Sabtu, 13 September 2014

Vandalisme Pencinta Alam

Vandalisme Pencinta Alam

Muhajir Arrosyid  ;   Dosen FPBS Universitas PGRI Semarang (Upgris),
Pendaki gunung
SUARA MERDEKA, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pada 6 Agustus 2014 sejumlah pendaki gunung Jepang menjumpai corat-coret bertuliskan ’’Indonesia’’ di tiga batu besar di Gunung Fuji (Fujiyama).

Padahal gunung berapi yang masih aktif berketinggian 3.776,24 m tersebut pada 22 Juni 2013 mendapat predikat tempat warisan budaya (world heritage) dari UNESCO.

Temuan itu mengundang protes dari pemerintah Jepang, termasuk pencinta alam dari negara lain. Meskipun belum ada kejelasan siapa pelakunya, sudah sepatutnya kita introspeksi. Di negeri kita, termasuk di Jateng, perilaku vandal tersebut seperti menjadi bagian dari perkembangan sebagian remaja.

Hal itu terjadi karena mungkin ada kesalahan pola didik mengenai lingkungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tak mengherankan bila kita mendapati coretan di jalan, dinding rumah, sekolah, kantor, dan sebagainya.

Tentu pemilik jengkel mengingat gedung yang sudah dijaga kebersihannya dengan biaya mahal, terkotori oleh coretancoretan. Bahkan adakalanya pelaku menyisipkan kata-kata jorok atau menyerang pihak lain.

Belum lagi merusak estetika kota. Lagu ”Tangan-Tangan setan” karya Ian Antono dan Areng Widodo yang dinyanyikan Nicky Astria pun mengungkapkan kegeramannya atas ulah usil mereka yang senang mencorat-coret tembok. Terdapat kesamaan motif antara kasus di Gunung Fuji dan coretan yang kita temui di dinding/ tembok di kota Semarang atau kota lain di Jateng.

Ada kemungkinan coretan di Gunung Fuji untuk mengaktualisasikan diri/kelompok dari Indonesia mengingat Fuji adalah gunung yang dikunjungi pendaki dari banyak negara. Namun bisa saja pelakunya bukan remaja kita. Andai dilakukan pendaki negara lain, apakah mungkin?

Menghargai Alam

Adapun coretan yang banyak kita jumpai di Semarang dan kota-kota lain di Jateng lebih pada keinginan menunjukkan eksistensi tentang kehadiran sebuah kelompok, semisal suporter sepak bola, sekolah, komunitas, dan lain-lain. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak gunung indah. Jika kita kehabisan referensi tempat wisata maka sediakanlah waktu untuk mendaki gunung.

ada ketinggian tertentu kita menikmati sensasi berada di atas awan putih menghampar seperti lautan. Namun gunung di Indonesia, termasuk di Jateng, mendapat perlakuan tak kalah buruk dari tembok-tembok kota. Coretan berisi curahan hati, ungkapan cinta, bahkan pernyataan mencintai alam.

Ada coretan bertuliskan ”Aku Cinta Alam” dan banyak lagi. Ironis, menyebut diri pecinta alam tapi ”merusak” keindahan alam. Budaya Indonesia sesungguhnya menghargai alam, terlebih gunung. Orang Jawa menyebut matahari sebagai Sang Hyang Surya , bulan sebagai Sang Hyang Candra, dan angin dengan Sang Hyang Bayu.

Orang Jawa menyebut tanah dengan siti, akronim dari isine bulu bekti sebagai wujud penghormatan (Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono SH; 2008). Dalam tiap pementasan wayang pun, gunungan wayang yang menyerupai gunung selalu diletakkan di tengah, dengan ukuran lebih besar dibanding ukuran wayang.

Gunungan bahkan berkesempatan dimainkan kali pertama oleh dalang. Tumpeng besar yang selalu hadir dalam upacara tradisi Jawa juga berbentuk gunung, juga disebut gunungan. Hal tersebut bisa digunakan melacak betapa penting posisi gunung dalam khasanah kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa.

Tidak hanya itu penghormatan orang Jawa terhadap gunung, Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa) susunan Tim Balai Bahasa Yogyakarta mengartikan gegunungan sebagai pembesar, dan bila tingkat desa berarti lurah (Kanisius; 2001). Manusia di muka bumi dalam ajaran Jawa memiliki misi akbar hamemayu hayuning bawana (Hamengku Buwono X; 2008).

Semoga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menggairahkan pengetahuan remaja tentang kearifan merawat dari budaya Jawa. Caranya? Pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah, pengunaan pada keseluruhan komunikasi pada hari tertentu, bisa dipertimbangkan sebagai solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar