Hari Buruh dan Unjuk Rasa
Asrudin, Peneliti di
Lingkaran Survei Indonesia Group
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 01 Mei 2012
Hari Buruh Sedunia (1 Mei) atau “May Day” dan
unjuk rasa bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Ini karena Hari Buruh lahir
dari berbagai rentetan perjuangan kelas buruh dalam melawan sistem kapitalisme
industri.
Secara historis, perkembangan kapitalisme
industri lahir di awal abad 19 yang ditandai dengan perubahan drastis
ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Akibat dari perkembangan ini, muncullah apa yang dinamakan sebagai
sistem kerja, seperti pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja,
minimnya upah, buruknya kondisi kerja, dan tidak adanya jaminan kesehatan
ataupun sosial di tingkatan pabrik. Kondisi-kondisi ini yang lalu melahirkan
perlawanan dari kelas buruh.
Sama halnya dengan di Indonesia, Hari Buruh
juga merupakan hari di mana para pekerja melakukan unjuk rasa. Sejak reformasi
bergulir di negara ini, unjuk rasa para buruh mulai marak dilakukan pada 1999
hingga saat ini. Tuntutannya sederhana, yakni meminta keadilan atas hak-hak
buruh terkait dengan upah dan jaminan sosial. Hal ini dipandang sebagai cara
kaum buruh melawan para pemilik modal.
Dalam beberapa kasus, unjuk rasa buruh ini
cukup efektif menekan negara ataupun pemilik modal agar tuntutan mereka
dikabulkan. Sebagai contoh, unjuk rasa buruh yang meminta Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Bekasi agar menerapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di
Kawasan Industri Bekasi dengan memblokade ruas jalan Tol Cikampek pada Jumat
(27/1/2012) silam, terbukti cukup efektif. Akhirnya perwakilan buruh, asosiasi
pengusaha di Jawa Barat, dan Dewan Pengupahan, dipertemukan oleh Gubernur Jawa
Barat Ahmad Heryawan, untuk mencapai persetujuan.
Persetujuan itu dibuat dalam rapat bersama
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bekasi dan
Perwakilan Apindo Jawa Barat, untuk memberlakukan skema gaji buruh yang baru
untuk Kabupaten Bekasi, yaitu Kelompok I sebesar Rp 1.849.000, kelompok II Rp
1.715.000, dan kelompok III Rp 1.491.000.
Di Jatim Tak Efektif
Meski demikian, di kasus dan wilayah yang
berbeda, unjuk rasa buruh ternyata tidak cukup efektif menekan negara dan
pemilik modal. Pada (27/4) lalu, ratusan buruh di Jawa Timur yang tergabung
dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang berunjuk rasa menuntut
diselesaikannya beberapa persoalan perburuhan di Jawa Timur belum juga
dikabulkan.
Antara lain, persoalan pemutusan hubungan
kerja (PHK) pada pengurus Serikat Pekerja dan buruh outsourcing di PT
International Packaging Manufakturing (IPM) Sidoarjo, serta masalah upah buruh
yang belum juga dibayar selama 19 bulan di Kebun Binatang Surabaya.
Selain itu, tuntutan buruh Jawa Timur terkait
masalah di PT Japfa Comfeed Indonesia di Sidoarjo yang dinilai melanggar aturan
outsourcing, PHK terhadap pengurus Serikat Pekerja, upah yang tidak dibayarkan,
dan buruh yang tidak diikutsertakan dalam Jamsostek lebih dari 25 tahun juga
tidak kunjung dituntaskan oleh Pemprov Jawa Timur.
Untuk itu, pada 1 Mei (2012) ini, buruh yang
tergabung dalam KSPI akan menggelar unjuk rasa yang jauh lebih besar jumlahnya
untuk menyampaikan manifesto politik yang berisi tiga isu besar. Pertama,
mendorong pelaksanaan jaminan sosial nasional; kedua, pemberian upah yang layak
bagi buruh; dan ketiga, penghapusan sistem outsourcing
(pekerja alih daya) yang dipandang bertentangan dengan undang-undang.
Jika tidak menginginkan adanya unjuk rasa
yang dilakukan buruh, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali dengan
mengabulkan tiga tuntutan buruh pada “May Day” tahun ini. Tapi, jika pemerintah
menolak, dan tetap menginginkan tidak adanya unjuk rasa yang dilakukan buruh,
pemerintah memerlukan jalan keluar yang jitu yang dapat menguntungkan baik dari
pihak pemilik modal ataupun buruh.
Jalan Keluar
Tiga isu besar yang diusung buruh yang
tergabung dalam KSPI dalam unjuk rasa kali ini sesungguhnya bermuara dari
masalah outsourcing. Lebih tepatnya karena terdapat praktik outsourcing yang
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Sistem outsourcing yang kini diterapkan cenderung
mengeksploitasi buruh, seperti tidak adanya jaminan mendapatkan uang pesangon,
asuransi kesehatan, mudah dipecat, dan gajinya yang lebih kecil dari karyawan
tetap. Terdapat jurang yang lebar antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap,
meskipun memiliki beban kerja yang sama.
Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan telah
diatur syarat-syarat yang ketat terkait pekerja outsourcing. Sebagaimana
diketahui, sistem outsourcing diatur
secara khusus dalam Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur
antara lain bahwa pekerja outsourcing bukanlah pekerja yang terlibat langsung
dalam kegiatan utama atau proses produksi perusahaan.
Namun kini, semua proses produksi telah
menggunakan pekerja outsourcing. Dari
hasil penelitian LIPI di Batam, misalnya, ditemukan terdapat perusahaan besar
yang menggunakan pekerja outsourcing untuk jenis pekerjaan yang sama dengan
pekerja tetap.
Hal itu dapat terjadi karena minimnya sistem
pengawasan ketenagakerjaan pemerintah. Akibatnya UU Ketenagakerjaan kerap
dianggap sebagai aturan yang tidak mengikat. Syukur-syukur dilaksanakan,
kalaupun tidak, nggak menjadi masalah. Oleh sebab itu, pelanggaran yang sering
terjadi di banyak perusahaan sama sekali tidak mendapatkan sanksi yang tegas.
Untuk mencari jalan keluar atas masalah ini,
praktik outsourcing yang banyak melanggar aturan harus diawasi secara ketat
agar kesejahteraan pekerja tetap terjamin dengan baik. Untuk itu, pemerintah
melalui Kemenakertrans agar secepatnya mendeklarasikan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.
Mengenai pekerja outsourcing, tidak ada
pilihan lain kecuali menerapkan konsep seperti apa yang disebutkan oleh LIPI
sebagai Flex Security. Konsep ini
berarti hak yang diterima pekerja outsourcing sama dengan pekerja tetap,
terutama untuk kebutuhan dasarnya seperti jaminan kesehatan, sosial, dan
hak-hak buruh lainnya.
Dalam konsep Flex Security jika si pekerja
mengalami pemutusan hubungan kerja maka pekerja yang bersangkutan akan
mendapatkan kompensasi yang sama besarnya dengan pesangon pekerja tetap.
Jika jalan keluar ini tidak juga diindahkan
oleh pemerintah, “Kaum buruh se-Indonesia
bersatulah, lawan dan teruslah
melakukan unjuk rasa, sampai hak-hak kalian dikabulkan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar