Selasa, 17 April 2012

Kerentanan UU Penanganan Konflik Sosial


Kerentanan UU Penanganan Konflik Sosial
Novri Susan, Sosiolog Konflik Universitas Airlangga, Surabaya;
Penulis Buku Negara Gagal Mengelola Konflik (2012)
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 April 2012



Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial sudah disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 April 2012 sebagai undang-undang baru (UU PKS). Lantas apakah berbagai konflik dan kekerasan yang selama ini masih menjadi warna dominan hidup berbangsa bisa dihapus atau direduksi secara signifikan? Menjawab pertanyaan ini, paling tidak ada dua hal fundamental dalam perspektif tata kelola konflik negara demokratis. Pertama, substansi materi UU PKS yang berkaitan dengan konsep dan perspektif. Kedua, model praktek kekuasaan dari level pusat sampai daerah di Indonesia.

Perspektif tata kelola konflik secara fundamental menjelaskan filosofi bahwa setiap relasi sosial, baik dalam ekonomi, politik, maupun kemasyarakatan, memiliki sifat konfliktual. Setiap manusia dan kelompok kolektif tertentu (subyek sosial), dalam relasi keseharian yang kompleks, tidak bisa menafikan bahwa kebutuhan yang direpresentasikan oleh pengetahuan, kepentingan, dan tujuan-tujuan tertentu dalam lingkungan hidup bersama selalu berada dalam realitas yang relatif serta dinamis. Kebutuhan-kebutuhan yang relatif itulah yang menyebabkan setiap relasi sosial tidak secara langsung pada kondisi konsensual (pemecahan masalah), tapi melalui proses interaksi dinamis dari perbedaan, pertentangan, dan persaingan dari setiap kebutuhan subyek. Proses interaksi dinamis tersebut yang secara substantif menciptakan variasi fenomena konflik dalam arena kehidupan sosial, seperti di pasar, sekolah, perusahaan, dan perkantoran.

Berdasarkan filosofi tersebut, konflik merupakan relasi sosial antar-subyek sosial yang memiliki perbedaan kebutuhan dengan menciptakan interaksi dinamis dalam arena sosial tertentu. Pada perspektif ini, konflik memiliki konteks, dan bukan merupakan situasi benturan atau kekerasan fisik di antara subyek sosial. Praktek kekerasan memiliki dimensi berbeda, walaupun bisa beririsan dengan fenomena konflik (Rules, 1988; Kalyvas dkk, 2008). Namun, secara simplistis, dalam UU PKS pasal 1 ayat 1 disebutkan, "Konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan." Perspektif konflik ala UU PKS itu jelas akan menjadi pintu gerbang kesalahan fundamental dalam membangun tata kelola konflik sosial.

Sebab, dalam perspektif konseptualnya, UU PKS memiliki kecenderungan meningkatkan represi dan kekerasan negara yang dipandang mampu menciptakan "pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca-konflik" (pasal 1 ayat 2). Secara mengada-ada dipaparkan lebih lanjut soal kondisi keadaan konflik dalam pasal 1 ayat 7, "adalah suatu keadaan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat atau wilayah tertentu di mana keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, aktivitas pelayanan pemerintahan terancam...". Jika UU PKS ini diterjemahkan dalam kebijakan politik, konflik antara kelompok masyarakat sipil dan pihak swasta, yang pada banyak kasus melibatkan pemerintah, bisa langsung diterjemahkan sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban. Apalagi pada pasal 30, gubernur dan bupati/wali kota bisa meminta bantuan sumber daya TNI untuk menangani "keadaan konflik". Pasal ini rentan dimanfaatkan untuk kepentingan melindungi kepentingan sempit ekonomi politik tertentu. Misal pada kasus-kasus konflik para petani adat dengan swasta atau perusahaan milik negara (badan usaha milik negara) bisa dengan mudah dipandang sebagai "keadaan konflik" yang mengancam keamanan dan ketertiban. Pada banyak kasus, dengan melihat perilaku negara selama ini, masyarakat petani kecil atau adat bisa tersubordinasi oleh kekerasan negara.

Pada kenyataannya, fenomena konflik tidak selalu sarat dengan praktek kekerasan fisik dan selalu membutuhkan pendekatan kontekstual untuk memecahkan masalah di dalamnya. Respons kekerasan fisik bisa saja merupakan respons terhadap ketidakadilan dari struktur ekonomi politik tertentu. Adapun jika mengacu pada UU PKS, setiap konflik adalah benturan dan kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah praktek sosial yang tercipta melalui proses simultan antara naluri animal prone dan nalar instrumental yang secara sengaja menggunakan kekerasan untuk mencapai kebutuhan subyek sosial. Fenomena konflik sosial bisa dibubuhi kekerasan fisik ketika subyek-subyek sosial masuk dalam proses simultan tersebut. Kekerasan selalu menjadi kendala setiap relasi konflik mencapai kondisi konsensual. Karena itu, pada masyarakat yang telah terbangun sistem sosial dan budaya cenderung terdapat kelembagaan yang mendorong konflik-konflik para anggotanya mencapai kondisi konsensual.

Pada dunia modernitas, kelembagaan itu disebut local wisdom (kearifan lokal) dalam pranata adat yang masih memelihara struktur sosial dan budaya secara kuat. Posisi pranata adat secara sosiologis menjadi sangat fundamental dalam upaya menyelesaikan berbagai konflik sosial. Namun, walaupun UU PKS dalam pasal 37 memasukkan posisi pranata adat sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian konflik, tidak ada penekanan substantif bahwa konflik sosial yang disebabkan oleh kebijakan negara bisa diselesaikan oleh mekanisme adat. Sebaliknya, sangat ditekankan bahwa semua konflik sosial merupakan produk dari benturan kepentingan dalam masyarakat semata sebagaimana dimuat dalam pasal 5. Padahal tidak jarang kekuasaan sering memanfaatkan kelompok sipil untuk mengalihkan dimensi konflik vertikal menjadi konflik sosial horizontal. Kelengahan ini pada praktek perundangan UU PKS berpotensi menciptakan deteriorating conflict atau kondisi konflik yang meluas ke bentuk kekerasan kolektif dalam masyarakat.

Praktek Kekuasaan

Isu kedua adalah model praktek kekuasaan dari level pusat sampai daerah yang memiliki posisi dominan dalam UU PKS. Secara normatif, UU PKS melalui pasal 9 mendorong pemerintah daerah, yang menjadi aktor kuat dalam penanganan konflik sosial, menjalankan prinsip kepemerintahan yang baik, menegakkan hukum, serta melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal. Tapi pasal 9 tersebut secara politis bisa saja diabaikan atau terhapus karena materi-materi buruk lebih dominan. Pada saat bersamaan, kekuasaan memiliki kebiasaan politik (habit) tidak demokratis yang dibentuk oleh kepentingan sempit.

Masih banyak kekuasaan daerah yang berpihak kepada pemodal besar dalam sengketa tanah antara masyarakat dan swasta, lebih aktif pergi jalan-jalan ke luar kota daripada turun ke bawah menyerap aspirasi, serta tidak sedikit pula kekuasaan daerah yang lebih memilih cara kekerasan untuk menangani berbagai kasus konflik sosial. Kenyataannya, kekuasaan di Indonesia, pusat dan daerah, masih memiliki kebiasaan politik buruk, seperti sering berpihak kepada kelompok yang memberi keuntungan sendiri, menjadikan keamanan sebagai bisnis, sampai mengabaikan aspirasi masyarakat kecil dalam banyak isu. Maka kombinasi materi UU PKS dan kebiasaan politik kekuasaan di Indonesia akan menciptakan kombinasi ampuh makin parahnya konflik-konflik sosial dan meningkatnya kekerasan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar