Rabu, 07 Juni 2017

Persekusi

Persekusi
Sigit Riyanto  ;   Guru Besar Hukum Internasional dan Dekan Fakultas Hukum UGM; Anggota Dewan Riset Nasional Bidang Pertahanan dan Keamanan
                                                         KOMPAS, 07 Juni 2017



                                                           
Dalam beberapa bulan terakhir ini, istilah persekusi begitu mengemuka dalam pemberitaan di berbagai media di Tanah Air.

Penggunaan istilah persekusi dan pemberitaan oleh berbagai media, baik media cetak, elektronik, daring, maupun media sosial yang begitu gencar, telah memunculkan dugaan, anggapan, bahkan kepercayaan publik bahwa tindakan persekusi telah terjadi dan nyata adanya di Indonesia.

Benarkah benar-benar telah terjadi persekusi di Indonesia? Atau sekadar penggunaan istilah yang salah kaprah belaka. Suatu penggunaan kata-kata yang keliru atau tidak tepat, tetapi diterima secara umum bahkan seolah-olah dianggap sebagai hal yang benar dan memang demikian seharusnya.

Adalah sangat mungkin  terjadinya peristiwa kekerasan oleh sekelompok warga terhadap warga lain yang selama ini diberitakan dengan gencar sebagai tindakan persekusi, sejatinya adalah tindakan pelanggaran hukum pidana biasa (penganiayaan; main hakim sendiri). Akan tetapi, karena adanya konteks situasi konflik horizontal antara kelompok warga tertentu dan kelompok warga lain, lalu diasumsikan sebagai tindakan penganiayaan dan atau penindasan yang dianggap telah mencapai derajat tindakan persekusi.

Suatu generalisasi yang terlalu menyederhanakan persoalan dan gegabah.

Makna persekusi

Persekusi merupakan  suatu istilah hukum yang khas dan spesifik dalam kaitannya dengan perlindungan hak  asasi manusia (HAM) serta dalam situasi yang khusus pula, yakni manakala mekanisme perlindungan nasional tidak tersedia.

Kata persekusi sejatinya merupakan terminologi yang pada dasarnya dikenal dan berlaku dalam wacana hukum perlindungan hak asasi manusia, khususnya Hukum Pengungsi Internasional (International Refugee Law). Istilah persekusi mengandung makna "setiap tindakan penindasan dan atau penganiayaan yang dilakukan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keyakinan politik, atau keanggotaan pada kelompok sosial tertentu". Batasan ini dapat ditemukan, misalnya di dalam Konvensi Geneva 1951 tentang Status Pengungsi. 

Dalam situasi kesimpangsiuran pemahaman dan kesalahkaprahan penggunaan istilah persekusi ini, dapat saja setiap pihak yang menjadi korban kekerasan atau penganiayaan mengaku dirinya sebagai korban tindakan persekusi.

Perlu dipahami bahwa untuk sampai pada taraf telah terjadi tindakan persekusi, harus dilihat kasus per kasus, ada institusi,  mekanisme, bahkan proses ajudikasinya. Setiap orang boleh saja mengaku bahwa dirinya korban persekusi. Namun, pengakuan itu masih harus diverifikasi dan diuji kredibilitasnya secara internal ataupun eksternal untuk sampai pada kualifikasi yang sahih tentang ada-tidaknya tindakan persekusi.

Patut dicatat juga bahwa sejatinya tindakan persekusi dapat dilakukan oleh aparat negara ataupun pihak lain yang bukan merupakan aparat negara (non state actors). Oleh karena itu, untuk menilai ada-tidaknya tindakan persekusi perlu dipertimbangkan  juga apakah memang tidak ada  akses perlindungan hukum  oleh otoritas nasional di negara yang bersangkutan; atau aparat negara telah melakukan pembiaran terjadinya tindakan semacam itu dan tidak melakukan perlindungan sebagaimana mestinya terhadap mereka yang menjadi korban.

Manakala benar telah terjadi tindakan persekusi dan tidak ada mekanisme hukum nasional yang adil, masyarakat internasional menyediakan  mekanisme perlindungan internasional yang bersifat komplementer. Artinya, mekanisme perlindungan internasional baru dapat bekerja ketika otoritas nasional terbukti tidak mampu memberikan perlindungan hukum yang adil dan pasti bagi para korban.

Salah satu upaya perlindungan yang diakui oleh hukum internasional adalah adanya lembaga suaka dan prinsip "Non Refoulement". Berdasarkan prinsip hukum ini, setiap negara harus menerima dan melindungi korban persekusi, serta dilarang mengusir atau mengembalikan korban persekusi tersebut ke wilayah di mana kebebasan dan hak hidupnya terancam.

Meskipun demikian, mekanisme perlindungan internasional ini hanya berlaku bagi para korban pelanggaran (persekusi).

Mekanisme ini tidak berlaku bagi mereka yang kabur ke luar dari negaranya karena disangka melakukan perbuatan kriminal biasa (kejahatan nonpolitik) dan berusaha menghindar dari proses hukum.

Mekanisme perlindungan internasional juga dapat dikecualikan dan tidak berlaku bagi mereka yang  disangka telah melakukan kejahatan serius berupa: pelanggaran berat HAM, kejahatan perang, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan melawan perdamaian.

Tindakan tegas

Sudah saatnya aparat penegak hukum untuk bertindak tegas guna menegakkan hukum dan melindungi para korban tindakan kekerasan dan main hakim sendiri yang selama ini telah begitu gencar diberitakan sebagai persekusi.

Ketegasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan main hakim sendiri oleh sekelompok warga  dapat menghentikan kesalahpahaman dan kesalahkaprahan tentang persekusi; dan yang lebih penting lagi dapat mengembalikan  rasa aman dan tenteram bagi semua warga negara, serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sebagai hak asasi yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar