsitek ekonomi
Orde Baru. Nama-nama lain, di antaranya Emil Salim, Saleh Afiff, dan Batara
Simatupang.
Sebagian besar ekonom muda FEUI itu memang
melanjutkan studi ilmu ekonomi di Universitas California di Berkeley. Karena
itu, penulis David Ransom, dalam majalah radikal kekirian, Rampart (edisi
Oktober 1970), mengecap para ekonom yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro
sebagai ”the Berkeley Mafia”.
David Ransom mengembangkan suatu teori
konspirasi tentang kelompok ”Mafia Berkeley” ini. Menurut Ransom, apa yang
berkembang sejak 1966 yang dikenal sebagai Orde Baru dipimpin oleh Jenderal
Soeharto telah direkayasa oleh sejumlah tokoh kapitalis AS bekerja sama dengan
pemerintah di Washington DC.
Memang alur logika David Ransom itu
simplistik dan tidak akurat. Sebab, salah satu kelompok angkatan tahun 1959
itu, Batara Simatupang, tidak melanjutkan studi ekonomi di Berkeley, tetapi di
Universitas Stanford. Ia justru ingin memperdalam studi ekonomi sosialisme,
tempat tokoh ekonomi sosialisme Prof Paul Baran mengajar.
Seperti dikemukakan Batara Simatupang kepada
sejumlah teman-teman ketika ia berkunjung ke Jakarta, Mei-Juni 2007, dia ingin
mencari alternatif lain dari konsep pembangunan yang keluar dari ”lingkungan
imperialisme”. Ia sampaikan betapa kuliah-kuliah Baran memberi inspirasi baru.
Baran dianggap sebagai ”bapak” teori ketergantungan ekonomi yang dipopulerkan
di Amerika Latin.
Ekonomi Sosialisme
Mungkin karena minatnya itu, pimpinan FEUI
pada waktu itu, khususnya M Sadli, meyakinkan Batara Simatupang supaya
memperdalam bidang ekonomi sosialisme di Beograd. Setelah dua tahun di Beograd,
akhir musim panas tahun 1963, Batara Simatupang pindah ke Warsawa, Polandia,
untuk mengikuti program studi khusus tentang perencanaan ekonomi nasional. Di
sinilah ia berkenalan dan mengikuti kuliah-kuliah guru besar ilmu ekonomi tersohor,
seperti Prof Oskar Lange, Prof M Kalecki, dan Prof W Brus.
Bagian biografinya tentang kunjungan
rombongan Sjarief Thayeb sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
yang sedang mengadakan kunjungan kerja ke negara-negara sosialis di Eropa
Timur, Mei 1965, menarik disimak. Salah satu anggota rombongan adalah Widjojo
Nitisastro. Ketika jumpa Batara Simatupang dan mengapresiasi studinya di bidang
perencanaan ekonomi sosialisme, Widjojo memberikan surat keputusan resmi
tentang penugasannya sebagai asisten ahli dari FEUI. Menteri Sjarief Thayeb
ikut menandatangani, yang berarti juga ada tunjangan khusus.
Membaca bagian tersebut, terlintas: andai
perkembangan politik di Indonesia menerapkan sistem sosialisme sepenuhnya
seperti diinginkan Soekarno, maka perencanaan ekonomi sosialismelah yang
diterapkan. Dan, mungkin saja tokoh yang akan menonjol adalah Batara
Simatupang, yang pada waktunya akan meraih gelar doktor di Warsawa. Namun,
perkembangan sejarah bertukar haluan tanpa diduga.
Naskah otobiografinya mencerminkan dampak
luas dari perubahan radikal di Indonesia sejak Maret 1966 terhadap para
mahasiswa Indonesia di luar negeri. Batara Simatupang agaknya termasuk kelompok
mahasiswa yang kritis menampung perkembangan menuju tegaknya Orde Baru yang dipimpin
Soeharto.
Singkat cerita, paspor RI Batara Simatupang
dan beberapa kawannya dicabut. Akhirnya, dia harus meninggalkan Polandia. ”Bagi
saya, keputusan pencabutan paspor oleh KBRI di Warsawa ini sangat mengejutkan
dan tidak adil,” tulis Batara Simatupang.
Apakah rasa tidak adil itu masih terus
mengganggu pribadinya? Ataukah, setelah dapat melihat rentetan kejadian di
Indonesia dalam konteks yang lebih luas, dan hidup tenang dengan sang istri
tercinta di lingkungan relatif stabil di Amsterdam, ia akhirnya menjalin pakta
perdamaian dengan masa lampaunya?
Hal yang mengagumkan dalam otobiografi Batara
Simatupang, betapa dia memutuskan meraih gelar doktor ilmu ekonomi di
Universitas Amsterdam setelah bekerja selama tujuh tahun sebagai buruh kasar di
Jerman Barat. Disertasinya tentang krisis ekonomi di Polandia mendapat pujian.
Sebenarnya Batara Simatupang dengan
penguasaan peralatan analitik ekonomi sosialismenya dapat memberikan sumbangan
intelektual yang bermanfaat dan berharga bagi Indonesia. Bukankah selalu
didengungkan bahwa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi yang tetap
mengutamakan sila ketiga Pancasila: keadilan sosial? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar