Rabu, 02 Mei 2012

Hari Buruh dan Unjuk Rasa


Hari Buruh dan Unjuk Rasa
Asrudin, Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
SUMBER : SINAR HARAPAN, 01 Mei 2012


Hari Buruh Sedunia (1 Mei) atau “May Day” dan unjuk rasa bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Ini karena Hari Buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas buruh dalam melawan sistem kapitalisme industri.

Secara historis, perkembangan kapitalisme industri lahir di awal abad 19 yang ditandai dengan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika Serikat. Akibat dari perkembangan ini, muncullah apa yang dinamakan sebagai sistem kerja, seperti pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, buruknya kondisi kerja, dan tidak adanya jaminan kesehatan ataupun sosial di tingkatan pabrik. Kondisi-kondisi ini yang lalu melahirkan perlawanan dari kelas buruh.

Sama halnya dengan di Indonesia, Hari Buruh juga merupakan hari di mana para pekerja melakukan unjuk rasa. Sejak reformasi bergulir di negara ini, unjuk rasa para buruh mulai marak dilakukan pada 1999 hingga saat ini. Tuntutannya sederhana, yakni meminta keadilan atas hak-hak buruh terkait dengan upah dan jaminan sosial. Hal ini dipandang sebagai cara kaum buruh melawan para pemilik modal.

Dalam beberapa kasus, unjuk rasa buruh ini cukup efektif menekan negara ataupun pemilik modal agar tuntutan mereka dikabulkan. Sebagai contoh, unjuk rasa buruh yang meminta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bekasi agar menerapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Kawasan Industri Bekasi dengan memblokade ruas jalan Tol Cikampek pada Jumat (27/1/2012) silam, terbukti cukup efektif. Akhirnya perwakilan buruh, asosiasi pengusaha di Jawa Barat, dan Dewan Pengupahan, dipertemukan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, untuk mencapai persetujuan.

Persetujuan itu dibuat dalam rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bekasi dan Perwakilan Apindo Jawa Barat, untuk memberlakukan skema gaji buruh yang baru untuk Kabupaten Bekasi, yaitu Kelompok I sebesar Rp 1.849.000, kelompok II Rp 1.715.000, dan kelompok III Rp 1.491.000.

Di Jatim Tak Efektif

Meski demikian, di kasus dan wilayah yang berbeda, unjuk rasa buruh ternyata tidak cukup efektif menekan negara dan pemilik modal. Pada (27/4) lalu, ratusan buruh di Jawa Timur yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang berunjuk rasa menuntut diselesaikannya beberapa persoalan perburuhan di Jawa Timur belum juga dikabulkan.

Antara lain, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pengurus Serikat Pekerja dan buruh outsourcing di PT International Packaging Manufakturing (IPM) Sidoarjo, serta masalah upah buruh yang belum juga dibayar selama 19 bulan di Kebun Binatang Surabaya.

Selain itu, tuntutan buruh Jawa Timur terkait masalah di PT Japfa Comfeed Indonesia di Sidoarjo yang dinilai melanggar aturan outsourcing, PHK terhadap pengurus Serikat Pekerja, upah yang tidak dibayarkan, dan buruh yang tidak diikutsertakan dalam Jamsostek lebih dari 25 tahun juga tidak kunjung dituntaskan oleh Pemprov Jawa Timur.

Untuk itu, pada 1 Mei (2012) ini, buruh yang tergabung dalam KSPI akan menggelar unjuk rasa yang jauh lebih besar jumlahnya untuk menyampaikan manifesto politik yang berisi tiga isu besar. Pertama, mendorong pelaksanaan jaminan sosial nasional; kedua, pemberian upah yang layak bagi buruh; dan ketiga, penghapusan sistem outsourcing (pekerja alih daya) yang dipandang bertentangan dengan undang-undang.

Jika tidak menginginkan adanya unjuk rasa yang dilakukan buruh, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali dengan mengabulkan tiga tuntutan buruh pada “May Day” tahun ini. Tapi, jika pemerintah menolak, dan tetap menginginkan tidak adanya unjuk rasa yang dilakukan buruh, pemerintah memerlukan jalan keluar yang jitu yang dapat menguntungkan baik dari pihak pemilik modal ataupun buruh.

Jalan Keluar

Tiga isu besar yang diusung buruh yang tergabung dalam KSPI dalam unjuk rasa kali ini sesungguhnya bermuara dari masalah outsourcing. Lebih tepatnya karena terdapat praktik outsourcing yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sistem outsourcing yang kini diterapkan cenderung mengeksploitasi buruh, seperti tidak adanya jaminan mendapatkan uang pesangon, asuransi kesehatan, mudah dipecat, dan gajinya yang lebih kecil dari karyawan tetap. Terdapat jurang yang lebar antara pekerja outsourcing dan pekerja tetap, meskipun memiliki beban kerja yang sama.

Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan telah diatur syarat-syarat yang ketat terkait pekerja outsourcing. Sebagaimana diketahui, sistem outsourcing diatur secara khusus dalam Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur antara lain bahwa pekerja outsourcing bukanlah pekerja yang terlibat langsung dalam kegiatan utama atau proses produksi perusahaan.

Namun kini, semua proses produksi telah menggunakan pekerja outsourcing. Dari hasil penelitian LIPI di Batam, misalnya, ditemukan terdapat perusahaan besar yang menggunakan pekerja outsourcing untuk jenis pekerjaan yang sama dengan pekerja tetap.

Hal itu dapat terjadi karena minimnya sistem pengawasan ketenagakerjaan pemerintah. Akibatnya UU Ketenagakerjaan kerap dianggap sebagai aturan yang tidak mengikat. Syukur-syukur dilaksanakan, kalaupun tidak, nggak menjadi masalah. Oleh sebab itu, pelanggaran yang sering terjadi di banyak perusahaan sama sekali tidak mendapatkan sanksi yang tegas.

Untuk mencari jalan keluar atas masalah ini, praktik outsourcing yang banyak melanggar aturan harus diawasi secara ketat agar kesejahteraan pekerja tetap terjamin dengan baik. Untuk itu, pemerintah melalui Kemenakertrans agar secepatnya mendeklarasikan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.

Mengenai pekerja outsourcing, tidak ada pilihan lain kecuali menerapkan konsep seperti apa yang disebutkan oleh LIPI sebagai Flex Security. Konsep ini berarti hak yang diterima pekerja outsourcing sama dengan pekerja tetap, terutama untuk kebutuhan dasarnya seperti jaminan kesehatan, sosial, dan hak-hak buruh lainnya.

Dalam konsep Flex Security jika si pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja maka pekerja yang bersangkutan akan mendapatkan kompensasi yang sama besarnya dengan pesangon pekerja tetap.

Jika jalan keluar ini tidak juga diindahkan oleh pemerintah, “Kaum buruh se-Indonesia bersatulah, lawan dan teruslah melakukan unjuk rasa, sampai hak-hak kalian dikabulkan.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar