Selasa, 17 April 2012

Menghitung Korupsi di Daerah


Menghitung Korupsi di Daerah
Dominikus Dalu S, Senior Asisten Ombudsman pada Ombudsman Republik Indonesia
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 17 April 2012



KITA patut memper tanyakan masa de pan pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun karena pembangunan di daerah sepertinya belum membawa perubahan berarti. Hanya di daerah tertentu yang secara kebetulan kepala daerahnya berprestasi karena memberikan kemajuan pada wajah daerah, sebut contoh Kota Surakarta dan Kabupaten Jembrana.

Selebihnya, publik disuguhi berita tentang tertangkapnya aparat pemerintah daerah karena korupsi. Setidaknya sampai dengan Februari 2012, Presiden telah memberikan izin pemeriksaan terhadap 168 kepala daerah atas permintaan penegak hukum. Sebanyak 78 izin di antaranya menyangkut kasus korupsi periode 1999-2004. Adapun 90 izin berkaitan dengan kasus yang terjadi dalam tujuh tahun masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
 
Selain yang sudah dihukum atau telah memperoleh vonis pengadilan, jumlah tindak pi dana korupsi di daerah yang memasuki tahap penyidikan sampai saat ini mencapai sekitar 1.028 kasus, tercatat 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat korupsi.

Kasus paling `anyar' mengenai korupsi ialah penahanan beberapa anggota DPRD Riau terkait dengan suap dana PON di Pekanbaru dan Wali Kota Semarang Soemarmo karena terlibat suap dalam pembahasan RAPBD 2012 oleh KPK. 

Sebagai akibat dari meratanya korupsi di tingkat pusat dan daerah, publik menggugat manfaat serta kemaslahatan otonomi daerah. Padahal, hakikat otonomi daerah yang pertama dan terutama ialah pemerataan dan peningkatan kesejahteraan serta keadilan masyarakat di daerah dengan mengelola pemerintahan secara otonom.

Merampok APBD

Sebagian besar dana yang dikorupsi di daerah berasal dari APBD. Data BPK tentang komitmen APBD selama masa reformasi di lebih dari 200 kabupaten dan kota se-Indonesia memperlihatkan rasio yang timpang. Besaran dana pembangunan daerah ternyata hanya mencapai 17%-29%. Artinya, hampir sebagian besar uang rakyat dan kekayaan negara selama era otonomi daerah terserap untuk membiaya semua unsur pemerintahan daerah. Hal itu bisa terjadi karena belanja yang besar dan pembiayaan tinggi terhadap aparatur pemerintahan termasuk pengeluaran yang tidak seharusnya serta adanya penyimpangan.

Korupsi di mana pun dan oleh siapa pun pada dasarnya disebabkan dua hal, yakni perilaku manusia dan sistem yang memberikan peluang. Menurut KPK, pemerintahan daerah yang paling sering terlibat korupsi ialah dari unsur anggota dan pimpinan DPRD serta pemerintah daerah (gubernur atau bupati/wali kota dan jajarannya).

Modus yang paling sering dilakukan DPRD ialah memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas anggota DPRD, menyalurkan dana APBD bagi anggota parlemen daerah melalui yayasan fiktif, memanipulasi perjalanan dinas, menerima gratifikasi, dan menerima suap. Modus yang paling sering dilakukan unsur pemerintah daerah ialah pengadaan barang dan jasa dengan cara mark-up dan pengubahan spesifikasi barang, penggunaan sisa anggaran tanpa pertanggungjawaban dan tanpa prosedur, penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah, pemanipulasian sisa APBD, pemanipulasian dalam pengadaan/perizinan dan konsesi hutan, gratifikasi dari BPD penampung dana daerah, bantuan sosial tidak sesuai peruntukannya, penggunaan APBD untuk keperluan keluarga dan kroninya, penerbitan perda untuk upah pungut pajak, tukar guling aset daerah secara mark down, penerimaan fee bank, dll. Selain itu, menurut BPK, modus korupsi yang dilakukan di daerah mencakup tiga hal, yakni penggelembungan dana program, program fiktif, dan investasi dana daerah pada lembaga keuangan yang tidak prudent. Beberapa kabupaten di Provinsi Papua, misalnya, pernah mengalami kebangkrutan karena defisit APBD yang parah.

Selain itu, sudah menjadi hal lumrah kalau pemda tertentu di Indonesia menunggak pembayaran listrik yang menjadi kewajiban dan pembayaran biaya rumah sakit daerah bagi pasien penerima Jamkesmas dll karena salah urus atau bahkan karena anggarannya telah dikorupsi.

Salah satu penyebab mengapa korupsi demikian marak di daerah ialah ongkos politik pemilu kada yang sedemikian mahal. Kesenjangan antara dana kampanye pemilu kada dan gaji kepala daerah membuat korupsi berjalan secara masif. Dana yang dihabiskan calon gubernur atau bupati/ wali kota untuk kampanye mencapai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.

Seorang gubernur, misalnya, dalam lima tahun masa jabatannya maksimal hanya bisa mengumpulkan Rp6 miliar. Ambil contoh, seorang Gubernur DKI Jakarta, misalnya, bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp100 juta per bulan dari gaji plus tambahan penghasil an lainnya sehingga dalam setahun mencapai Rp1,2 miliar, dalam lima tahun periode pemerintahannya maksimal hanya terkumpul Rp6 miliar. Kondisi gaji pokok yang diterima saat ini untuk gubernur hanya berkisar Rp8,6 juta dan gaji bupati atau wali kota sekitar Rp6,2 juta. Pertanyaannya, bagaimana menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama masa kampanye pemilu kada? Karena itu, bukan mustahil kepala daerah dapat menghalalkan segara cara termasuk korupsi untuk balik modal.

Melihat praktik serta modus korupsi yang sedemikian parah karena menggerogoti hampir semua keuangan daerah yang notabene diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, rasanya tepat adagium yang menyatakan korupsi membawa kehancuran kepada suatu bangsa. Oleh karena itu, penanganan kasus korupsi di semua tingkatan dan kepada siapa saja yang terlibat, apakah di tingkat pusat maupun di daerah, senantiasa dilakukan tanpa pandang buluh apalagi tebang pilih.

Kejahatan Kalkulasi

Mengingat pula bahwa praktik korupsi di daerah yang tidak kalah canggih dengan praktik korupsi di tingkat pusat, upaya luar biasa hendaknya juga harus diterapkan dalam pemberantasan korupsi di daerah. Oleh karena ujung tombak pemberantasan korupsi ada pada penegak hukum, ke depan kita berharap penegak hukum benar-benar tidak main mata dengan koruptor. Semoga kita tidak mendengar lagi berita tentang bebasnya koruptor melalui putusan pengadilan baik oleh pengadilan tipikor di daerah maupun oleh pengadilan umum. Selain itu, hukuman yang berat bagi koruptor perlu diterapkan.

Hukuman paling berat bagi koruptor yang berlatar belakang kepala daerah selama ini baru menimpa Bupati Lampung Timur Satono. Ia dihukum penjara selama 15 tahun berdasarkan putusan kasasi MA pada awal tahun ini, walaupun belum dapat dieksekusi karena yang bersangkutan kabur dan sekarang menjadi salah satu buron yang paling dicari.

Sementara kepala daerah lainnya yang terlibat korupsi mendapat hukuman kurang dari itu, bahkan ada yang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama seperti Wali Kota Bekasi (Pengadilan Tipikor Bandung), walaupun kemudian dihukum penjara sesuai dengan putusan pengadilan di tingkat MA. Ide memiskinkan koruptor kiranya hanya bukan wacana, melainkan sudah layak untuk segera diterapkan. Bila perlu, buat UU khusus tentang pemiskinan koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar