Konspirasi
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 14 Mei 2017
Julius Caesar
mati karena konspirasi. Ia dibunuh sekelompok petinggi di Roma pada 15 Maret
44 SM. Kelompok berjumlah 60 orang itu menganggap bahwa Caesar menjadi penghalang
ambisi dan nafsu politik mereka. Caesar dibunuh di gedung Senat oleh 23
anggota komplotan. Sebanyak 27 tusukan pisau belati menembus badan pemimpin
Roma itu. Setelah ditusuk berkali-kali, tubuh Caesar dibiarkan tergeletak
bersimbah darah. Toganya pun robek dan memerah darah.
Ambisi politik
yang berlebihan, sejak zaman dahulu, selalu membutakan mata dan hati. Ini
membuat negara seperti dalam kondisi sakratulmaut. Siapa yang pernah menduga
bahwa Marcus Junius Brutus atau Brutus adalah bagian dari konspirasi itu,
bahkan ikut pula menusuk Caesar, menyingkirkan Caesar?
Padahal,
Caesar sangat baik kepada Brutus. Meskipun Brutus pernah menjadi
musuhnya-Brutus bergabung dengan Pompey-setelah Pompey dikalahkan, ia
diampuni. Brutus (85-42 SM), yang lahir di Philippi, Macedonia, tidak hanya
diampuni, tetapi juga diangkat menjadi paetor (hakim tingkat tinggi di bawah
konsul; asisten konsul dan membantu konsul melaksanakan tugas-tugasnya).
Akan tetapi,
karena pada dasarnya tidak ada kebaikan dalam hatinya, hatinya berbulu, bagi
Brutus berkhianat adalah sesuatu yang biasa dalam politik. Brutus dan
komplotannya meminjam definisi politik, menurut Harold Dwight Laswell,
ilmuwan politik dari AS, mengartikan politik dalam pengertian yang sangat
pragmatis: siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. (Politics: Who Gets What, When, How: 1936)
Pengertian
"mendapatkan apa (sesuatu)" bukan selalu berarti yang bersifat
fisik, seperti uang atau materi lain, melainkan tentu juga yang non-material,
seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi. Di dalam
"mendapatkan sesuatu", semua kekuatan politik saling bersaing di
dalam suatu arena permainan politik dan menghalalkan segala cara, dalam
bahasa Machiavelli.
Brutus
bersekongkol dengan sejumlah pejabat untuk menyingkirkan Caesar, yang
dianggap terlalu berkuasa dan bahkan dikhawatirkan akan menyalahgunakan
kekuasaan di tangannya. Bahkan, dengan lihai, setelah membunuh Caesar, Brutus
masih berusaha menarik simpati rakyat Roma. Dalam sebuah pidatonya setelah
pembunuhan, Brutus mengatakan, "Pembunuhan Caesar adalah peristiwa
tragis, memilukan, tetapi kematian Caesar harus terjadi untuk menyelamatkan
negara."
Sejak saat
itulah, Brutus menjadi "lambang" orang yang berkhianat. Orang yang
tidak tahu balas budi. Brutus menjadi lambang orang yang buta hati dan buta
mata karena ambisi. Inilah politikus yang berjiwa pengkhianat. Dia tidak
segan-segan mengkhianati orang yang telah menyelamatkannya. Bahkan, orang
yang telah mengangkatnya sehingga menduduki jabatan penting dalam panggung politik
Roma pada masa itu. Kalau zaman sekarang, Brutus telah diangkat untuk
menduduki pos yang penting dan "basah" mendatangkan banyak rezeki.
Benar kata
Caesar Augustus (63 SM-14 M), "Hati-hatilah karena banyak perbuatan
jahat dapat berasal dari permulaan yang baik." Filsafat politik
mengajarkan, ada istilah yang disebut political virtue. Di sini virtue
berarti moral excellence. Dalam berpolitik, moral tidak boleh dilupakan.
Sebab, urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral. Karena itu, dalam
dunia politik, muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan moral, misalnya
kesetiaan dan dedikasi atau pengkhianatan.
Memang,
politik Roma penuh dengan konspirasi. Sekitar dua dasawarsa sebelum Brutus
berkonspirasi, Lucius Sergius Catilina sudah melakukan hal yang sama pada 63
SM. Catilina (108-62 SM) adalah seorang aristokrat, yang kemudian menjadi
demagog (KBBI: demagog adalah seorang pemimpin yang pandai menghasut dan
membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Menurut
dictionary.com, demagog adalah seseorang, khususnya seorang orator atau
pemimpin politik, yang memperoleh kekuasaan dan popularitas dengan
membangkitkan emosi, nafsu, keinginan, dan purbasangka orang).
Namun, demagog
juga secara sederhana diartikan sebagai orang yang meminjamkan suaranya
kepada rakyat. Contohnya, politikus yang gemar mengaduk-aduk perasaan
masyarakat dengan menggunakan isu agama untuk kepentingan politik dan tidak
mengajak rakyat untuk berpikir jernih, obyektif mencari jalan keluar saat
menghadapi persoalan.
Seperti itulah
Lucius Sergius Catilina pada waktu itu. Ia dikenal sebagai seorang politisi,
politisi revolusioner. Ia pernah menjadi gubernur di Afrika. Catilina pernah
pula mencalonkan diri menjadi konsul, tetapi pencalonannya ditolak. Hal ini
disebabkan ia didakwa pernah melakukan pemerasan semasa menjadi gubernur di
Afrika. Selain didakwa pernah memeras, Catilina juga didakwa pernah membunuh.
Di lain waktu,
Catilina mencalonkan diri menjadi senator. Namun, lagi-lagi usahanya gagal.
Pemimpin senator berpihak kepada Cicero (106-43 SM). Cicero atau Marcus
Tullius Cicero adalah filsuf, orator terbesar yang memiliki keterampilan
andal dalam retorika, pengacara terbesar di zaman Republik Roma akhir. Gagal
melalui jalan normal untuk menjadi politisi, Catilina berbelok arah. Ia
memilih jalur revolusi.
Catilina
mengumpulkan sejumlah tokoh anggota kelas menengah dan membentuk kelompok.
Mereka bersama-sama melancarkan gerakan subversi (menurut istilah kita di
negeri ini). Catilina bersama pengikut berencana merekrut tentara di Etruria
lalu bergerak masuk ke Roma dan mengambil alih kontrol kekuasaan. Setelah
masuk Roma dan mengambil alih kekuasaan, mereka akan membunuh Cicero dan
senator terkemuka lain.
Namun, justru
Cicero-lah yang membongkar rencana kudeta tersebut dalam pidato di Senat.
Catilina diusir keluar dari Roma. Sejarawan Mary Beard dalam bukunya, SPQR: A
History of Ancient Rome, menyebut pertarungan antara Cicero dan Catilina yang
menjadi awal konspirasi adalah bentrokan antara "ideologi dan ambisi".
Catilina dan Brutus sama-sama dikuasai ambisi politik yang menggebu-gebu,
yang menutup mata hatinya.
Cicero
menyatakan, pada masa itu para pemegang jabatan tak beretika. Apabila etika
jabatan yang menekankan nurani kejujuran dan ketulusan sudah dilanggar, kekuasaan
akan menjadi monster penuh kerakusan yang mengerikan. Thomas Hobbes
menggambarkan mereka sebagai leviathan, yang mendewakan kekuasaan di atas
segala-galanya. Karena itu harus direbut dengan segala cara, digenggam
erat-erat dengan segala daya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar