Kamis, 11 September 2014

Tuhan Membusuk Itu Sungguh Merisaukan

Tuhan Membusuk Itu Sungguh Merisaukan  

M Anwar Djaelani  ;   Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jatim dan dosen STAIL-Hidayatullah Surabaya
JAWA POS, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TUHAN Membusuk. Itulah tema ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (FUF-UIN) Surabaya, 28–30 Agustus 2014. Publik pun bereaksi keras atas tema yang jauh dari rasa kepatutan itu.

Perkembangan berikutnya, Rektor, Dekan, dan Mahasiswa Dilaporkan dan Rektorat Bekukan Dema Fakultas Ushuluddin (Jawa Pos, 3-4/9). Dua berita tersebut cukup bisa ’’mendinginkan hati’’ masyarakat Islam. Sayangnya, lalu muncul artikel-opini di Jawa Pos (5/9) berjudul Memaknai Tuhan Membusuk yang ditulis Masduri, seorang akademisi teologi dan filsafat FUF-UIN Surabaya.

Lewat artikel tersebut, Masduri bertindak seperti Jubir panitia ospek itu. Atas tema tersebut, ’’berlebihan merisaukannya’’, padahal itu sebenarnya ’’sangat baik’’. Makna tema itu, ’’Kira-kira hampir sama dengan pernyataan Friedrich Nietzsche, Tuhan telah mati,’’ kata Masduri.

Artikel Masduri bisa menghidupkan lagi api keresahan masyarakat Islam yang sempat meredup. Lihatlah, Masduri membela panitia ospek yang nyata-nyata telah dianggap salah oleh pimpinan UIN Surabaya. Salah? Ini buktinya.

Pertama, atas spanduk bertulisan Tuhan Membusuk pada hari pertama ospek, ’’Kami meminta pihak senat untuk menurunkan atau menghapus tulisan itu. Pada hari pertama sudah dilaksanakan, tapi pada hari kedua muncul kembali,’’ kata Abd A’la, rektor UIN Surabaya. Apa pun, ’’Kami atas nama UIN Sunan Ampel memohon maaf atas kejadian ini,’’ lanjut Abd A’la (www.okezone.com, 1/9). Kedua, tidak berhenti di situ, rektorat pun membekukan Dema Fakultas Ushuluddin (Jawa Pos, 4/9).

Hal lain, tidak benar Masduri bilang bahwa atas tema ospek itu ’’Berlebihan merisaukannya’’. Mau bukti ketidakbenarannya? Tema ospek itu berpotensi menggoyang akidah. Bacalah fakta berikut ini. Ada mahasiswa baru yang diminta mundur dari UIN Surabaya oleh orang tuanya. Sangat mungkin karena si orang tua risau atas keselamatan akidah si anak.

Ceritanya, setelah mengikuti Oscaar (khusus di UIN Surabaya, ospek disebut Oscaar, yaitu Orientasi Cinta Akademik dan Almamater), mahasiswa itu pulang ke Tuban. Di rumah, dia berkaus Oscaar yang bertulisan Tuhan Membusuk. Dia pun dimarahi sang bapak. ’’Saya dimarahi Bapak. Saya disuruh pindah (kuliah). Pokoknya harus pindah,’’ ungkapnya. Sabtu (2/8) dia langsung meninggalkan UIN Surabaya (www.hidayatullah.com, 5/9).

Tidak benar Masduri bilang bahwa tema ospek (termasuk subtemanya, yaitu Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan) itu ’’sangat baik’’. Perlu bukti ketidakbenarannya? Bacalah fakta berikut ini.

Rupanya, selain kekerasan dalam bentuk pemikiran, ada juga peserta Oscaar yang mendapat kekerasan bentuk lain. Seorang mahasiswi jurusan perbandingan agama mengaku disekap di sebuah ruangan dan dibentak-bentak dengan perkataan kasar seperti ’’kamu bodoh’’ dan perkataan kotor lainnya. Itu terjadi karena dia berani membantah para senior yang membentak-bentaknya.

’’Saya berani melawan karena saya dilindungi undang-undang yang melarang Oscaar yang seperti ini. Saya saat itu berpuasa, namun saya dianggap mengada-ada agar saya tidak diberi sanksi,’’ katanya. Ketika www.voa-islam.com menurunkan berita tersebut pada Senin (1/9), mahasiswi itu terbaring sakit dan mengalami gangguan psikis sehingga perlu dirawat intensif.

Pertanyaannya, apakah membentak-bentak mahasiswa baru itu merupakan bagian dari Islam kosmopolitan? Apakah berkata-kata kasar kepada mahasiswa baru itu adalah bagian dari Islam kosmopolitan? Apakah menyekap mahasiswa baru di sebuah ruangan itu merupakan bagian dari Islam kosmopolitan?

Sekali lagi, terkait dengan kasus tersebut, Rektor UIN Surabaya Abd A’la telah meminta maaf secara terbuka. Memang, memaafkan itu hal mudah. Tapi, bisakah kita mengambil pelajaran dari kasus tersebut?

Karena itu, Koordinator Forum Silaturrahim Pejuang Ahlus Sunnah wal Jamaah Garis Lurus KH Lutfi Bashori (dari Malang) melaporkan perkara tersebut ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Begitu juga, FPI Surabaya dan FPI Jatim melapor ke polisi.

Sanksi yang menjerakan memang harus didapat semua pihak yang terlibat dalam ospek tersebut. Sebab, ternyata itu telah berlangsung lama. Cermatilah, pertama, tema yang bisa menggoyang akidah juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Jawa Pos (3/9) menurunkan kesaksian Ahmad Nizar, mahasiswa perbandingan agama UIN Surabaya. Bahwa –kata dia– pada tahun sebelumnya mahasiswa baru dijejali kalimat ’’Selamat Datang di Kampus Tak Bertuhan’’. Sebelumnya lagi, lanjut Nizar, ada kalimat ’’Tuhan pun Aku Tantang’’.

Kedua,ada ’’pengerdilan’’ syariat. Bacalah tabloid Nurani, September II Tahun 2012, yang menurunkan judul: Ada Pendangkalan Aqidah di Oscaar IAIN. Bahwa pada Oscaar di IAIN (nama lama UIN) Surabaya 3–5 September 2012, ada kejadian ini: Pertama, dalam acara, waktu salat Duhur dan makan terjadwal 1 jam. Kenyataannya, ada fakultas yang hanya memberikan 15 menit. ’’Pilih salat atau makan, terserah. Setelah itu harus kembali. Kalau tidak, dihukum,’’ ungkap seorang peserta Oscaar. Tidak sedikit yang lebih memilih makan ketimbang salat.

Kedua, saat azan Magrib berkumandang, Oscaar terus berlangsung. Bahkan, ketika salat Magrib ditegakkan di masjid kampus yang tidak jauh dari lokasi Oscaar, mereka tetap ramai dengan yel-yel dan ledakan petasan. Saking kerasnya ledakan, ada mobil yang diparkir dekat lokasi yang alarmnya berbunyi.

Kita layak menangisi semua itu. Di kampus Islam, Tuhan dihina. Jika di kampus yang dari situ kita berharap lahirnya ulama/pemimpin/tokoh Islam yang mumpuni dan ternyata isi pikiran mereka nyeleneh seperti paparan tersebut, apa yang bisa kita dapatkan kecuali kehancuran? Lihatlah, mahasiswa yang baru masuk sudah dikondisikan untuk menghina Tuhan.

Atas semua itu, (para) penanggung jawab negeri ini harus segera bersikap. Adalah kesalahan yang tak terbayangkan besarnya jika membiarkan hal tersebut terus berlangsung karena menyangkut rusaknya akidah, berantakannya syariat, dan runtuhnya akhlak. Sungguh, bersegeralah berbuat sesuatu untuk perbaikan! Sebab, jika tidak, buku Hartono Ahmad Jaiz yang terbit pada 2005 bisa menemukan pembenarannya. Yakni: Ada Pemurtadan di IAIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar