Sabtu, 13 September 2014

Mempertegas Kelembagaan

Mempertegas Kelembagaan

Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Pengampu Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan
SUARA MERDEKA, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

JOKOWI-Jusuf Kalla sebagai presiden-wakil presiden terpilih, yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang, telah menerima banyak masukan. Baik dari pakar, tokoh masyarakat/agama, maupun masyarakat, dan lewat beragam media atau forum. Semuanya tentu demi menghadirkan perubahan dalam pemerintahan baru, dengan pola manajemen yang lebih baik yang membawa kebaikan bagi semua.

Namun sepertinya belum ada masukan mengenai kelembagaan. Mungkin ada yang menganggap kemajuan ekonomi hanya ditemukan oleh modal SDM, sumber daya alam, pertumbuhan penduduk, dan teknologi. Anggapan itu dibantah Yeager (1999), lewat pendapat bahwa yang terpenting justru keberadaan kelembagaan yang baik. Teori baru pertumbuhan ekonomi juga menyebut kelembagaan sebagai determinan utama.

Harus diakui pengertian kelembagaan menurut pakar juga beragam. Rutherford (1994) berpendapat kelembagaan merupakan regulasi perilaku yang secara umum diterima anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi khusus, baik yang dapat diawasi sendiri maupun dimonitor orang luar. Adapun Yeager secara ringkas menjelaskan kelembagaan adalah aturan main dalam masyarakat.

North (1990) berpendapat kelembagaan terdiri atas batasan-batasan informal (informal constraint), aturan-aturan formal (formal rules), dan ada paksaan untuk menaati keduanya. Menurut Yustika (2013), negara yang mempunyai kelembagaan mapan atau inklusif (inclusive economic institution) cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi baik.

Negara itu ditandai antara lain ada kelembagaan hak kepemilikan privat yang aman, sistem hukum yang tidak bias, dan penyediaan layanan publik yang luas. Korea Selatan, Jepang, AS, Eropa, dan Singapura merupakan contoh negara yang berkelembagaan mapan.

Sebaliknya, negara yang berkelembagaan buruk (extractive economic institution) mempunyai kinerja ekonomi jelek, misalnya pertumbuhan ekonomi tidak berlanjut, produktivitas rendah, dan kesejahteraan terbatas. Disebut ekstraktif karena peningkatan kesejahteraan/pendapatan satu orang/kelompok diperoleh dengan cara mengisap kesejahteraan/pendapatan orang/kelompok lain. Zimbabwe, Korea Utara, Argentina, dan Kolombia mengalami fenomena itu.

Gotong Royong

Merujuk pendapat North, yang memperoleh Hadiah Nobel Ekonomi 1993, makna kelembagaan terdiri atas aturan informal dan formal, serta bagaimana supaya kelembagaan itu berjalan dengan baik. Kelembagaan adalah aturan mainnya, sedangkan organisasi adalah pemainnya, yaitu kelompok masyarakat dan perorangan yang terikat dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama.

Organisasi bisa berwujud badan-badan politik (partai, DPR, dewan kota), badan-badan ekonomi (perusahaan, serikat pekerja, kelompok tani, dan koperasi), badan-badan sosial (masjid, gereja, dan perkumpulan olahraga), dan badan-badan pendidikan (sekolah dan universitas).

Merujuk aturan (batasan) informal di Indonesia maka hal itu antara lain bisa kita semai dari dan norma-norma di masyarakat, yang tentunya harus dapat menunjang jalannya pembangunan. Kearifan lokal seperti gotong royong merupakan modal sosial yang sangat baik dalam meniti pemerintahan ke depan. Ingat, inti dari Pancasila adalah semangat gotong royong, yang mestinya dipunyai seluruh elemen bangsa dan negara untuk mengatasi semua masalah.

Presiden baru nantinya harus bisa menumbuhkan jiwa dan semangat gotong royong yang pada masa lalu begitu baik tapi karena pengaruh budaya individu kini menurun drastis. Presiden sebagai pimpinan tertinggi merupakan cermin dan anutan sehingga perlu mengajak rakyat untuk menjunjung semangat gotong royong guna memecahkan masalah. Seberat apa pun masalah andai disangga bersama melalui gotong royong, pasti bisa terurai dan solusinya bisa diterima banyak pihak.

Pemeo di masyarakat menyebut aturan dibuat justru untuk dilanggar. Ironisnya para pelanggar itu adalah para petinggi negara, dan secara massal akan diikuti seluruh anggota masyarakat. Tugas pemerintah baru nanti adalah menjaga supaya berbagai peraturan itu dibuat lewat cara yang benar, dan menguntungkan masyarakat.

Contoh sederhana yang banyak dikeluhkan masyarakat adalah mengapa pada siang hari motor harus menyalakan lampu, padahal Indonesia negara tropis. Berapa biaya yang ditanggung pemilik motor karena hal itu berarti aki motor harus lebih cepat diganti. Contoh lain misalnya mengapa rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan pemda dilanggar oleh para elite daerah?

Akibatnya, alih fungsi lahan terjadi begitu masif sehingga menggagalkan program penyediaan lahan abadi. Padahal program itu merupakan upaya penting menjaga ketahanan pangan. Presiden-wakil presiden mendatang seharusnya juga fokus pada persoalan kelembagaan, sebagai pemacu kemajuan bangsa dan negara. Angkatlah kearifan lokal, serta buatlah dan jagalah supaya regulasi yang diundangkan benar-benar menguntungkan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar