Tuhan
Membusuk Itu Sungguh Merisaukan
M Anwar Djaelani ;
Pengurus
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jatim dan dosen
STAIL-Hidayatullah Surabaya
|
JAWA
POS, 10 September 2014
TUHAN
Membusuk. Itulah tema ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) di
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (FUF-UIN) Surabaya,
28–30 Agustus 2014. Publik pun bereaksi keras atas tema yang jauh dari rasa kepatutan
itu.
Perkembangan
berikutnya, Rektor, Dekan, dan Mahasiswa Dilaporkan dan Rektorat Bekukan Dema
Fakultas Ushuluddin (Jawa Pos, 3-4/9). Dua berita tersebut cukup bisa
’’mendinginkan hati’’ masyarakat Islam. Sayangnya, lalu muncul artikel-opini
di Jawa Pos (5/9) berjudul Memaknai Tuhan Membusuk yang ditulis Masduri,
seorang akademisi teologi dan filsafat FUF-UIN Surabaya.
Lewat
artikel tersebut, Masduri bertindak seperti Jubir panitia ospek itu. Atas
tema tersebut, ’’berlebihan merisaukannya’’, padahal itu sebenarnya ’’sangat
baik’’. Makna tema itu, ’’Kira-kira hampir sama dengan pernyataan Friedrich
Nietzsche, Tuhan telah mati,’’ kata Masduri.
Artikel
Masduri bisa menghidupkan lagi api keresahan masyarakat Islam yang sempat
meredup. Lihatlah, Masduri membela panitia ospek yang nyata-nyata telah
dianggap salah oleh pimpinan UIN Surabaya. Salah? Ini buktinya.
Pertama,
atas spanduk bertulisan Tuhan Membusuk pada hari pertama ospek, ’’Kami
meminta pihak senat untuk menurunkan atau menghapus tulisan itu. Pada hari
pertama sudah dilaksanakan, tapi pada hari kedua muncul kembali,’’ kata Abd
A’la, rektor UIN Surabaya. Apa pun, ’’Kami atas nama UIN Sunan Ampel memohon
maaf atas kejadian ini,’’ lanjut Abd A’la (www.okezone.com, 1/9). Kedua,
tidak berhenti di situ, rektorat pun membekukan Dema Fakultas Ushuluddin
(Jawa Pos, 4/9).
Hal
lain, tidak benar Masduri bilang bahwa atas tema ospek itu ’’Berlebihan
merisaukannya’’. Mau bukti ketidakbenarannya? Tema ospek itu berpotensi
menggoyang akidah. Bacalah fakta berikut ini. Ada mahasiswa baru yang diminta
mundur dari UIN Surabaya oleh orang tuanya. Sangat mungkin karena si orang
tua risau atas keselamatan akidah si anak.
Ceritanya,
setelah mengikuti Oscaar (khusus di UIN Surabaya, ospek disebut Oscaar, yaitu
Orientasi Cinta Akademik dan Almamater), mahasiswa itu pulang ke Tuban. Di
rumah, dia berkaus Oscaar yang bertulisan Tuhan Membusuk. Dia pun dimarahi
sang bapak. ’’Saya dimarahi Bapak. Saya disuruh pindah (kuliah). Pokoknya
harus pindah,’’ ungkapnya. Sabtu (2/8) dia langsung meninggalkan UIN Surabaya
(www.hidayatullah.com, 5/9).
Tidak
benar Masduri bilang bahwa tema ospek (termasuk subtemanya, yaitu
Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan) itu ’’sangat baik’’.
Perlu bukti ketidakbenarannya? Bacalah fakta berikut ini.
Rupanya,
selain kekerasan dalam bentuk pemikiran, ada juga peserta Oscaar yang
mendapat kekerasan bentuk lain. Seorang mahasiswi jurusan perbandingan agama
mengaku disekap di sebuah ruangan dan dibentak-bentak dengan perkataan kasar
seperti ’’kamu bodoh’’ dan perkataan kotor lainnya. Itu terjadi karena dia
berani membantah para senior yang membentak-bentaknya.
’’Saya
berani melawan karena saya dilindungi undang-undang yang melarang Oscaar yang
seperti ini. Saya saat itu berpuasa, namun saya dianggap mengada-ada agar
saya tidak diberi sanksi,’’ katanya. Ketika www.voa-islam.com menurunkan
berita tersebut pada Senin (1/9), mahasiswi itu terbaring sakit dan mengalami
gangguan psikis sehingga perlu dirawat intensif.
Pertanyaannya,
apakah membentak-bentak mahasiswa baru itu merupakan bagian dari Islam
kosmopolitan? Apakah berkata-kata kasar kepada mahasiswa baru itu adalah
bagian dari Islam kosmopolitan? Apakah menyekap mahasiswa baru di sebuah
ruangan itu merupakan bagian dari Islam kosmopolitan?
Sekali
lagi, terkait dengan kasus tersebut, Rektor UIN Surabaya Abd A’la telah
meminta maaf secara terbuka. Memang, memaafkan itu hal mudah. Tapi, bisakah
kita mengambil pelajaran dari kasus tersebut?
Karena
itu, Koordinator Forum Silaturrahim Pejuang Ahlus Sunnah wal Jamaah Garis
Lurus KH Lutfi Bashori (dari Malang) melaporkan perkara tersebut ke
Kepolisian Daerah Jawa Timur. Begitu juga, FPI Surabaya dan FPI Jatim melapor
ke polisi.
Sanksi
yang menjerakan memang harus didapat semua pihak yang terlibat dalam ospek
tersebut. Sebab, ternyata itu telah berlangsung lama. Cermatilah, pertama,
tema yang bisa menggoyang akidah juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Jawa
Pos (3/9) menurunkan kesaksian Ahmad Nizar, mahasiswa perbandingan agama UIN
Surabaya. Bahwa –kata dia– pada tahun sebelumnya mahasiswa baru dijejali
kalimat ’’Selamat Datang di Kampus Tak Bertuhan’’. Sebelumnya lagi, lanjut
Nizar, ada kalimat ’’Tuhan pun Aku Tantang’’.
Kedua,ada
’’pengerdilan’’ syariat. Bacalah tabloid Nurani, September II Tahun 2012,
yang menurunkan judul: Ada Pendangkalan Aqidah di Oscaar IAIN. Bahwa pada
Oscaar di IAIN (nama lama UIN) Surabaya 3–5 September 2012, ada kejadian ini:
Pertama, dalam acara, waktu salat Duhur dan makan terjadwal 1 jam. Kenyataannya,
ada fakultas yang hanya memberikan 15 menit. ’’Pilih salat atau makan,
terserah. Setelah itu harus kembali. Kalau tidak, dihukum,’’ ungkap seorang
peserta Oscaar. Tidak sedikit yang lebih memilih makan ketimbang salat.
Kedua,
saat azan Magrib berkumandang, Oscaar terus berlangsung. Bahkan, ketika salat
Magrib ditegakkan di masjid kampus yang tidak jauh dari lokasi Oscaar, mereka
tetap ramai dengan yel-yel dan ledakan petasan. Saking kerasnya ledakan, ada
mobil yang diparkir dekat lokasi yang alarmnya berbunyi.
Kita
layak menangisi semua itu. Di kampus Islam, Tuhan dihina. Jika di kampus yang
dari situ kita berharap lahirnya ulama/pemimpin/tokoh Islam yang mumpuni dan
ternyata isi pikiran mereka nyeleneh seperti paparan tersebut, apa yang bisa
kita dapatkan kecuali kehancuran? Lihatlah, mahasiswa yang baru masuk sudah
dikondisikan untuk menghina Tuhan.
Atas
semua itu, (para) penanggung jawab negeri ini harus segera bersikap. Adalah
kesalahan yang tak terbayangkan besarnya jika membiarkan hal tersebut terus
berlangsung karena menyangkut rusaknya akidah, berantakannya syariat, dan
runtuhnya akhlak. Sungguh, bersegeralah berbuat sesuatu untuk perbaikan!
Sebab, jika tidak, buku Hartono Ahmad Jaiz yang terbit pada 2005 bisa
menemukan pembenarannya. Yakni: Ada
Pemurtadan di IAIN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar