Solidaritas
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 13 Mei 2017
... melambai-lambai, nyiur di pantai....
Romo Imam
melambaikan tangan kanannya, sementara tangan kiri asyik memegang handphone.
Ia ikut bernyanyi meski suaranya tak begitu keras. "Tolong sampaikan
sama Mas Addhie, saya ikut merinding menyaksikan konser spontan di Balai Kota
Jakarta ini," kata Romo seperti baru sadar kalau saya sudah duduk manis
di depannya.
"Addhie
M.S. itu orang hebat yang rendah hati. Sempat-sempatnya mengirimi saya CD
yang berisi lagu-lagu daerah yang sudah dia olah dalam bentuk orkestra.
Padahal saya hanya akrab di media sosial," kata saya.
Romo mematikan
lagu di handphone-nya. "Yang membuat dia lebih hebat daripada seniman
dan budayawan lainnya adalah konser spontan yang dikerjakannya itu tak
dikaitkan dengan dukung-mendukung seseorang. Bahkan disebutkannya tak ada
kaitan dengan penahanan Ahok, tak ada pula kaitan dengan pilkada Jakarta. Dia
hanya gelisah melihat bangsa ini seperti terpecah-pecah. Lalu dia memilih
tiga lagu: Indonesia Raya, Rayuan Pulau Kelapa, dan Garuda Pancasila. Pilihan
yang tepat, Indonesia adalah negeri yang indah dan damai jika tetap
berlandaskan Pancasila. Ini konser spontan solidaritas untuk bangsa,"
kata Romo.
Saya tertarik
dengan kata solidaritas itu. "Romo, saat ini solidaritas bergema untuk
Ahok setelah dihukum dua tahun penjara. Di berbagai tempat orang berkumpul
menyalakan lilin, karangan bunga dikirim ke tempat penahanan Ahok, ribuan
orang menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk untuk ikut menjamin
penangguhan penahanan Ahok. Para selebritas terus memuji kehebatan Ahok
sambil menyebutkan orang sebaik Ahok tak pantas dipenjara dan harus
dilepaskan dari tahanan, bahkan harus dibebaskan dari hukuman. Mereka mendesak
hakim pengadilan tinggi segera menangguhkan penahanan Ahok dan segera pula
menyidangkan banding untuk membebaskan Ahok."
Romo memotong
ucapan saya: "Jadi, kalau pengadilan tinggi nanti menangguhkan penahanan
Ahok dan memberi vonis bebas, artinya itu karena desakan kelompok massa, kan?
Bukan karena mendalami proses hukum dan fakta-fakta dalam persidangan? Apakah
itu tidak intervensi namanya?"
Saya tak bisa
menjawab. Romo melanjutkan: "Hakim itu serba salah ketika kita memihak
kepada orang yang diadili dan orang itu dihukum. Kita sebut hakim terpengaruh
aksi massa, hakim tak bersih, keadilan telah mati, macam-macam. Lalu
aksi-aksi dilakukan, bahkan sampai malam hari. Coba kalau dibebaskan, hakim
pasti dipuji. Hakim yang tak goyah dengan godaan meski ke kantor naik
angkutan kota, hakim berintegritas, hakim teladan, ini kemenangan hukum,
macam-macam pula. Ini risiko pengadil, yang kalah ngamuk, yang menang
berpesta. Kalau sepakat proses hukum dijunjung dan dihormati, seharusnya
ketidakpuasan itu hanya dilakukan dengan menelaah keputusan hakim, lalu
berjuang di pengadilan banding. Jika hanya ini dilakukan, putusan banding pun
tak perlu dicurigai diintervensi. Sekarang jadi penuh prasangka, siapa pun
yang kalah akan menyebut ada intervensi."
Saya diam.
"Sampeyan kok diam?" tiba-tiba Romo menegur. Saya kaget. "Saya
kagum solidaritas orang kepada Ahok sampai di berbagai daerah. Semuanya
memuji. Seharusnya dia yang menang di pilkada Jakarta."
Romo tertawa.
"Ya, termasuk orang Bali seperti sampeyan semua kagum pada kerja Ahok.
Tapi begitu Ahok diisukan menjadi calon Gubernur Bali, kalian menolak.
Alasannya, masih banyak orang Bali yang mampu, komunikasi Ahok tak cocok
dengan budaya Bali, macam-macam. Sama dengan orang Jakarta, kan?"
Saya seperti
petinju dipukul KO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar