Jangan Takut
Saidiman Ahmad; Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
SUMBER : JIL, 07 Mei
2012
Banyak
sekali orang yang berpikiran maju, tapi mereka enggan angkat bicara. “Kita
harus melangkah melampaui ketakutan itu, go
beyond the fear,” kata Manji. Persoalannya bukan kenapa ketakutan itu
muncul. Tapi bagaimana kita mampu melewati dan mengabaikannya.
Irshad Manji menolak berdiri di podium. Ia
ingin bicara sambil duduk. Ia tidak mau acara itu menjadi acara pidato. Dia
ingin berdiskusi dan bertukar gagasan. Setiap orang boleh mengemukakan
pendapat, bertanya, atau berkomentar apapun.
Acara malam 4 Mei 2012 itu cukup meriah. 150
orang hadir. Mereka mendaftar. Dua hari sebelum acara, panitia sudah
mengumumkan bahwa seluruh kursi sudah penuh. Mereka yang datang di hari H
terpaksa masuk dalam daftar tunggu. Kebanyakan yang hadir malam itu adalah
anak-anak muda.
Buku Irshad Manji edisi bahasa Indonesia, “Allah, Liberty and Love: Suatu
Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” menjadi pintu masuk diskusi. Salihara,
sang empunya tempat, memberi judul acara itu “Iman, Cinta, dan Kebebasan.”
4 tahun lalu, buku Irshad Manji “The Trouble with Islam Today”
diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Beriman tanpa Rasa Takut.”
Buku ini diterjemahkan ke dalam 30 bahasa. Manji bercerita bahwa penerbitan
buku itu menuai respon luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Ia menerima
macam-macam komentar. Ada banyak komentar bernada teror dan mengumbar
kebencian. Tidak sedikit yang langsung mengancam jiwanya. Ia bahkan pernah
menyewa pengawal untuk mengantisipasi teror-teror itu.
Selain surat bernada kebencian, ia juga
menerima begitu banyak surat dukungan dan membesarkan harapan. Beberapa di
antaranya mengejutkan. Salah satu surat dikirim oleh Ayesha yang mengaku
berasal dari Solo. Ayesha menulis: “Di luar sana ada jutaan orang yang berpikir
seperti anda. Tapi mereka takut menyuarakan kebenaran. Mereka takut terhadap
hukuman.”
Inilah persoalan yang hendak digarisbawahi
Manji. Banyak sekali orang yang berpikiran maju, tapi mereka enggan angkat
bicara. “Kita harus melangkah melampaui ketakutan itu, go beyond the fear,” kata Manji. Persoalannya bukan kenapa
ketakutan itu muncul. Tapi bagaimana kita mampu melewati dan mengabaikannya.
Irshad Manji sama sekali tidak sedang bergurau
dengan kata-katanya itu. Ketika diskusi mulai diganggu seorang polisi
berpakaian non-dinas, Manji tetap di tempat. “I am still here,” tegasnya. Diskusi harus tetap jalan. Manji seolah
sedang memberi energi keberanian terhadap peserta diskusi yang diteror massa
dengan teriakan-teriakan di sudut ruang diskusi. Para peserta bergeming. Manji
dan peserta seperti sedang berbagi energi keberanian. Gangguan diabaikan. Acara
dilanjutkan.
Manji memuji sikap peserta diskusi yang tak
gentar. “You give me hope,” kata Manji
disambut tepuk tangan peserta. Para peserta bahkan mulai meng”huu” polisi yang hendak membubarkan
diskusi.
Manji mengulangi bahwa persoalan umat
sekarang ini justru terletak pada kelompok moderat. Kelompok fundamentalis
arogan tidak dia jadikan target dakwah. Para fundamentalis arogan itu sudah
terlalu susah untuk berubah. Yang butuh disadarkan dan diberi kekuatan justru
adalah masyarakat moderat. Masyarakat Muslim sekarang ini sudah terjangkiti
krisis keberanian moral. Atas dasar itu, moderatisme harus ditinggal. Umat
harus mulai meninggalkan sikap moderat dan beralih menjadi reformis.
Masyarakat yang cenderung mendiamkan suatu
persoalan adalah masalah besar. Sikap diam sama sekali tidak menolong dan
menyelesaikan apa-apa. Kelompok moderat harus melangkah maju menjadi reformis,
pembaru yang aktif.
Manji menegaskan bahwa yang sedang dia
perjuangkan bukan sekedar peace, tapi
cinta. Sikap pro-perdamaian acapkali tidak bermakna apa-apa. Dengan alasan
menjaga kedamaian orang sering enggan mengemukakan kebenaran. Manji sebut model
peace semacam ini sebagai negative peace.
Kedamaian yang harus diperjuangkan adalah positive
peace, suatu sikap aktif menyuarakan kebenaran. Kebenaran tidak boleh
didiamkan. “Speak the truth,” kata
Manji. Terhadap stigma, Manji tidak peduli. Dia tidak takut terhadap stigma.
Itu adalah resiko yang harus dihadapi. “Mereka bisa menyebut saya ekstrimis,
tapi yang pasti saya bukan destruktivis,” tegasnya.
Dibubarkan paksa oleh polisi, Manji dan
peserta bergeming. Ancaman polisi dan teriakan peserta tak diundang dari luar
justru menambah semangat diskusi. Para peserta mendekatkan diri ke Manji.
Terjadilah diskusi informal. Manji berdiri di tengah massa peserta diskusi yang
mengerubutinya. Itu momen yang tak akan mudah dilupakan.
Seorang peserta bertanya: “Barangkali kita
bisa melawan serangan atau stigma dari luar. Tapi bagaimana menghadapi
penolakan dari keluarga?” Manji sejenak tertegun. Lalu ia balik bertanya:
“Apakah kita benar-benar mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang tua dan keluarga
kita? Jangan-jangan kita salah persepsi tentang mereka.” Manji lalu bercerita
tentang Martin Luther King Jr. yang terus berjuang mesti ayahnya melarang dan
menyuruh ia pulang mengurus gereja.
Manji kemudian menceritakan kisah hidupnya
sendiri. Belum sempat bercerita, ia sudah berurai air mata. Kisah itu adalah
tentang pengakuannya kepada ibunya. Ketika ia menceritakan rencana coming out kepada teman-teman
aktivisnya, mereka menyarankan agar Manji membatalkan rencana menceritakan
semuanya kepada ibunya. Mereka khawatir ibunya akan membenci dan menolaknya.
Yang hendak Manji ceritakan kepada ibunya itu adalah perihal orientasi
seksualnya sebagai seorang lesbian.
Dengan tekanan yang sedemikian rupa, Manji
toh tetap nekad menemui ibunya. Ia beberkan semuanya. Sudah bulat tekadnya
untuk menerima respon apapun, sesakit apapun. Manji terbata-bata menyebutkan
kembali jawaban ibunya ketika itu. “You
are my daughter.” Kamu anakku. Manji menutup mulutnya. Air matanya tumpah.
“Jangan underestimate
ibu bapak kalian. Kalian adalah anak-anak mereka. Dan mereka sangat mencintai
kalian.” Haru. Satu persatu peserta memberi tepuk tangan. Manji melanjutkan
“Barangkali mereka akan menolak pendapat kalian. Tapi tidak apa-apa. Tidak
semua pendapat kita harus disetujui orang tua. Perbedaan adalah sesuatu yang
lumrah.” Sekali lagi peserta bertepuk tangan. “Perbedaan di antara kita adalah
biasa. Karena yang diciptakan Tuhan bukanlah robot, tapi kita, manusia yang
masing-masing memiliki keunikan,” sambung Manji.
Massa perusuh kembali mendekat. Mereka
berteriak-teriak kesurupan “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” Polisi bergerak semakin cepat. Peserta diskusi dipaksa
bubar. Manji dibawa ke suatu ruangan. Dia masih ingin bersama peserta. Dia
menolak dievakuasi. Dia solider dengan peserta yang juga solider kepadanya.
Ketika polisi benar-benar berhasil membawanya keluar, para peserta yang
menungguinya mengerubuti. Ia masih sempat menyampaikan pidato singkat. “Jangan takut! Jangan menyerah!.” Puluhan
peserta meneriakkan namanya. Ada pula yang menyanyi. Mereka mengepalkan tinju
ke atas. Perlawanan tidak pernah surut. Kami
bersamamu, Manji! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar