Senin, 08 September 2014

Yogya

Yogya

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Yogya istimewa. Irama rap yang mendominasi pentas From Republik Jogja with Love ini cukup jeli menggambarkan keistimewaan Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka, para penyanyi rap melantunkan berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya istimewa. Istimewa makanannya, istimewa orangnya....

Pentas itu sudah lama, 29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi polemik apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya keistimewaan Yogya.

Yogya memang istimewa. Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang Yogya tak pernah bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari nama Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja atau Jogya, bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat Sultan dan Paku Alam berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan DIJ, apalagi DID.

Orang Yogya terkenal halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu". Kata ini, yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan, melainkan nuansa kekerabatan yang kental disertai tawa. Di media sosial pun, kata asu acap nongol dalam percandaan akrab, selain kata ndasmu.

Kini Yogya semakin istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media Path, sebuah laman pertemanan yang lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas Hukum UGM, tak mau antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia membeli Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah ketika ngamuk di masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata: tolol.

Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya. Ada 15 LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo diperiksa dan ditahan. Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak seharusnya kata tolol membawa mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan, sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak mau. Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.

Apakah tolol lebih kasar dari asu atau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung budaya dan kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan kata sinting dan bodoh untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini. Apakah beda bodoh dengan tolol?

Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok fundamentalis di berbagai budaya yang justru berdalih mempertahankan budaya lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yang memprotes pemakaian peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika protes ini menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali menjelaskan ke publik. Anak-anak muda itu tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang bahkan dipakai pejabat di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda wanita terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetron Mahabharata, semuanya berkerudung.

Munculnya kelompok fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih mempertahankan budaya lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri. Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama saja dengan daerah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar