Daulat
Goenawan Mohamad ; Esais,
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
08 September 2014
Ada sepatah kata yang
berubah bersama sejarah: daulat.
Di masa lampau orang
akan menyatakan siap menjalankan titah sultan dengan berkata, "Daulat,
Tuanku." Dalam ucapan itu tersirat hubungan dengan Yang-Di-Atas. Tapi
kini daulat justru diucapkan sebagai idiom yang mengacu ke arah sebaliknya:
orang ramai: "Ketua rombongan pun didaulat para hadirin agar menyanyi di
panggung."
Dalam bahasa Malaysia,
ucapan "Daulat, Tuanku" masih berlaku dalam acara resmi. Tak
berarti tak ada arti lain bagi daulat. Kamus Dewan Bahasa dari Kuala Lumpur
memaknainya juga sebagai kuasa yang datang dari luar "Tuanku".
Daulat, menurut kamus resmi itu, juga berarti "merampas (kekuasaan)
dengan tidak sah".
Namun tak berarti ada
tafsir yang sama dalam kedua cabang bahasa Melayu itu.
Tafsir Kamus Dewan
Bahasa mengisyaratkan sebuah tindakan yang tanpa legitimasi: "merampas
dengan tidak sah". Sebaliknya dalam bahasa Melayu-Indonesia, daulat,
sebagai aksi orang ramai, tidak hanya sah, tapi juga bagian pergaulan
sehari-hari.
Sejarah politik
Indonesia telah membuat perbedaan itu. Revolusi 1945 menyisihkan para sultan
dan privilese mereka. Terkadang dengan darah dan besi, seperti di Sumatera
Timur. Gerakan pembebasan nasional sejak awal abad ke-20 telah membuat daulat
kehilangan auranya. Kini kita menyebutnya kedaulatan.
Saya tak tahu kapan
persisnya "ke" dan "an" itu menempel. Mungkin
nasionalisme Indonesia memang ekspresi protes yang meluas di seantero
penduduk Hindia Belanda, hingga daulat tak bisa lagi dianggap melekat
"di atas" atau di mana pun.
Kini kedaulatan: sesuatu yang
impersonal. Kata itu jadi sebuah konsep, sesuatu yang universal. Ia jadi
terjemahan kata Belanda soevereiniteit atau kata Inggris sovereignty. Ia lebih sering disebut bersama kata nasional dan
rakyat.
Dan kita
menumbuhkannya. Maka kata daulat, jika kita dengar sekarang, tak ada
hubungannya dengan "merampas kekuasaan".
Tapi sejarah politik
modern Indonesia terkadang lupa bahwa daulat (atau kedaulatan) sering datang
dengan perampasÂan. Di abad ke-13 Kerajaan Singasari dibangun Ken Arok; ia
memulai kekuasaannya dengan membunuh akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Hubungan
antara kedaulatan dan kekerasan tak berhenti di situ. Di Aceh, 400 tahun
setelah itu, Sultan Iskandar Muda, yang membangun sebuah kerajaan yang
mengagumkan, naik takhta setelah memberontak pamannya, Sultan Ali Ri'ayat
Syah III, dan membunuh pamannya yang lain, Hussain.
Riwayat seperti itulah
yang agaknya membuat orang Indonesia tak mudah menerima kedaulatan sebagai
sesuatu yang terlepas dari gerak dan gejolak politik, dan juga tak mudah
memandang kuasa raja-raja sebagai perpanjangan kuasa Tuhan.
Saya kira ini berbeda
dengan pengalaman Eropa sejak kemaharajaan Karolinger di abad ke-9. Dimulai
dengan takhta Pippin Kecil ”ia pangeran bangsa Frank yang diasuh para
biarawan” kedaulatan diberi tudung keagamaan. Tudung itu makin lama makin
menyatu dengan kedaulatan itu sendiri.
Di tahun 751 Pippin
dinobatkan jadi raja dengan dukungan Paus Zakharias. Wilayah sekitar yang
direbutnya dipersembahkannya kepada Takhta Suci. Anaknya, Karl Agung,
mengukuhkan simbiosis Takhta-Raja-Takhta-Suci dengan mengembangkan
"Dunia Kristen"; ia serang kerajaan Islam di Spanyol dan ia
kristenkan bangsa Saxon. Klimaksnya, di hari Natal tahun 800, di Basilika
Santo Petrus, Paus Leo III memasang mahkota kekaisaran di kepala Karl Agung.
Sejak itu kedaulatan
pun jadi sakral. Raja, pemonopoli kedaulatan, membangun analoginya dengan
Tuhan. Tuhan mendatangkan mukjizat, dan mukjizat adalah sebuah perkecualian
dari hukum alam, dan perkecualian itu tanda kedaulatan-Nya yang mutlak.
Analog dengan itu, raja-raja dengan kuasa yang absolut juga berada di luar
hukum antarmanusia: seperti ditunjukkan Carl Schmitt, pemikir Nazi itu,
terutama di tangan raja-raja kedaulatan adalah cerita
"perkecualian", Ausnahme.
Kemudian Revolusi
Prancis menghabisi kaitan Tuhan dan kuasa para Yang Dipertuan. Juga ketika
pada awal Desember 1804, Napoleon, perwira yang dibesarkan Revolusi,
mengangkat diri jadi maharaja. Upacara penobatannya ia buat mirip dengan Karl
Agung. Tapi betapa beda.
Dari Roma, Paus Pius
VII datang ke Paris, ke Katedral Notre Dame, untuk meletakkan mahkota ke atas
kepala sang maharaja baru. Tapi Napoleon membatalkannya: sebelum Paus sempat
bergerak, Bonaparte meletakkan dengan tangannya sendiri mahkota itu di
kepalanya. Jika Paus dianggap wakil Tuhan, hari itu Tuhan disingkirkan di
depan altar Notre Dame.
Tapi tanpa Tuhan
sekalipun kedaulatan tak hilang tuahnya. Ia punya tuah baru yang lebih cocok
di bumi, di mana senjata dan dukungan orang ramai, demos, kekuatan di luar
agama, lebih mengukuhkannya. Namun, berbeda dengan tuah lama, kini ada yang
tak bisa ditutup-tutupi: kedaulatan adalah bagian proses politik, dengan
nafsu, gejolak, dan benturannya.
Jauh sebelum Napoleon
di Prancis, Raja Mataram pertama menegaskan kenyataan itu ketika melalui
pelbagai penaklukan ia menamai diri sayidin panatagama: dialah ”bukan ulama
yang dipilih Allah” yang "menata agama".
Tentu ia, seperti yang
lain, juga membangun mithos tentang kekalnya kedaulatan; bayang-bayang agama
tak bisa sepenuhnya sirna dari ide tentang “kedaulatan” bahkan hingga hari
ini. Tapi zaman tak bisa mengembalikan hikayat tua, ketika agama dan raja
menganggap manusia satu komunitas yang siap berkata, "Daulat,
Tuanku." Etienne Balibar menyebut kedaulatan ditandai "impotence of the omnipotent":
di satu sisi tampak yang mahakuasa, pada saat yang sama tampak pula
impotensinya.
Maka sudah sepantasnya
daulat berubah makna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar