Qatar
dan Kontestasi Arab-Iran
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Juni 2017
PADA 5 Juni 2017, secara hampir bersamaan, Arab Saudi, Uni
Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan
Qatar. Mengikuti seruan Saudi agar negara-negara sahabat mengikuti langkah
mereka, Yaman, Libia, dan Maladewa ikut mengusir duta besar dan warga Qatar
dari negara mereka. Qatar dituduh mendukung kelompok teroris, seperti
Al-Qaeda, Islamic State (IS), dan Ikhwanul Muslimin (IM). Qatar juga dianggap
tidak bertanggung jawab dan tidak berkomitmen pada apa yang telah menjadi
kesepakatan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). GCC, didirikan pada 1981, terdiri
dari Oman, UEA, Saudi, Qatar, Bahrain, dan Kuwait. GCC dibentuk sebagai
antisipasi rembesan perang Iran-Irak (1980-1988).
Qatar ialah kerajaan kecil di Teluk Persia. Jumlah
penduduknya hanya 2,6 juta jiwa, yang mayoritasnya (sekitar 2 juta) adalah
pekerja asing. Namun, dengan kekayaan yang demikian besar dan didukung media
elektronik maupun cetak seperti televisi Al-Jazeera, harian Asharq Al-Awsat,
harian Rayah, harian Al-Watab, dan kantor berita QNA, Qatar berupaya
mendapatkan peran besar dalam percaturan politik regional dan internasional
dengan mendukung gerakan-gerakan islamis, yang dipandang Qatar sebagai
kekuatan yang akan memainkan peran besar di panggung regional dan dunia Islam
di masa yang akan datang.
Maka tak mengherankan bila geliat gerakan islamis di
berbagai negara Arab dan dunia Islam dirujuk sebagai gerakan yang didorong
dan didukung Qatar, selain Iran. Bahrain, misalnya, menuduh Qatar mendukung
Brigade al-Mukhtar, kelompok Syiah dukungan Iran yang bergiat di dalam negeri
Bahrain. Sementara itu, Saudi menuduh Qatar dan Iran ikut mengipasi kelompok
Syiah di Qatif, provinsi sebelah timur Saudi.
Langkah negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik
dengan Qatar sebenarnya tidak mengejutkan. Toh, sudah lama mereka kesal
terhadap politik luar negeri Qatar. Kendati ikut dalam koalisi Arab pimpinan
Saudi dalam perang melawan Houthi dukungan Iran di Yaman, diam-diam Qatar
juga mendukung Houthi. Rezim Mesir juga kecewa pada Qatar yang hingga kini
mendukung IM dan mantan Presiden Muhammad Mursi. Lebih jauh, Kairo menuduh
Doha mendukung IS-Provinsi Sinai yang selain giat menyerang militer dan
polisi Mesir di Sinai, juga tak hentinya mengebom gereja-gereja dan menyerang
umat Koptik.
Dukungan Qatar pada Hamas bertentangan dengan kepentingan
Mesir dan Saudi, yang telah menetapkan kelompok Islam radikal Palestina
dukungan Iran itu sebagai kelompok teroris. Di Libia, Qatar menyokong
kelompok islamis yang berseberangan dengan Tentara Nasional pimpinan Jenderal
Haftar Khalifa yang didukung Mesir dan UEA dan Pemerintah Kesepakatan
Nasional dukungan Saudi dan PBB.
Tidak sampai di situ, Qatar menyokong Hezbollah pro-Iran
di Libanon. Ini bertentangan dengan posisi Saudi dan Mesir yang menetapkan
Hezbollah sebagai kelompok teroris setelah Hezbollah berjuang bahu-membahu
dengan Iran di Suriah untuk menyokong rezim Bashar al-Assad. Qatar juga
bermain di Afghanistan dengan mendukung Taliban. Bahkan, Qatar membuka kantor
Taliban di Doha.
Puncak ketegangan hubungan Qatar dengan negara-negara Arab
di atas terjadi pada 23 Mei atau dua hari setelah diselenggarakan Konferensi
Tingkat Tinggi Arab-Islam-AS di Riyadh, yang juga dihadiri Presiden AS Donald
Trump. Saat itu Emir Qatar Sheikh Tamin bin Hamad al-Thani membuat pernyataan
kontroversial bahwa Qatar memiliki hubungan dengan Iran dan Israel. Khusus
mengenai Iran, Sheikh Tamim berpendapat negara itu memiliki kapasitas di
tingkat regional dan dunia Islam yang tak dapat diabaikan serta tidak
bijaksana melakukan eskalasi ketegangan dengan Iran.
KTT Arab-Islam-AS merupakan bagian dari dua KTT
sebelumnya, yaitu KTT Saudi-AS dan KTT GCC-AS, yang kesemuanya merupakan
komitmen dunia Arab dan dunia Islam bersama-sama AS memerangi terorisme dan
ideologi radikal, serta menghalau pengaruh Iran di kawasan. Saudi dan AS
sepakat bahwa Iran adalah negara yang mensponsori terorisme dunia dan
destabilisator Timur Tengah, sedangkan Qatar memandang sebaliknya.
Kendati Doha membantah Qatar mendukung kelompok-kelompok
teroris, negara-negara Arab di atas telanjur tidak percaya. Toh, faktanya
Qatar menandatangani kerja sama keamanan dengan Iran. Kedua negara juga
bekerja sama mengeksplorasi gas di Teluk Persia. Padahal, Mesir, Saudi,
Yaman, dan Bahrain tidak punya hubungan diplomatik dengan Iran. UEA tidak
sampai memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, tetapi hubungan kedua
negara terganjal masalah perbatasan. Sejak 1992, Iran menduduki Pulau Abu
Musa, Tunb Besar, dan Tunb Kecil di mulut Selat Hormuz yang diklaim UEA
sebagai miliknya.
Namun, tidak berarti Qatar bersepakat dengan Iran dalam
segala hal. Kendati dimarahi Iran, Qatar membuka Pangkalan Udara Al-Udeid
untuk dipakai angkatan udara AS dan Inggris untuk menyerang Taliban di
Afghanistan dan IS di Irak dan Suriah. Hal ini juga membuktikan bahwa Qatar
tidak mendukung IS. Dalam perang proxy di Suriah, lagi-lagi Qatar
berseberangan dengan Iran. Qatar memasok dana dan senjata untuk kelompok
Al-Qaeda Jabhat Fath al-Syam (dulu Front al-Nusrah) yang berperang dengan
militer rezim Suriah.
Semua ini merupakan manifestasi politik luar negeri Qatar
yang independen, sebuah negara kecil yang curiga pada tetangga-tetangga
mereka. Secara historis, Qatar pernah menjadi bagian dari UEA, Bahrain, dan
Saudi yang karenanya merangkul Iran, AS, dan Eropa untuk menjamin eksistensi
mereka. Lebih jauh, Qatar ingin memainkan peran yang lebih besar dari diri
mereka sendiri.
Pemutusan hubungan diplomatik Qatar dan negara-negara Arab
membuat GCC terpecah ke dalam tiga blok. UEA, Saudi, dan Bahrain adalah blok
anti-Iran, Oman dan Kuwait netral vis a vis Iran, sedangkan Qatar berpihak
pada Iran. Namun, apa pun, situasi ini menguntungkan Iran. Doha akan semakin
dekat ke Teheran. Sementara itu, Saudi kehilangan kekuatan GCC untuk
mengisolasi Iran.
Indonesia mestinya memanfaatkan krisis Qatar ini dengan berperan
sebagai mediator negara-negara yang bertikai. Indonesia adalah negara muslim
terbesar yang dipercaya negara-negara Timur Tengah. Lalu, siapa yang berada
di belakang krisis Qatar-GCC ini? Yang jelas, krisis Qatar-GCC menguntungkan
Rusia. Bukankah pecahnya sekutu AS selalu menguntungkan Rusia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar