Rabu, 02 Mei 2012

Kewajiban Negara dan Akta Kelahiran


Kewajiban Negara dan Akta Kelahiran
Prasetyadji, Sekretaris DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa,
Peneliti Senior pada Yayasan Konsorsium Catatan Sipil
SUMBER : SINAR HARAPAN, 01 Mei 2012


Kita semua sepakat bahwa setiap negara wajib memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum kepada setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami setiap penduduk dan warga negaranya.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, merupakan langkah awal dalam mewujudkan kesetaraan di antara sesama warga bangsa yang tidak lagi digolong-golongkan atas dasar etnik dan agama.
Undang-undang ini pula menjadi pelengkap dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pada dasarnya, pencatatan kelahiran dan kematian dengan pencatatan kependudukan seperti dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan, sekalipun bisa dibedakan.
Pencatatan kelahiran adalah langkah awal yang akan menunjukkan bertambahnya penduduk yang akan menentukan jumlah penduduk secara keseluruhan. Sudah tentu, kelahiran bukanlah satu-satunya cara untuk penambahan jumlah penduduk, karena masih ada cara lain seperti naturalisasi atau pewarganegaraan, bahkan bisa melalui pengungsian, seperti dialami Pakistan yang menerima pengungsi dari Afganistan.

Kenyataan di Lapangan

Menurut data Biro Pusat Statistik, penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 berjumlah 237.641.326 jiwa yang terdiri dari 119.630.913 laki-laki dan 118.010.413 perempuan. Jumlah penduduk yang cukup besar ini tentu ada segi positf maupun negatifnya.

Sementara itu, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, serta wilayah daratan terutama yang berada di luar Pulau Jawa dalam kondisi berhutan dan berawa.

Ditambah dengan transportasi dan komunikasi (infrastruktur) yang masih sangat terbatas, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari untuk menuju kota kabupaten dengan biaya yang cukup besar. Terlebih lagi, jajaran Kementerian Dalam Negeri baru memiliki sekitar 350 kantor catatan sipil di ibu kota kabupaten di wilayah Indonesia.

Kondisi di atas membuat akta kelahiran menjadi kebutuhan mewah dan asing bagi mereka yang tinggal jauh di pedalaman dan pulau-pulau kecil. Untuk itu, sangat masuk akal apabila laporan sensus Biro Pusat Statistik tahun 2005 menunjukkan hanya 42,82 persen anak berusia di bawah lima tahun yang baru tercatat di catatan sipil.

Minimum ada dua hal yang membuat mereka menjadi asing terhadap akta kelahiran. Ini karena mereka memang tidak pernah kenal atau menganggap tidak perlu sebab hanya akan membuang waktu, tenaga, dan uang. Faktor biaya dan pelayanan yang seharusnya menjadi kewajiban negara, dalam praktik justru menjadi beban masyarakat.

Di samping itu, keterlambatan pengurusan akta kelahiran di atas satu tahun diwajibkan melalui penetapan pengadilan. Kondisi ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam pengurusan akta catatan sipil, sehingga mereka menganggap hal ini hanya semakin menambah beban hidup dan ini sangat mengerikan.

Fakta yang sangat memprihatinkan ini tentu menjadi dosa bagi penyelenggara negara. Ini karena pemberian akta kelahiran merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada rakyatnya. Bagi rakyat, pemenuhan akta kelahiran menjadi hak yang mendasar yang seharusnya mereka miliki.

Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat orang tuanya.
Apabila pertambahan penduduk dapat dicatat dengan baik, segi positifnya adalah negara akan mampu membuat perencanaan pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan permukiman, dan pelayanan sosial. Namun, apabila pencatatannya kurang baik, negara akan kesulitan terutama dalam menyusun anggaran pendidikan, kesehatan, sosial, dan perlindungan anak (kecuali memang disengaja untuk berperilaku koruptif).

Di samping itu, terjadinya pemalsuan umur, merosotnya pendidikan (karena anak-anak tidak bisa sekolah), perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak (trafficking), dan adopsi ilegal.

Hal yang menjadi masalah saat ini adalah masih sedikitnya penduduk dan warga negara Indonesia memiliki akta kelahiran, sementara pemerintahan SBY-Boediono tampaknya kurang serius terhadap masalah ini. Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2005, jumlah penduduk usia 0-4 tahun baru 42,82 persen (8.176.229 orang) memiliki akta kelahiran. Sementara itu, usia di atas 4 tahun diperkirakan masih 50 juta orang belum memiliki akta kelahiran.

Malapetaka

Sebagaimana diketahui, dampak buruk akibat tidak dimilikinya akta kelahiran bagi anak atau seseorang pada akhirnya akan menjadi malapetaka yang berkepanjangan. Malapetaka itu antara lain stigma “anak haram” atau “anak hasil perselingkuhan” sebagaimana yang berkembang dalam masyarakat, karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 yang mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai status keperdataan anak luar kawin belum banyak diketahui masyarakat).

Begitu pula kesulitan untuk mendapatkan pendidikan atau bersekolah, dan akibat buruk dari tidak dapatnya orang mengenyam pendidikan ini mengarah pada terjadinya kemiskinan.

Dampak buruk lainnya seperti yang dialami sebagian guru di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang tidak dapat mengajukan sertifikasi profesi sebagai guru. Kesulitan tersebut terjadi karena bagi penduduk yang usia kelahirannya di atas satu tahun, proses pembuatan akta kelahirannya terlebih dahulu harus melalui penetapan pengadilan.

Nah, untuk membayar penetapan pengadilan ini, di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur pemohon diwajibkan membayar masing-masing uang sebesar Rp 250.000 dan tentunya biaya ini dapat membengkak lagi.

Terhadap munculnya permasalahan itu, negara tidak boleh tidur, karena apabila masalah ini tidak segera mendapatkan penyelesaian, akan menjadi kegelisahan yang berujung pada malapetaka di dalam masyarakat.

Langkah Penyelesaian

Tahun 2011, oleh Kementerian Dalam Negeri diterbitkan kebijakan yang memberikan dispensasi pengurusan akta kelahiran yang berlaku sampai akhir tahun itu. Namun, kebijakan ini dianggap tidak optimal karena kurangnya sosialisasi. Di samping itu, kebijakan dispensasi ini dianggap kurang memenuhi prosedur hukum karena tidak melalui penetapan pengadilan.

Sehubungan dengan itu, apabila pemerintahan SBY-Boediono ini benar-benar memikirkan hak mendasar yang wajib diberikan kepada rakyat, maka perlu mengambil langkah-langkah konkret, yaitu melalui Kementerian Dalam Negeri memperpanjang dispensasi pengurusan akta kelahiran dengan catatan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung agar menerbitkan peraturan yang menegaskan bahwa bagi pemohon akta kelahiran yang kelahirannya di atas satu tahun, penetapan pengadilan dapat dilakukan secara kolektif dengan biaya seringan-ringannya (sebesar Rp 10.000, misalnya), sebagaimana hal ini pernah diterbitkan dalam rangka pengambilan sumpah secara kolektif terhadap pemohon pewarganegaraan atau naturalisasi yang dipermudah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1995 yang lalu.

Dalam teknis di lapangan, seorang hakim dapat turun ke masing-masing kecamatan misalnya.

Dengan demikian, sebagai negara hukum, kita konsisten dengan kewajiban yang harus diberikan kepada warga negaranya. ●

1 komentar:

  1. saya sangat kecewa dengan pelayanan saat ini untuk membuat akta..
    Karena kesibukan kami berdua yang setiap hari berkerja, kami memutuskan mengurus akta kelahiran anak pertama saya yang lahir tanggal 09 n0vember 2011, ktp kami, kk kami, kk baru orang tua. Kepada pamong setempat, dan dikenakan biaya keseluruhan 370rb. Itu pun kami harus menunggu selama 11bulan.

    BalasHapus