Senin, 22 September 2014

Advokat dalam Cengkeraman Politik

Advokat dalam Cengkeraman Politik

Andi Syafrani  ;   Praktisi Hukum; Tenaga Pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Beberapa hari ke depan, sebelum mengakhiri masa kerjanya, DPR periode 2009-2014 akan mengetuk palu mengesahkan RUU Advokat. Menurut DPR dan pemerintah, UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan advokat.

Pro-kontra muncul menyikapi pembahasan dan pengesahan RUU ini. Mayoritas advokat yang bernaung di organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menolak RUU ini. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, ribuan Advokat berseragam toga turun ke jalanan meneriakkan penolakan pengesahan RUU Advokat. Sebagian advokat lagi yang berada di luar Peradi mendorong parlemen segera menjatuhkan palunya mengganti UU lama. Ada beberapa isu krusial dalam RUU Advokat yang meruncingkan sikap pro-kontra tersebut. Di antaranya model multibar organisasi, pembentukan Dewan Advokat Nasional, dan penerapan asas retroaktif dalam penentuan waktu pengangkatan advokat.

Penyatuan Advokat

Ide tentang multibar organisasi advokat menyeruak setelah konflik organisasi advokat semakin mengental. Ketentuan imperatif UU Advokat Nomor 18/2003 tentang singelbar yang diperkuat oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain Putusan Nomor 101/2009, tidak diindahkan oleh para advokat. Alih-alih ikut menegakkan ketentuan hukum UU Advokat dan perintah MK, para advokat (khususnya yang senior) terus bermanuver untuk saling memperkuat eksistensi organisasi masing-masing. RUU Advokat yang dalam pembahasan DPR saat ini diduga sebagai produk manuver tersebut.

Organisasi-organisasi advokat yang sebelumnya ikut bergabung dalam satu wadah Peradi mulai memisahkan diri. Selain berhimpun dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang belakangan juga terbelah dua, beberapa organisasi lama advokat, seperti Peradin, juga mendeklarasikan independensi mereka dari organisasiinduk. Alhasil, masyarakat dan penegak hukum lain dibingungkan dengan banyak jenis kartu advokat keluaran organisasi yang dipakai advokat dalam berpraktik. Merespons perpecahan organisasi advokat, pembuat UU mengakomodasi ide multibar.

Meski penetapan model organisasi ini pada hakikatnya adalah legal policy, di sinilah letak persoalannya. Pertama, upaya Mahkamah Agung dalam penyatuan organisasi advokat sebenarnya sudah berjalan baik. Sebagai institusi hukum yang berkepentingan langsung dengan profesi advokat, MA telah mengeluarkan SK No 089/KMA/VI/2010 yangberisi perintah kepada ketua pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah advokat Peradi setelah terjadi Akta Perdamaian Peradi dan KAI. Namun, akta dan SK ini tidak digubris oleh salah satu pihak pembuat kesepakatan.

MK juga telah melakukan upaya penegasan untuk pemantapan penyatuan organisasi dengan mengukuhkan norma UU Advokat Tahun 2003 dalam beberapa putusannya. Namun, pemerintah berlepas tangan dengan alasan menjaga independensi profesi advokat. Respons pembuat hukum justru menegaskan keabsahan eksistensi organisasiorganisasi advokat dalam RUU yang ada. Kedua, terkait rencana penetapan multibar dan “penyeragaman” organisasi advokat dalam RUU Advokat, dimunculkan suatu lembaga baru yang disebut DewanAdvokatNasional(DAN). Keberadaan dewan ini yang jadi persoalan baru dalam upaya penyatuan organisasi advokat.

Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dengan institusi antara lain menyangkut kewenangannya yang sangat besar karena menentukan kode etik nasional sebagai pembentuk Majelis Kehormatan Kode Etik dan penentu tata kelola profesi advokat secara nasional. Selain itu, pemilihan DAN oleh DPR setelah proses seleksi oleh tim yang dibentuk presiden juga memunculkan komplikasi dan kontradiksi serius terhadap niat baik untuk menjaga independensi profesi mulia (officium nobile) ini. Campur tangan DPR dan Presiden dalam pemilihan ini secara langsung pasti akan menarik lembaga tertinggi advokat dalam kepentingan politik yang tidak perlu bagi dunia profesional. Kemandirian dan independensi profesional advokat akan berhadapan dengan tujuan politik yang berseteru di DPR.

Akibatitu, lembaga tertinggi profesi advokat ini akan tercengkeram dalam gurita kepentingan politik praktis. Dus, sebagai konsekuensi DAN yang dibentuk melalui UU, lembaga ini dibiayai oleh negara (RUU Pasal 53). Ketentuan ini secara eksplisit bertentangan dengan syarat advokat yang tidak boleh duduk di lembaga negara yang dibiayai keuangan negara (Pasal 9 (2)). Pertanyaannya, bagaimana mungkin advokat tidak boleh merangkap dan duduk di lembaga DAN yang notabene lembaga tertinggi profesinya? Ini yang tidak diatur di dalam RUU yang ada.

Ketiga, dengan keberadaan lembaga DAN, profesi advokat menjadi berbeda dan terlihat aneh dibanding dengan profesi lain yang diakui negara seperti dokter, perawat, atau notaris. Profesi advokat menjadi satusatunya profesi yang organisasi tertingginya dipilih oleh pejabat publik dan politik (DPR dan Presiden). Model ini jelas tidak sesuai dengan tren organisasi profesional modern. Dalam dunia profesional modern, kemandirian dan independensi profesi dibentuk dengan melepaskan diri dari ikatan politik dan luar. Organisasi diberikan ruang yang seluasnya untuk menerapkan prinsip self-organizing atau self-regulating. Pendekatan pengaturan organisasi dilakukan melalui soft law yang dibuat sendiri oleh setiap institusi, bukan hard law melalui pejabat publik pembentuk perundang-undangan. Karena organisasi ini bagian dari civil society yang harus merdeka, bukan political society yang melibatkan politisi.

Perbaikan

Terlepas dari beberapa persoalan kritis dalam RUU Advokat, ada beberapa perbaikan yang penting dalam RUU ini yang patut diperhatikan misalnya mengenai norma penguatan hak imunitas advokat. Jika sebelumnya para advokat masih memiliki kekhawatiran dalam menjalankan profesinya mengingat ada beberapa rekannya yang dikriminalisasi dalam profesinya, kini norma imunitas advokat dikukuhkan dalam RUU. Bahkan ada upaya kriminalisasi terhadap pelanggaran hak profesional advokat. Untuk perbaikan kualitas UU Advokat, pembuat hukum harus lebih memperhatikan pengaturan aspek-aspek profesionalitas dengan lebih menjamin kemandirian dan integritas profesi yang dijadikan sebagai salah satu pilar penegak hukum ini. Bukan malah membatasi dengan ketentuan yang membelenggu dan merusak kredibilitas profesional dengan campuran kepentingan politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar