Yogya
Putu Setia ; Pengarang,
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
06 September 2014
Yogya istimewa. Irama
rap yang mendominasi pentas From
Republik Jogja with Love ini cukup jeli menggambarkan keistimewaan
Yogyakarta. Dibawakan dengan riang dan jenaka, para penyanyi rap melantunkan
berulang-ulang: Yogya, Yogya. Yogya
istimewa. Istimewa makanannya, istimewa orangnya....
Pentas itu sudah lama,
29-30 Maret 2011 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saat itu terjadi polemik
apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih atau ditetapkan oleh
pemerintah pusat dengan mengangkat Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam
sebagai wakil gubernur. Pentas ini mengkritik tajam tentang digugatnya
keistimewaan Yogya.
Yogya memang istimewa.
Bukan cuma makanan dan orangnya. Sampai sekarang pun orang Yogya tak pernah
bisa menulis dengan seragam nama wilayahnya. Pemerintah Provinsi sudah
menetapkan nama yang baku: Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata itu diambil dari
nama Keraton Hayogyakarta Hadiningrat. Tapi orang banyak menulis kata Jogja
atau Jogya, bahkan Djogja. Padahal di Kepatihan, pusat pemerintahan tempat
Sultan dan Paku Alam berkantor, nama provinsi ini jelas disingkat DIY, bukan
DIJ, apalagi DID.
Orang Yogya terkenal
halus bertutur kata, meski kadang terlontar kata seperti "asu".
Kata ini, yang artinya anjing, dilontarkan bukan dalam bentuk umpatan,
melainkan nuansa kekerabatan yang kental disertai tawa. Di media sosial pun,
kata asu acap nongol dalam
percandaan akrab, selain kata ndasmu.
Kini Yogya semakin
istimewa ketika sumpah serapah Florence Sihombing muncul di media Path, sebuah laman pertemanan yang
lebih bersifat pribadi. Florence, mahasiswi S-2 Fakultas Hukum UGM, tak mau
antre saat hendak mengisi Pertamax di sebuah SPBU. Alasannya, ia membeli
Pertamax kenapa harus antre bersama pembeli Premium? Flo benar. Tapi ia salah
ketika ngamuk di masyarakat yang berbudaya halus dan mengumpat di Path dengan kata: tolol.
Flo, yang berasal dari Medan, tak menduga kata tolol itu menusuk hati orang Yogya.
Ada 15 LSM mengadukan Flo ke polisi, dan polisi pun sangat tanggap. Flo
diperiksa dan ditahan. Tapi warga Yogya juga kesal atas penahanan Flo. Tak
seharusnya kata tolol membawa
mahasiswi ini ke tahanan. Polisi dikecam. Sultan HB X dan permaisuri Ratu Hemas turun
tangan. Flo meminta maaf, dan Sultan pun meminta masyarakat Yogya memaafkan,
sementara Ratu Hemas meminta LSM itu menarik pengaduannya. Pemimpin LSM tidak
mau. Perkara jalan terus meski Flo hanya wajib lapor.
Apakah tolol lebih kasar dari asu atau ndasmu? Kehalusan (dan kekasaran) kata tergantung budaya dan
kepada siapa kata ditujukan. Fahri Hamzah menggunakan kata sinting dan bodoh untuk Jokowi, tapi tak ada yang menuntut politikus ini.
Apakah beda bodoh dengan tolol?
Sikap LSM Yogya menarik, bahwa muncul kelompok
fundamentalis di berbagai budaya yang justru berdalih mempertahankan budaya
lokal. Di Bali, ada LSM anak-anak muda yang memprotes pemakaian
peci dan kerudung karena dianggap "propaganda agama". Ketika protes ini
menyebar dan seolah mewakili Bali, betapa repotnya tokoh-tokoh Bali
menjelaskan ke publik. Anak-anak muda itu
tak tahu bahwa peci adalah lambang nasionalisme yang bahkan dipakai pejabat
di Bali pada hari tertentu. Kerudung itu budaya leluhur pertanda wanita
terhormat, lihat tokoh-tokoh wanita dalam sinetron Mahabharata, semuanya
berkerudung.
Munculnya kelompok
fundamentalis di berbagai daerah seperti mewabah. Dalih mempertahankan budaya
lokal justru menjadi bumerang untuk keluhuran budaya itu sendiri. Dalam kaitan ini, Yogya tak lagi istimewa, karena sama
saja dengan daerah lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar