Kamis, 05 April 2012

BBM, Etika, dan Muslihat


BBM, Etika, dan Muslihat
Robertus Robet, Pengajar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
SUMBER : KORAN TEMPO, 04 April 2012



Hiruk-pikuk pro dan kontra kenaikan harga bahan bakar minyak sudah meredup dengan berakhirnya Sidang Paripurna DPR. Setelah sidang yang penuh kekonyolan itu, tiap pihak berdiri dengan posisi masing-masing, tetapi mengklaim "obyek" yang sama: rakyat! Yang mengamati seluruh proses itu secara pintas lalu akan mendapat kesulitan untuk memahami manakah posisi yang benar-benar, posisi rakyat itu. Oposisi yang menentang rencana kenaikan harga BBM memompa suplemen "rakyat" melalui demonstrasi di sekitar gedung DPR. Sedangkan pemerintah mendefinisikan rakyat itu melalui argumen rasionalitas ekonomi tentang ancaman defisit dan beban anggaran. Tulisan berikut ini tidak ingin terlibat dalam urusan benar-salah kenaikan harga BBM. Ia hanya bermaksud menyoroti etika keterlibatan dalam pembuatan keputusan publik.

Untuk memberikan refleksi etis mengenai soal itu, mari kita petakan terlebih dulu para "pihak" yang terlibat. Secara sederhana, dalam sudut pandang nalar politik dan kepantasan-kepantasan di dalamnya, pembelahan posisi dalam kenaikan harga BBM mestinya terbagi atas dua pihak.

Pertama, pemerintah, yakni gabungan partai-partai koalisinya dalam Sekretariat Gabungan (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP). Setiap pihak dalam Setgab harus dilihat sebagai pemerintah. Mereka harus diasumsikan berposisi mendukung kebijakan pemerintah, mengingat mereka semua adalah anggota atau bagian dari pemerintahan dengan jatah kursi kabinet masing-masing. Atau, setidaknya, sebagai pemerintah, mereka akan keluar dengan satu posisi yang sama.

Kedua, pihak yang menentang kenaikan harga BBM, yakni semua partai "oposisi" di DPR (PDIP, Hanura, Gerindra), yang mestinya bisa keluar dengan posisi yang berbeda-beda, mengingat oposisi bisa saja memiliki pandangan dan perspektif yang berbeda soal BBM. Tetapi ternyata secara sederhana mereka mengambil satu posisi yang sama: menolak kenaikan harga BBM.

Persoalan etis muncul dalam ketidaksinkronan antara tindakan dan keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak dari dua kubu yang berbeda dengan posisi asalinya. Mari kita mulai dari pihak oposisi.

Pada 10 Januari 2012, dalam sebuah kesempatan, sebagaimana dicatat berbagai media, pemimpin PDIP, Megawati, menekan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Argumen Megawati pada waktu itu--secara ironis--sama dengan argumennya sekarang ketika menolak kenaikan harga BBM. BBM harus naik karena, kata Megawati, "harus dilihat dari realitas internasional, karena masalah energi benar-benar menyentuh rakyat" (Tempo.co, 10 Januari 2012). Dengan berpegang pada posisi itu, logisnya Megawati dan Fraksi PDIP dalam voting minggu lalu ada di samping Demokrat dan tidak perlu ngeloyor keluar ruang sidang (WO). Sebab, bukankah mereka sendiri paham benar bahwa harga BBM mesti naik?

Megawati mungkin bisa berkilah dengan retorika ringan bahwa dia berubah "demi rakyat".  Akan tetapi, bagi kalangan mereka yang serius berpolitik, gonta-ganti keputusan publik yang demikian strategis dan penting di waktu yang demikian dekat sungguh di luar "perhitungan" masuk akal.

Persoalan yang sama berlaku pada anggota kompartemen kubu Setgab. Sikap yang secara etis paling ganjil dipertontonkan oleh PKS. PKS adalah bagian dari pemerintahan. Mereka adalah bagian dari kekuasaan, dan hal itu dimanifestasikan dengan posisi menteri-menteri mereka di dalam kabinet. Dengan posisi itu, mestinya PKS jelas harus berada dalam posisi pemerintah. Merekalah yang mestinya paling depan bersama Demokrat mengatakan "setuju kenaikan harga BBM". Yang terjadi, justru di luar kepatutan: kita ketahui bersama bahwa PKS bersuara sama dengan kubu non-Setgab.

Pertanyaannya: apakah sebagai anggota Setgab dan bagian dari kekuasaan, PKS tidak boleh berposisi berbeda dengan Demokrat/pemerintah? Jawabannya, ya, tentu saja PKS boleh berposisi berbeda dengan pemerintah! Tetapi posisi itu mestinya disampaikan secara tegas dan jernih dalam forum Setgab terlebih dulu. Apabila di dalam Setgab ternyata posisi PKS dan posisi Setgab masih berbeda, maka PKS secara fair dan penuh integritas boleh mengatakan: kami keluar dari Setgab karena kami menolak kenaikan harga BBM! Dengan demikian, publik mendapat gambaran yang jelas dan politik menjadi berharga karena menjadi arena yang terang-benderang bagi keteguhan posisi dan harga diri. Selain itu, kejelasan posisi di dalam Setgab bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk mengukur posisi dan menilai koalisi, sebelum semuanya masuk ke Sidang Paripurna DPR.

Soal ketiga adalah posisi Golkar yang dianggap sebagai partai paling berpengalaman dalam bermanuver. Golkar adalah representasi pemerintah dan kekuasaan yang terbesar setelah Demokrat, ia menjadi penentu dari suara Setgab. Karena itu, mestinya ia menjadi partai yang ikut memikul tanggung jawab paling berat untuk melancarkan kebijakan pemerintahan. Bukankah pemerintah SBY adalah pemerintahan Golkar juga? Tetapi godaan popularitas yang muncul dari politik ekstra-parlementer rupanya juga menarik perhatian Golkar dan menghasilkan posisi yang ganjil.

Golkar menolak kenaikan harga BBM tapi mendukung opsi 2, yang artinya: Golkar menolak kenaikan harga BBM 1 April tapi menerima kenaikan harga BBM setelahnya. Posisi menolak tapi menerima Golkar ini pada akhirnya memang tetap "memenangkan" kebijakan Setgab, tapi dipandang kurang bernilai oleh kubu di sebelah sana. Yang menjadi masalah dari posisi Golkar itu adalah, kalau memang Golkar memiliki perhitungan ekonomi sendiri yang berbeda dengan posisi pemerintah, mengapa soal itu tidak dibereskan lebih dulu di forum Setgab? Sehingga, ketika masuk ke paripurna, mereka masuk sudah dalam satu posisi? Selain itu, kalau memang basisnya adalah perhitungan ekonomi yang rasional, mengapa tidak disajikan secara terbuka dan jelas sebelum paripurna? Absennya keterbukaan dan kejujuran inilah yang kiranya menyeret analisis banyak orang bahwa keputusan soal kebijakan harga BBM didominasi oleh motif-motif abu-abu.

Yang terakhir tentang posisi Demokrat. Demokrat mengambil posisi yang konsisten total mendukung kebijakan SBY-Boediono menaikkan harga BBM. Sayangnya, kebijakan itu dieksekusi dalam situasi di mana legitimasi politik Demokrat sedang dilanda krisis. Pada saat yang sama, dari pengalaman di masa lalu, isu BBM selalu menjadi isu yang mudah menyulut mobilisasi dan protes. Keadaan inilah yang kiranya dibaca oleh kekuatan-kekuatan politik oposisi dan-ironisnya--partai-partai di sekitar pemerintah sendiri, untuk dimanfaatkan demi investasi politik 2014 maupun untuk menaikkan posisi tawar.

Kelemahan Demokrat dalam mengelola dukungan publik, ketegasan dalam memangkas masalah-masalah krusial seperti soal korupsi di dalam partai, kurangnya respons terhadap jeritan kelompok minoritas yang terus menjadi korban kekerasan, menghadirkan Demokrat yang lemah di mata pesaingnya. Inilah yang menghasilkan ganjalan dan kesulitan dalam melancarkan kebijakan yang paling rasional sekalipun di legislatif.

Meski demikian, pada akhirnya, apabila dipandang dari sudut etika, lepas dari segala kelemahan dan persoalannya, harus dikatakan bahwa satu-satunya pihak yang jujur dalam drama kenaikan harga BBM ini adalah pemerintah. Dari sudut pandang etika, pemerintah telah secara terbuka dan terang-benderang menjelaskan posisinya serta argumen-argumen kebijakannya kepada publik dan bertahan dengan posisi itu hingga titik akhir voting di DPR. Kejelasan inilah yang memungkinkan publik memahami, sehingga bisa memilih untuk menerima atau menolak!

Bayangkan musibah logika apa yang bakal terjadi sekiranya SBY--demi mengambil hati demonstran--di saat-saat genting sidang paripurna itu berbelok mengambil posisi yang sama dengan PKS dan Megawati? Yang tidak logis bisa bertransformasi menjadi yang tidak etis. Lepas dari berbagai kritik, kejujuran SBY untuk kebijakan kenaikan harga BBM telah membantu publik untuk memahami sesuatu, setidaknya memahami kelemahan dari kebijakan itu sendiri. Moga-moga, dengan modal itu, pemerintah bisa bekerja lebih keras untuk menyentuh aspek fundamental dari krisis energi ini: percepat konversi energi, reformasi transportasi publik, dan inovasi energi alternatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar