KOMPAS,
08 September 2014
ABAH
ke mana, Bu? Abah ke mana, Bu? Itulah pertanyaan berulang Alif dan Diva
kepada ibundanya, Suciwati. Sebab, abah mereka, Munir Said Thalib, tidak
kunjung pulang. Sulit tentu bagi Suci
menjelaskan kronik peristiwa dan penyebab kematian Munir—sang
suami—kepada dua anaknya di awal-awal
peristiwa kelam, 7 September 2004. Meski kini kasus Munir sudah 10 tahun
berlalu, gugatan pertanyaan itu terkadang masih muncul.
Tragedi
kematian Munir hingga kini belum juga menemukan kejelasan penyelesaiannya.
Meski pelaku lapangan telah ditemukan dan dihukum, aktor-aktor utama
pembunuhan Munir masih bebas berkeliaran. Ucapan SBY yang menjadikan kasus
Munir sebagai Test of Our History
juga belum terwujud. Padahal, kepemimpinan SBY tidak lama lagi akan berakhir.
Problematika intelijen
Peristiwa
pembunuhan Munir yang terjadi pada era reformasi adalah paradoks dalam
demokrasi kita. Pada masa gelombang demokratisasi, cara-cara kotor pembunuhan
politik dengan menggunakan racun ternyata masih juga terjadi. Dugaan
keterlibatan oknum Badan Intelijen Negara dalam pembunuhan Munir menjadi
pertanda belum berubahnya karakter dan watak intelijen, yang masih menilai
gerakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi sebagai ancaman keamanan
nasional.
Identifikasi
ancaman keamanan nasional terhadap para aktivis yang memperjuangkan demokrasi
dan HAM oleh intelijen seharusnya hanya hidup dalam rezim otoritarian seperti
Orde Baru. Dalam era demokrasi, dunia intelijen seharusnya bersikap lebih
profesional dengan tak perlu lagi memata-matai gerak-gerik dan suara kritis
gerakan pro demokrasi dan HAM.
Suara-suara
kritis itu bukanlah ancaman keamanan nasional, melainkan kekayaan pemikiran
yang menghidupkan politik itu sendiri. Dengan demikian, pembunuhan terhadap
Munir bukan sekadar pembunuhan terhadap abah dari Alif dan Diva, melainkan
tindakan amoral yang mencederai kehidupan politik yang demokratis. Tak heran
jika hingga kini persepsi publik terhadap dunia intelijen Indonesia adalah
komunitas yang menakutkan karena terdapat kasus yang menunjukkan kerja
operasi rahasia intelijen justru ditujukan kepada warga negaranya sendiri.
Intelijen
yang masih mengidentifikasi gerakan demokrasi sebagai ancaman keamanan dan
masih menjadi alat politik rezim sesungguhnya menunjukkan karakter intelijen
yang tidak efektif dan militeristik. Sebab, ciri-ciri intelijen yang tidak
akan efektif mengejawantahkan hakikat dirinya adalah intelijen yang memiliki
ciri-ciri: institusi militeristik, menjadi alat politik rezim, bersifat
otonom, ekstra konstitusional, kebal hukum, tidak tunduk pada kendali
demokratis, dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara, serta
tanpa pengawasan yang efektif (David L
Carter, Law Enforcement Intelligence, 2004).
Reformasi intelijen
Dalam
era demokrasi, perubahan intelijen negara harus terwujud dalam perubahan
fungsi, tugas, kelembagaan, dan budaya intelijen. Reformasi intelijen itu
bertujuan untuk membentuk karakter dan kinerja intelijen yang profesional
yang tunduk pada kendali demokratis. Meski Indonesia sudah memiliki UU No
17/2011 tentang Intelijen Negara, regulasi itu belum cukup menjadi pijakan
dalam mendorong reformasi intelijen.
Dalam
aspek kelembagaan, reformasi intelijen perlu melakukan perubahan
institusional BIN menjadi institusi sipil. Sebagai lembaga intelijen negara,
seharusnya posisi-posisi strategis di BIN diisi oleh orang-orang sipil atau
purnawirawan TNI-Polri yang memiliki kapasitas kecerdasan di atas rata-rata.
Selama ini posisi puncak dan strategis di BIN lebih dikuasai oleh anggota
militer aktif. Padahal, militer sudah
memiliki badan intelijen sendiri , yakni Badan Intelijen Strategis (Bais).
Hal ini akan mengganggu regenerasi intelijen yang berasal dari sipil yang
sudah lama dididik dan direkrut oleh BIN.
BIN
harus menerapkan pola manajemen yang baik sehingga agen intelijen yang
dimiliki tetap dinilai sebagai aset yang mahal. Para agen sipil yang sudah
berkarier lama di BIN sudah sepantasnya mendapatkan ruang yang besar untuk
menduduki beberapa jabatan strategis di BIN. Dengan demikian, secara langsung
atau tidak langsung kondisi ini akan memperbaiki kinerja intelijen.
Selain
itu, reformasi intelijen juga perlu mengikis habis warisan budaya intelijen
masa lalu yang militeristik, dan kebal hukum, menjadi budaya intelijen yang
profesional dan tunduk terhadap negara hukum serta kendali demokratis.
Konsekuensinya, jika ada agen intelijen yang terlibat pelanggaran hukum
terhadap warga negaranya sendiri, harus dibawa ke proses hukum dan bukan
malah dilindungi (impunitas). Dalam negara demokrasi yang berbasis negara
hukum, akuntabilitas intelijen merupakan sebuah kemutlakan yang harus
dipenuhi oleh lembaga intelijen.
Agenda Jokowi
Proses
reformasi intelijen negara sudah selayaknya menjadi agenda penting bagi
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Membangun intelijen yang
profesional tentu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk dilakukan
dalam jangka waktu lima tahun. Meski demikian, proses reformasi intelijen itu
harus terus dilakukan.
Langkah
pertama yang penting dilakukan oleh Jokowi dalam memperbaiki intelijen negara
adalah dengan menunjuk kepala BIN yang bukan berasal dari anggota militer
aktif. Sebaiknya Jokowi memilih kepala BIN yang berasal dari sipil, baik itu
berasal dari agen BIN sendiri yang sipil, purnawirawan TNI atau Polri, dan
atau berasal dari kalangan akademisi.
Dengan
penunjukan kepala BIN yang berasal dari sipil, diharapkan proses
institusionalisasi BIN menjadi lembaga intelijen sipil dapat terwujud. Namun,
calon kandidat kepala BIN itu tentu harus bebas dari masalah yang terkait
dengan kasus pelanggaran hukum dan HAM serta memiliki komitmen melakukan
perubahan di dalam tubuh BIN demi terwujudnya BIN yang profesional.
Lebih
dari itu, di tengah hari peringatan 10 tahun meninggalnya Munir, pemerintahan
Jokowi-JK diharapkan dapat menuntaskan kasus pembunuhan Munir yang diduga
melibatkan oknum pejabat intelijen negara pada masa lalu. Pandangan
pesimistis dari sebagian kalangan bahwa Jokowi akan sulit menyelesaikan kasus
Munir akan sangat baik jika dijawab oleh Jokowi bahwa ia akan berkomitmen
menyelesaikan kasus Munir. Penuntasan kasus Munir akan menjadi indikator
kalau dunia intelijen telah berubah karena dunia intelijen tidak lagi kebal
hukum dan tunduk terhadap kendali demokratis.
Dengan
slogan kemenangan Jokowi adalah kemenangan rakyat, penuntasan kasus Munir
selayaknya jadi agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK mengingat rakyat
sangat menantikan keadilan atas kasus Munir. Semoga pertanyaan berulang Alif
dan Diva tentang tragedi kematian abahnya akan terjawab dalam pemerintahan
Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar