Kewajiban Negara dan Akta Kelahiran
Prasetyadji, Sekretaris
DPP Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa,
Peneliti Senior pada Yayasan Konsorsium Catatan
Sipil
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 01 Mei 2012
Kita semua sepakat bahwa setiap negara wajib
memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum
kepada setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami setiap
penduduk dan warga negaranya.
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, merupakan langkah awal dalam mewujudkan
kesetaraan di antara sesama warga bangsa yang tidak lagi digolong-golongkan
atas dasar etnik dan agama.
Undang-undang ini pula menjadi pelengkap dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana setiap
anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, serta berhak atas suatu nama sebagai identitas
diri dan status kewarganegaraan.
Pada dasarnya, pencatatan kelahiran dan
kematian dengan pencatatan kependudukan seperti dua sisi mata uang, yang tidak
bisa dipisahkan, sekalipun bisa dibedakan.
Pencatatan kelahiran adalah langkah awal yang
akan menunjukkan bertambahnya penduduk yang akan menentukan jumlah penduduk
secara keseluruhan. Sudah tentu, kelahiran bukanlah satu-satunya cara untuk
penambahan jumlah penduduk, karena masih ada cara lain seperti naturalisasi
atau pewarganegaraan, bahkan bisa melalui pengungsian, seperti dialami Pakistan
yang menerima pengungsi dari Afganistan.
Kenyataan di Lapangan
Menurut data Biro Pusat Statistik, penduduk
Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 berjumlah 237.641.326 jiwa
yang terdiri dari 119.630.913 laki-laki dan 118.010.413 perempuan. Jumlah
penduduk yang cukup besar ini tentu ada segi positf maupun negatifnya.
Sementara itu, wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, serta wilayah daratan
terutama yang berada di luar Pulau Jawa dalam kondisi berhutan dan berawa.
Ditambah dengan transportasi dan komunikasi
(infrastruktur) yang masih sangat terbatas, sehingga membutuhkan waktu beberapa
hari untuk menuju kota kabupaten dengan biaya yang cukup besar. Terlebih lagi,
jajaran Kementerian Dalam Negeri baru memiliki sekitar 350 kantor catatan sipil
di ibu kota kabupaten di wilayah Indonesia.
Kondisi di atas membuat akta kelahiran
menjadi kebutuhan mewah dan asing bagi mereka yang tinggal jauh di pedalaman
dan pulau-pulau kecil. Untuk itu, sangat masuk akal apabila laporan sensus Biro
Pusat Statistik tahun 2005 menunjukkan hanya 42,82 persen anak berusia di bawah
lima tahun yang baru tercatat di catatan sipil.
Minimum ada dua hal yang membuat mereka
menjadi asing terhadap akta kelahiran. Ini karena mereka memang tidak pernah
kenal atau menganggap tidak perlu sebab hanya akan membuang waktu, tenaga, dan
uang. Faktor biaya dan pelayanan yang seharusnya menjadi kewajiban negara,
dalam praktik justru menjadi beban masyarakat.
Di samping itu, keterlambatan pengurusan akta
kelahiran di atas satu tahun diwajibkan melalui penetapan pengadilan. Kondisi
ini menjadi kendala bagi masyarakat dalam pengurusan akta catatan sipil,
sehingga mereka menganggap hal ini hanya semakin menambah beban hidup dan ini
sangat mengerikan.
Fakta yang sangat memprihatinkan ini tentu
menjadi dosa bagi penyelenggara negara. Ini karena pemberian akta kelahiran
merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan
pelayanan kepada rakyatnya. Bagi rakyat, pemenuhan akta kelahiran menjadi hak
yang mendasar yang seharusnya mereka miliki.
Hal itu secara tegas dinyatakan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak
sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh
mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat orang tuanya.
Apabila pertambahan penduduk dapat dicatat
dengan baik, segi positifnya adalah negara akan mampu membuat perencanaan
pembangunan dengan baik, seperti penyediaan sekolah, puskesmas, lahan
permukiman, dan pelayanan sosial. Namun, apabila pencatatannya kurang baik,
negara akan kesulitan terutama dalam menyusun anggaran pendidikan, kesehatan,
sosial, dan perlindungan anak (kecuali memang disengaja untuk berperilaku
koruptif).
Di samping itu, terjadinya pemalsuan umur,
merosotnya pendidikan (karena anak-anak tidak bisa sekolah), perkawinan di
bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak (trafficking), dan
adopsi ilegal.
Hal yang menjadi masalah saat ini adalah
masih sedikitnya penduduk dan warga negara Indonesia memiliki akta kelahiran,
sementara pemerintahan SBY-Boediono tampaknya kurang serius terhadap masalah
ini. Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2005, jumlah penduduk usia 0-4
tahun baru 42,82 persen (8.176.229 orang) memiliki akta kelahiran. Sementara
itu, usia di atas 4 tahun diperkirakan masih 50 juta orang belum memiliki akta
kelahiran.
Malapetaka
Sebagaimana diketahui, dampak buruk akibat
tidak dimilikinya akta kelahiran bagi anak atau seseorang pada akhirnya akan
menjadi malapetaka yang berkepanjangan. Malapetaka itu antara lain stigma “anak
haram” atau “anak hasil perselingkuhan” sebagaimana yang berkembang dalam
masyarakat, karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan
tanggal 17 Februari 2012 yang mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai
status keperdataan anak luar kawin belum banyak diketahui masyarakat).
Begitu pula kesulitan untuk mendapatkan
pendidikan atau bersekolah, dan akibat buruk dari tidak dapatnya orang
mengenyam pendidikan ini mengarah pada terjadinya kemiskinan.
Dampak buruk lainnya seperti yang dialami
sebagian guru di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang tidak dapat mengajukan
sertifikasi profesi sebagai guru. Kesulitan tersebut terjadi karena bagi
penduduk yang usia kelahirannya di atas satu tahun, proses pembuatan akta
kelahirannya terlebih dahulu harus melalui penetapan pengadilan.
Nah, untuk membayar penetapan pengadilan ini,
di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur pemohon diwajibkan membayar masing-masing
uang sebesar Rp 250.000 dan tentunya biaya ini dapat membengkak lagi.
Terhadap munculnya permasalahan itu, negara tidak
boleh tidur, karena apabila masalah ini tidak segera mendapatkan penyelesaian,
akan menjadi kegelisahan yang berujung pada malapetaka di dalam masyarakat.
Langkah Penyelesaian
Tahun 2011, oleh Kementerian Dalam Negeri
diterbitkan kebijakan yang memberikan dispensasi pengurusan akta kelahiran yang
berlaku sampai akhir tahun itu. Namun, kebijakan ini dianggap tidak optimal
karena kurangnya sosialisasi. Di samping itu, kebijakan dispensasi ini dianggap
kurang memenuhi prosedur hukum karena tidak melalui penetapan pengadilan.
Sehubungan dengan itu, apabila pemerintahan
SBY-Boediono ini benar-benar memikirkan hak mendasar yang wajib diberikan
kepada rakyat, maka perlu mengambil langkah-langkah konkret, yaitu melalui
Kementerian Dalam Negeri memperpanjang dispensasi pengurusan akta kelahiran
dengan catatan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung agar menerbitkan peraturan
yang menegaskan bahwa bagi pemohon akta kelahiran yang kelahirannya di atas
satu tahun, penetapan pengadilan dapat dilakukan secara kolektif dengan biaya
seringan-ringannya (sebesar Rp 10.000, misalnya), sebagaimana hal ini pernah
diterbitkan dalam rangka pengambilan sumpah secara kolektif terhadap pemohon
pewarganegaraan atau naturalisasi yang dipermudah berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 57 Tahun 1995 yang lalu.
Dalam teknis di lapangan, seorang hakim dapat
turun ke masing-masing kecamatan misalnya.
Dengan demikian, sebagai negara hukum, kita
konsisten dengan kewajiban yang harus diberikan kepada warga negaranya. ●
saya sangat kecewa dengan pelayanan saat ini untuk membuat akta..
BalasHapusKarena kesibukan kami berdua yang setiap hari berkerja, kami memutuskan mengurus akta kelahiran anak pertama saya yang lahir tanggal 09 n0vember 2011, ktp kami, kk kami, kk baru orang tua. Kepada pamong setempat, dan dikenakan biaya keseluruhan 370rb. Itu pun kami harus menunggu selama 11bulan.