Rabu, 07 Juni 2017

Qatar dan Kontestasi Arab-Iran

Qatar dan Kontestasi Arab-Iran
Smith Alhadar  ;   Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
                                               MEDIA INDONESIA, 07 Juni 2017

                                                                            

                                                           
PADA 5 Juni 2017, secara hampir bersamaan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Mengikuti seruan Saudi agar negara-negara sahabat mengikuti langkah mereka, Yaman, Libia, dan Maladewa ikut mengusir duta besar dan warga Qatar dari negara mereka. Qatar dituduh mendukung kelompok teroris, seperti Al-Qaeda, Islamic State (IS), dan Ikhwanul Muslimin (IM). Qatar juga dianggap tidak bertanggung jawab dan tidak berkomitmen pada apa yang telah menjadi kesepakatan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). GCC, didirikan pada 1981, terdiri dari Oman, UEA, Saudi, Qatar, Bahrain, dan Kuwait. GCC dibentuk sebagai antisipasi rembesan perang Iran-Irak (1980-1988).

Qatar ialah kerajaan kecil di Teluk Persia. Jumlah penduduknya hanya 2,6 juta jiwa, yang mayoritasnya (sekitar 2 juta) adalah pekerja asing. Namun, dengan kekayaan yang demikian besar dan didukung media elektronik maupun cetak seperti televisi Al-Jazeera, harian Asharq Al-Awsat, harian Rayah, harian Al-Watab, dan kantor berita QNA, Qatar berupaya mendapatkan peran besar dalam percaturan politik regional dan internasional dengan mendukung gerakan-gerakan islamis, yang dipandang Qatar sebagai kekuatan yang akan memainkan peran besar di panggung regional dan dunia Islam di masa yang akan datang.

Maka tak mengherankan bila geliat gerakan islamis di berbagai negara Arab dan dunia Islam dirujuk sebagai gerakan yang didorong dan didukung Qatar, selain Iran. Bahrain, misalnya, menuduh Qatar mendukung Brigade al-Mukhtar, kelompok Syiah dukungan Iran yang bergiat di dalam negeri Bahrain. Sementara itu, Saudi menuduh Qatar dan Iran ikut mengipasi kelompok Syiah di Qatif, provinsi sebelah timur Saudi.

Langkah negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar sebenarnya tidak mengejutkan. Toh, sudah lama mereka kesal terhadap politik luar negeri Qatar. Kendati ikut dalam koalisi Arab pimpinan Saudi dalam perang melawan Houthi dukungan Iran di Yaman, diam-diam Qatar juga mendukung Houthi. Rezim Mesir juga kecewa pada Qatar yang hingga kini mendukung IM dan mantan Presiden Muhammad Mursi. Lebih jauh, Kairo menuduh Doha mendukung IS-Provinsi Sinai yang selain giat menyerang militer dan polisi Mesir di Sinai, juga tak hentinya mengebom gereja-gereja dan menyerang umat Koptik.

Dukungan Qatar pada Hamas bertentangan dengan kepentingan Mesir dan Saudi, yang telah menetapkan kelompok Islam radikal Palestina dukungan Iran itu sebagai kelompok teroris. Di Libia, Qatar menyokong kelompok islamis yang berseberangan dengan Tentara Nasional pimpinan Jenderal Haftar Khalifa yang didukung Mesir dan UEA dan Pemerintah Kesepakatan Nasional dukungan Saudi dan PBB.

Tidak sampai di situ, Qatar menyokong Hezbollah pro-Iran di Libanon. Ini bertentangan dengan posisi Saudi dan Mesir yang menetapkan Hezbollah sebagai kelompok teroris setelah Hezbollah berjuang bahu-membahu dengan Iran di Suriah untuk menyokong rezim Bashar al-Assad. Qatar juga bermain di Afghanistan dengan mendukung Taliban. Bahkan, Qatar membuka kantor Taliban di Doha.

Puncak ketegangan hubungan Qatar dengan negara-negara Arab di atas terjadi pada 23 Mei atau dua hari setelah diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Arab-Islam-AS di Riyadh, yang juga dihadiri Presiden AS Donald Trump. Saat itu Emir Qatar Sheikh Tamin bin Hamad al-Thani membuat pernyataan kontroversial bahwa Qatar memiliki hubungan dengan Iran dan Israel. Khusus mengenai Iran, Sheikh Tamim berpendapat negara itu memiliki kapasitas di tingkat regional dan dunia Islam yang tak dapat diabaikan serta tidak bijaksana melakukan eskalasi ketegangan dengan Iran.

KTT Arab-Islam-AS merupakan bagian dari dua KTT sebelumnya, yaitu KTT Saudi-AS dan KTT GCC-AS, yang kesemuanya merupakan komitmen dunia Arab dan dunia Islam bersama-sama AS memerangi terorisme dan ideologi radikal, serta menghalau pengaruh Iran di kawasan. Saudi dan AS sepakat bahwa Iran adalah negara yang mensponsori terorisme dunia dan destabilisator Timur Tengah, sedangkan Qatar memandang sebaliknya.

Kendati Doha membantah Qatar mendukung kelompok-kelompok teroris, negara-negara Arab di atas telanjur tidak percaya. Toh, faktanya Qatar menandatangani kerja sama keamanan dengan Iran. Kedua negara juga bekerja sama mengeksplorasi gas di Teluk Persia. Padahal, Mesir, Saudi, Yaman, dan Bahrain tidak punya hubungan diplomatik dengan Iran. UEA tidak sampai memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, tetapi hubungan kedua negara terganjal masalah perbatasan. Sejak 1992, Iran menduduki Pulau Abu Musa, Tunb Besar, dan Tunb Kecil di mulut Selat Hormuz yang diklaim UEA sebagai miliknya.

Namun, tidak berarti Qatar bersepakat dengan Iran dalam segala hal. Kendati dimarahi Iran, Qatar membuka Pangkalan Udara Al-Udeid untuk dipakai angkatan udara AS dan Inggris untuk menyerang Taliban di Afghanistan dan IS di Irak dan Suriah. Hal ini juga membuktikan bahwa Qatar tidak mendukung IS. Dalam perang proxy di Suriah, lagi-lagi Qatar berseberangan dengan Iran. Qatar memasok dana dan senjata untuk kelompok Al-Qaeda Jabhat Fath al-Syam (dulu Front al-Nusrah) yang berperang dengan militer rezim Suriah.

Semua ini merupakan manifestasi politik luar negeri Qatar yang independen, sebuah negara kecil yang curiga pada tetangga-tetangga mereka. Secara historis, Qatar pernah menjadi bagian dari UEA, Bahrain, dan Saudi yang karenanya merangkul Iran, AS, dan Eropa untuk menjamin eksistensi mereka. Lebih jauh, Qatar ingin memainkan peran yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Pemutusan hubungan diplomatik Qatar dan negara-negara Arab membuat GCC terpecah ke dalam tiga blok. UEA, Saudi, dan Bahrain adalah blok anti-Iran, Oman dan Kuwait netral vis a vis Iran, sedangkan Qatar berpihak pada Iran. Namun, apa pun, situasi ini menguntungkan Iran. Doha akan semakin dekat ke Teheran. Sementara itu, Saudi kehilangan kekuatan GCC untuk mengisolasi Iran.

Indonesia mestinya memanfaatkan krisis Qatar ini dengan berperan sebagai mediator negara-negara yang bertikai. Indonesia adalah negara muslim terbesar yang dipercaya negara-negara Timur Tengah. Lalu, siapa yang berada di belakang krisis Qatar-GCC ini? Yang jelas, krisis Qatar-GCC menguntungkan Rusia. Bukankah pecahnya sekutu AS selalu menguntungkan Rusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar