Advokat
dalam Cengkeraman Politik
Andi Syafrani ;
Praktisi
Hukum; Tenaga Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 20 September 2014
Beberapa hari ke depan, sebelum mengakhiri
masa kerjanya, DPR periode 2009-2014 akan mengetuk palu mengesahkan RUU
Advokat. Menurut DPR dan pemerintah, UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 sudah
tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan advokat.
Pro-kontra muncul menyikapi pembahasan dan
pengesahan RUU ini. Mayoritas advokat yang bernaung di organisasi Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi) menolak RUU ini. Pertama kali dalam sejarah
Indonesia, ribuan Advokat berseragam toga turun ke jalanan meneriakkan
penolakan pengesahan RUU Advokat. Sebagian advokat lagi yang berada di luar
Peradi mendorong parlemen segera menjatuhkan palunya mengganti UU lama. Ada
beberapa isu krusial dalam RUU Advokat yang meruncingkan sikap pro-kontra
tersebut. Di antaranya model multibar organisasi, pembentukan Dewan Advokat
Nasional, dan penerapan asas retroaktif dalam penentuan waktu pengangkatan
advokat.
Penyatuan
Advokat
Ide tentang multibar organisasi advokat
menyeruak setelah konflik organisasi advokat semakin mengental. Ketentuan
imperatif UU Advokat Nomor 18/2003 tentang singelbar yang diperkuat oleh
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain Putusan Nomor
101/2009, tidak diindahkan oleh para advokat. Alih-alih ikut menegakkan
ketentuan hukum UU Advokat dan perintah MK, para advokat (khususnya yang
senior) terus bermanuver untuk saling memperkuat eksistensi organisasi
masing-masing. RUU Advokat yang dalam pembahasan DPR saat ini diduga sebagai
produk manuver tersebut.
Organisasi-organisasi advokat yang sebelumnya
ikut bergabung dalam satu wadah Peradi mulai memisahkan diri. Selain
berhimpun dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang belakangan juga terbelah
dua, beberapa organisasi lama advokat, seperti Peradin, juga mendeklarasikan
independensi mereka dari organisasiinduk. Alhasil, masyarakat dan penegak
hukum lain dibingungkan dengan banyak jenis kartu advokat keluaran organisasi
yang dipakai advokat dalam berpraktik. Merespons perpecahan organisasi
advokat, pembuat UU mengakomodasi ide multibar.
Meski penetapan model organisasi ini pada
hakikatnya adalah legal policy, di
sinilah letak persoalannya. Pertama, upaya Mahkamah Agung dalam penyatuan
organisasi advokat sebenarnya sudah berjalan baik. Sebagai institusi hukum
yang berkepentingan langsung dengan profesi advokat, MA telah mengeluarkan SK
No 089/KMA/VI/2010 yangberisi perintah kepada ketua pengadilan tinggi untuk
mengambil sumpah advokat Peradi setelah terjadi Akta Perdamaian Peradi dan
KAI. Namun, akta dan SK ini tidak digubris oleh salah satu pihak pembuat
kesepakatan.
MK juga telah melakukan upaya penegasan
untuk pemantapan penyatuan organisasi dengan mengukuhkan norma UU Advokat
Tahun 2003 dalam beberapa putusannya. Namun, pemerintah berlepas tangan
dengan alasan menjaga independensi profesi advokat. Respons pembuat hukum
justru menegaskan keabsahan eksistensi organisasiorganisasi advokat dalam RUU
yang ada. Kedua, terkait rencana penetapan multibar dan “penyeragaman”
organisasi advokat dalam RUU Advokat, dimunculkan suatu lembaga baru yang
disebut DewanAdvokatNasional(DAN). Keberadaan dewan ini yang jadi persoalan
baru dalam upaya penyatuan organisasi advokat.
Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan
dengan institusi antara lain menyangkut kewenangannya yang sangat besar
karena menentukan kode etik nasional sebagai pembentuk Majelis Kehormatan
Kode Etik dan penentu tata kelola profesi advokat secara nasional. Selain
itu, pemilihan DAN oleh DPR setelah proses seleksi oleh tim yang dibentuk
presiden juga memunculkan komplikasi dan kontradiksi serius terhadap niat
baik untuk menjaga independensi profesi mulia (officium nobile) ini. Campur tangan DPR dan Presiden dalam
pemilihan ini secara langsung pasti akan menarik lembaga tertinggi advokat
dalam kepentingan politik yang tidak perlu bagi dunia profesional.
Kemandirian dan independensi profesional advokat akan berhadapan dengan
tujuan politik yang berseteru di DPR.
Akibatitu, lembaga tertinggi profesi
advokat ini akan tercengkeram dalam gurita kepentingan politik praktis. Dus,
sebagai konsekuensi DAN yang dibentuk melalui UU, lembaga ini dibiayai oleh
negara (RUU Pasal 53). Ketentuan ini secara eksplisit bertentangan dengan
syarat advokat yang tidak boleh duduk di lembaga negara yang dibiayai
keuangan negara (Pasal 9 (2)). Pertanyaannya, bagaimana mungkin advokat tidak
boleh merangkap dan duduk di lembaga DAN yang notabene lembaga tertinggi
profesinya? Ini yang tidak diatur di dalam RUU yang ada.
Ketiga, dengan keberadaan lembaga DAN,
profesi advokat menjadi berbeda dan terlihat aneh dibanding dengan profesi
lain yang diakui negara seperti dokter, perawat, atau notaris. Profesi
advokat menjadi satusatunya profesi yang organisasi tertingginya dipilih oleh
pejabat publik dan politik (DPR dan Presiden). Model ini jelas tidak sesuai
dengan tren organisasi profesional modern. Dalam dunia profesional modern,
kemandirian dan independensi profesi dibentuk dengan melepaskan diri dari
ikatan politik dan luar. Organisasi diberikan ruang yang seluasnya untuk
menerapkan prinsip self-organizing atau
self-regulating. Pendekatan pengaturan organisasi dilakukan melalui soft law yang dibuat sendiri oleh
setiap institusi, bukan hard law
melalui pejabat publik pembentuk perundang-undangan. Karena organisasi ini
bagian dari civil society yang harus
merdeka, bukan political society
yang melibatkan politisi.
Perbaikan
Terlepas dari beberapa persoalan kritis
dalam RUU Advokat, ada beberapa perbaikan yang penting dalam RUU ini yang
patut diperhatikan misalnya mengenai norma penguatan hak imunitas advokat.
Jika sebelumnya para advokat masih memiliki kekhawatiran dalam menjalankan
profesinya mengingat ada beberapa rekannya yang dikriminalisasi dalam
profesinya, kini norma imunitas advokat dikukuhkan dalam RUU. Bahkan ada
upaya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak profesional advokat. Untuk
perbaikan kualitas UU Advokat, pembuat hukum harus lebih memperhatikan
pengaturan aspek-aspek profesionalitas dengan lebih menjamin kemandirian dan
integritas profesi yang dijadikan sebagai salah satu pilar penegak hukum ini.
Bukan malah membatasi dengan ketentuan yang membelenggu dan merusak
kredibilitas profesional dengan campuran kepentingan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar