Kamis, 05 April 2012

Leletnya Penegakan Hukum Korupsi


Leletnya Penegakan Hukum Korupsi
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
SUMBER : KORAN TEMPO, 05 April 2012



Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritasnya, penegak(an) hukum di Indonesia juga dikenal superlelet. Jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan efektif. Jika dirunut secara kronologis, penyebab lambannya program penegakan hukum, khususnya pada konteks pemberantasan kasus korupsi, terletak pada hampir semua jajaran institusi penegak hukum, dari pengadilan hingga jaksa, menjadi eksekutor.

Satu hal yang menggambarkan lambannya hukum bekerja dapat dilihat dalam kasus di mana banyak koruptor telah divonis bersalah oleh pengadilan, tetapi mereka tidak mendekam di penjara gara-gara gagalnya jaksa melakukan eksekusi putusan pengadilan. Padahal eksekusi putusan pengadilan merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum yang pelaksanaannya bersifat wajib. Andai aparat penegak hukum lalai melaksanakan kewajiban eksekusi, mereka bisa dianggap telah melawan hukum karena mengabaikan perintah undang-undang.

Dalam pemantauan ICW selama kurun waktu 10 tahun, yakni dari 2002 hingga 2012, ditemukan 49 terpidana kasus korupsi yang tidak dapat dieksekusi putusannya karena berbagai sebab. Selain melarikan diri alias DPO, beberapa di antara mereka tetap bisa bebas karena lambannya jaksa dalam melakukan eksekusi, sekaligus karena Mahkamah Agung belum mengirim salinan putusan yang bersifat tetap (inkracht). Hal ini sebagaimana Undang-Undang KUHAP menyatakan dalam pasal 270, bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirim salinan surat putusan kepadanya (Emerson Yuntho, 2012).

Akibat gagalnya eksekusi putusan pengadilan dalam kasus korupsi tidak terbatas pada hilangnya kesempatan bagi pelaku korupsi untuk menjalani hukuman badan sebagai sebuah risiko yang harus ditanggung karena melakukan pidana korupsi, namun juga pupusnya peluang bagi negara untuk memaksimalkan penyelamatan keuangan negara.

Pasalnya, vonis pengadilan dalam kasus korupsi sebagian besar berkaitan dengan dua hal, yakni vonis kurungan penjara dan pembayaran denda serta biaya pengganti kejahatan korupsi yang nilainya setara dengan jumlah uang yang telah dikorupsi oleh pelaku. Jika pelaku korupsi gagal dieksekusi, secara otomatis biaya pengganti dan dendanya juga luput dari eksekusi.

Lempar Tanggung Jawab

Jika keadaan semacam ini dimintakan pertanggungjawabannya kepada penegak hukum, biasanya mereka akan saling lempar tanggung jawab. Kejaksaan akan menyalahkan MA yang lamban dalam mengirim salinan putusan. Demikian pula, MA akan menyalahkan kejaksaan karena tidak buru-buru melakukan eksekusi putusan. Tentu kebiasaan semacam ini tidak positif, terutama karena agenda pemberantasan korupsi telah menjadi kesepakatan nasional yang semestinya menjadi komitmen bersama seluruh aparat penegak hukum.

Bisa dikatakan, antara kejaksaan dan MA serta jajaran pengadilan di tingkat pertama memiliki porsi kesalahan yang hampir sepadan dalam hal eksekusi. Pada tingkat kejaksaan, agenda eksekusi putusan pengadilan tidak dicantumkan sebagai salah satu tolok ukur kinerja dalam pemberantasan korupsi. Kejaksaan masih berkutat pada jumlah perkara yang berhasil disidik dan dituntut, serta jumlah penyelamatan keuangan negara, tetapi tidak menyebutkan sama sekali jumlah kasus korupsi yang berhasil dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan.

Akibatnya, agenda pemberantasan korupsi yang seharusnya berujung pada eksekusi atas pelaku yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan menjadi antiklimaks. Seakan-akan, ketika jaksa sudah berhasil menyelesaikan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka penanganan kasus korupsi dianggap final. Sekadar mengingatkan, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 30 ayat (1) huruf b, dinyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang jaksa adalah melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada tingkat MA dan pengadilan tingkat pertama, soal yang membuat eksekusi menjadi lamban adalah karena proses penyusunan salinan putusan pengadilan berlangsung sangat lama. Dalam hitungan waktu, perjalanan salinan putusan dari MA ke pengadilan pertama hingga ke kejaksaan setempat yang akan mengeksekusi putusan dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan.

Padahal dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2010, yang kemudian diperbarui menjadi SEMA Nomor 1 Tahun 2011 tentang penyampaian salinan dan petikan putusan, dibatasi, paling lambat 14 hari kerja sejak putusan dibacakan, pengadilan harus menyerahkan salinan putusan. Namun, kenyataannya, meskipun sudah diatur sedemikian rupa, perjalanan salinan putusan dari pengadilan ke pihak terkait tetap seperti jalannya siput.

Kiblat Positif

Tentu menjadi agak aneh jika hingga detik ini kejaksaan dan pengadilan masih berkutat dengan masalah klasik seputar lambannya salinan putusan diterima hingga menunda eksekusi, sementara pada sisi yang lain Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menyediakan salinan putusan atas semua perkara yang telah diselesaikan oleh mereka dalam waktu satu hari saja.

Siapa pun dapat mengakses putusan lengkap MK melalui website tanpa kecuali, sehingga hal demikian juga mengurangi terjadinya praktek “jual-beli” informasi sebagaimana ditengarai terjadi di lembaga penegak hukum. Kecepatan untuk menyediakan informasi putusan yang lengkap juga dapat mencegah panitera, misalnya, bermain-main dengan dokumen putusan dengan maksud mengubah putusan yang dapat menguntungkan terdakwa.

Apa yang terjadi di MK semestinya juga dapat berlaku di MA serta jajarannya. Bukan hanya karena dukungan teknologi modern yang dari sisi harga tidak mahal. Manajemen sumber daya manusia yang dapat diandalkan untuk menyalin, menyusun, dan menyajikan salinan putusan secara cepat dan akurat adalah faktor penentu yang tidak dapat dilupakan. Karena itu, melakukan perbaikan pada manajerial perkara di MA dan pengadilan merupakan pekerjaan rumah utama bagi Ketua MA yang baru terpilih, agar penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif.

Demikian pula halnya dengan kejaksaan, dapat meniru langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dengan cepat bergerak untuk melakukan eksekusi putusan yang sudah inkracht. Bukannya KPK tidak mengalami masalah yang sama dengan kejaksaan, yakni terlambat menerima salinan putusan pengadilan, tetapi cara pandang yang progresif membuat KPK lebih berani mengambil langkah untuk melakukan eksekusi putusan dengan landasan petikan putusan, bukan salinan putusan.

Sebagai contoh adalah kasus putusan kasasi MA yang telah memvonis bersalah wali kota non-aktif Bekasi, Mochtar Muhammad. Meskipun pengacara bersangkutan berkukuh bahwa langkah KPK melakukan eksekusi terhadap terpidana menyalahi KUHAP--karena hanya berlandaskan petikan putusan, bukan salinan putusan sebagaimana dinyatakan dalam undang-undangnya--langkah KPK hingga detik ini tidak pernah dianggap cacat hukum oleh pengadilan. Argumentasi KPK cukup menarik karena mereka mempersilakan pengacara koruptor melakukan langkah hukum seperti pra-peradilan andai tidak puas terhadap keputusan KPK.

Mengingat petikan putusan jauh lebih cepat datangnya dibandingkan dengan salinan putusan, semestinya kejaksaan juga memiliki sikap yang sama dengan KPK. Tidak ada alasan yang dapat diterima jika terpidana bebas berkeliaran tanpa bisa dieksekusi, gara-gara soal salinan putusan yang belum berada di tangan. Sekali lagi, soal penegakan hukum kita yang lamban sebenarnya bisa diterobos sepanjang ada niat untuk melakukannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar