Persatuan
atau Persatean Nasional (IV)
Ahmad Syafii Maarif ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 06 Juni 2017
Bung
Hatta baru bertemu pertama kali dengan Bung Karno di Bandung tahun 1932
setelah keluar dari penjara Sukamiskin. Sejak itu dua tokoh nasionalis yang
berbeda karakter ini sering bertukar fikiran dan bahkan berpolemik tentang
masalah kebangsaan dan strategi perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Bung
Hatta dengan PPNI-Barunya, Bung Karno dengan Partindo (Partai Indonesia),
sebagai ganti PNI yang dibubarkan. Partindo dibentuk oleh Mr. Sartono pada 30
April 1931, tetapi bubar lagi tahun 1937.
Sekalipun
berbeda karakter dan latar belakang suku, sebenarnya mereka saling
melengkapi. Bung Karno seorang orator besar berasal dari benih campuan Jawa
dan Bali, Bung Hatta dari Ranah Minang, seorang pemikir berkepala dingin yang
bukan orator. Keduanya sependapat bahwa tanpa terciptanya persatuan nasional,
tujuan untuk merebut kemerdekaan bangsa akan sukar diwujudkan. Ruh Sumpah
Pemuda 1928 yang tidak melibatkan kedua tokoh ini secara langsung hanya punya
satu tujuan: menguatkan tali persatuan dari berbagai suku dan sub-kultur yang
beragam.
Dengan
orasinya yang dahsyat, Bung Karno akan dengan mudah mengumpulkan dan membakar
massa rakyat yang diarahkan kepada tujuan kemerdekaan. Lidah Bung Hatta tidak
punya kuasa untuk membakar semangat rakyat dalam jumlah besar, sedangkan
bidikan penanya yang tajam lebih banyak menjangkau kalangan terdidik
terbatas. Tujuannya keduanya tunggal: penjajah harus angkat kali dari bumi
Nusantara melalui kekuatan persatuan nasional!
Tokoh-tokoh
yang bergerak aktif untuk mempercepat proses pencapaian kemerdekaan banyak
jumlahnya, tidak hanya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai generasi yang lebih
muda. Nama-nama besar seperti Dr. Soekiman Wirjosendjojo, Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, H.O.S. Tjokroaminoto, H.A. Salim, Abdoel
Moeis, Ki Hadjar Dewantara, Soerjopranoto dan sederetan daftar panjang
lainnya semuanya punya jasa yang tidak kecil. PI di negeri Belanda pada awal
dasa warsa kedua abad ke-20 sudah semakin radikal adalah antara lain karena
virus politik yang disuntikkan Ki Hadjar, menurut pengakuan Hatta. (Lih.
Hatta, Indonesia Merdeka, hlm. 28). Dalam bacaan saya, semua tokoh pergerakan
nasional mempertahankan idealismenya sampai ke liang lahat.
Saat
itu PI masih menyandang nama Indische Vereniging (Perhimpunan India). Mengapa
semakin radikal? Karena Ki Hadjar, tulis Hatta, “yang harus mengalami , bahwa
dalam daerah jajahan, di mana kekuasaan harus dijunjung tinggi, tangan
penguasa tanpa ampun mencekik siapa saja…”(Ibid.). Ternyata Ki Hadjar,
seorang bangsawan dari trah Pakualaman Yogyakarta, selain seorang pemikir
tentang pendidikan bangsa, lidah dan penanya juga sangat tajam bila berbicara
mengenai politik kolonial di tanah jajahan.
Dr. Soekiman dari PSII (Partai Sarekat
Islam Indonesia) pada awal Oktober 1932 pernah meminta Hatta untuk jadi
redaktur kepala dari Koran Utusan Indonesia yang terbit di Yogyakarta dengan
gaji F 100 per bulan, sebuah angka yang tidak kecil saat itu. (Hatta, Memoir,
hlm. 264-265). Coba tuan dan puan bayangkan Soekiman dari PSII meminta Hatta
dari PPNI untuk jadi redaktur kepala koran yang diterbitkannya. Demi
persatuan, demi kemerdekaan, beda partai tidak menjadi rintangan untuk bahu
membahu, apalagi keduanya sebelum itu pernah pula menjabat pimpinan PI di
Negeri Belanda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar