Demokrasi
di Ujung Tanduk
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor
Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
10 September 2014
REFORMASI
yang bergulir sejak 21 Mei 1998 baru berusia 16 tahun 4 bulan. Pada usia itu,
ada peningkatan budaya politik rakyat di dalam memilih wakil rakyat melalui
pemilu legislatif dan memilih presiden-wakil presiden secara langsung pada
2014.
Melihat
partisipasi rakyat dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014—baik sebagai
pemilih, relawan, maupun kaum netizen (masyarakat pengguna internet) pengawal
penghitungan suara pemilu—kita semua optimistis bahwa masa depan demokrasi di
Indonesia akan sangat baik.
Namun,
sebaliknya, budaya politik sebagian elite politik—termasuk, tetapi tidak
terbatas pada mereka yang duduk di DPR—justru menunjukkan kemunduran.
Sebagian elite politik ternyata belum dapat menerima kekalahan dalam pemilu
presiden langsung, berarti juga tidak dapat menerima Democratic Bargaining
yang ditentukan oleh suara rakyat. John Stuart Mill, salah seorang penggagas
demokrasi, sejak awal sudah menyatakan bahwa sistem politik demokrasi adalah
suatu sistem yang mudah retak (fragile).
Cermin ketak-legawa-an
Seorang
pemimpin pemerintahan yang terpilih secara demokratis melalui pemilu dapat
ditumbangkan jika ada kekuatan
senjata, bergabung dengan kekuatan mahasiswa, pemilik modal, dan buruh yang
mengatasnamakan people power,
mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Ini terjadi di Thailand saat Perdana
Menteri Yingluck Shinawatra—dan sebelumnya kakaknya, PM Thaksin
Shinawatra—dipaksa mundur dari jabatannya akibat adanya demonstrasi yang
didukung militer. Juga terjadi di Mesir ketika presiden terpilih Mohammad
Mursi Isa El-Ayyat digulingkan oleh militer pada 5 Juli 2013, yang didahului
oleh demonstrasi besar-besaran di Kairo.
Dalam
kasus Indonesia, kita memang belum pernah mengalami kudeta pasca pemilu
presiden pada era reformasi ini, walaupun kita juga pernah mengalami di mana
seorang presiden yang dipilih oleh MPR pasca Pemilu 1999, KH Abdurrahman
Wahid, kemudian dimakzulkan oleh MPR, 1,5 tahun kemudian.
Namun,
tanda-tanda bahwa kita dapat menuju pada lingkaran setan yang baru dari
demokrasi menuju sistem otoriter sudah mulai tampak. Contoh dari perubahan
ini adalah tidak legawanya pemimpin dan para pengikutnya yang kalah dalam
pemilu presiden langsung 2014. Dengan berbagai cara, mereka berupaya
membatalkan kemenangan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Untungnya, gerakan mereka masih sebatas yang diperbolehkan oleh konstitusi
dan undang-undang yang berlaku.
Lebih
buruk lagi, kekuatan yang kalah ini berupaya menguasai semua posisi strategis
di DPR melalui revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 mengenai Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau dikenal juga sebagai UU MD3. Revisi UU MD3 ini
menimbulkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dari berbagai pihak karena, antara
lain, mengubah cara penentuan ketua DPR dari partai pemenang pemilu menjadi
voting, meniadakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dan mengerdilkannya ke
komisi-komisi, memberikan imunitas kepada anggota dewan terhormat yang
melakukan tindak pidana korupsi dengan cara mengharuskan aparat hukum untuk
mendapatkan persetujuan dari Badan Kehormatan DPR sebelum menangkap koruptor
di DPR tersebut.
Langkah
lain yang menakutkan, sebagian besar partai di DPR—tak terbatas pada
partai-partai Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta—kini juga
bersekongkol untuk meniadakan kedaulatan rakyat dalam RUU Pilkada. Sistem
pilkada langsung yang telah berlangsung sejak 2005 akan menjadi pemilihan di
DPRD. Pilkada langsung untuk memilih gubernur dan bupati hanya didukung oleh
PDI-P, Hanura, dan PKB, sementara pilkada langsung jabatan wali kota hanya
didukung oleh PDI-P dan Hanura.
Alasan
para pendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah persoalan biaya
yang tinggi, banyaknya praktik money politics, dan munculnya perpecahan atau
konflik dalam masyarakat. Jika kita menggunakan akal sehat, persoalan biaya
pilkada bisa ditekan jika semua daerah mencontoh pilkada serempak yang
dilakukan di Aceh sejak 2006. Persoalan money politics seharusnya juga dapat
ditiadakan jika semua aktor yang ikut pilkada tidak melakukan hal tersebut
dan sanksi atas perbuatan itu amat berat.
Kita
semua tahu bahwa pemilu kepala daerah melalui DPRD bukan saja mengembalikan
praktik elitis dalam pemilihan kepala daerah, melainkan juga meniadakan
kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Sistem pemilihan
kepala daerah melalui DPRD juga tak mungkin menihilkan praktik money
politics. Bedanya adalah jika dalam pilkada langsung mereka yang menerima
uang adalah sebagian rakyat pemilih, sedangkan dalam pilkada melalui DPRD
adalah sebagian anggota DPRD.
Dalam
sejarah Indonesia, ada perbedaan kepentingan politik antara elite politik dan
rakyat. Kaum elite lebih mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya,
sementara rakyat lebih mendahulukan kepentingan bersama dan mendambakan
seorang pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan
sosial. Elite politik dapat bergabung dengan elite politik yang lain yang
berbeda ideologinya, tetapi memiliki kepentingan politik dan ekonomi sesaat
yang sama.
Tirani mayoritas
Satu
sisi yang hilang dari dihapuskannya pilkada langsung ialah tiadanya
kesempatan calon pemimpin yang inovatif, dedikatif, dan kapabel untuk
terpilih menjadi kepala daerah. Apa yang berkembang belakangan ini bukan saja
mengembalikan sistem politik kita menuju otoriterisme dan elitis, melainkan
juga mengembalikan sistem demokrasi menuju tirani mayoritas pada tataran
elite.
Kita
tidak boleh tinggal diam atas praktik elite politik di parlemen yang semakin
menjauh dari asas demokrasi. Jika ini kita diamkan, bukan hanya pilkada langsung
yang mereka tiadakan, melainkan, lebih buruk lagi, mereka dapat mengamandemen
konstitusi negara dan mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR dan bukan
langsung oleh rakyat.
Demokrasi
substansial sudah mulai tampak dalam praktik demokrasi kita. Oleh karena itu,
kita tidak mungkin berputar balik ke era di mana elite politik menentukan
segalanya, seperti pada era Orde Lama ataupun Orde Baru. Jika tidak,
demokrasi kita bukan saja mengalami kemunduran, melainkan kita kembali masuk ke lingkaran setan dari
demokrasi ke otoritarian.
Saat
ini demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk. Tanpa perjuangan kita
bersama, demokrasi kita benar-benar akan dikuasai oleh kaum penjahat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar