Rabu, 10 September 2014

Demokrasi di Ujung Tanduk

Demokrasi di Ujung Tanduk  

Ikrar Nusa Bhakti  ;   Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
KOMPAS, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

REFORMASI yang bergulir sejak 21 Mei 1998 baru berusia 16 tahun 4 bulan. Pada usia itu, ada peningkatan budaya politik rakyat di dalam memilih wakil rakyat melalui pemilu legislatif dan memilih presiden-wakil presiden secara langsung pada 2014.

Melihat partisipasi rakyat dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014—baik sebagai pemilih, relawan, maupun kaum netizen (masyarakat pengguna internet) pengawal penghitungan suara pemilu—kita semua optimistis bahwa masa depan demokrasi di Indonesia akan sangat baik.

Namun, sebaliknya, budaya politik sebagian elite politik—termasuk, tetapi tidak terbatas pada mereka yang duduk di DPR—justru menunjukkan kemunduran. Sebagian elite politik ternyata belum dapat menerima kekalahan dalam pemilu presiden langsung, berarti juga tidak dapat menerima Democratic Bargaining yang ditentukan oleh suara rakyat. John Stuart Mill, salah seorang penggagas demokrasi, sejak awal sudah menyatakan bahwa sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang mudah retak (fragile).

Cermin ketak-legawa-an

Seorang pemimpin pemerintahan yang terpilih secara demokratis melalui pemilu dapat ditumbangkan  jika ada kekuatan senjata, bergabung dengan kekuatan mahasiswa, pemilik modal, dan buruh yang mengatasnamakan people power, mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Ini terjadi di Thailand saat Perdana Menteri Yingluck Shinawatra—dan sebelumnya kakaknya, PM Thaksin Shinawatra—dipaksa mundur dari jabatannya akibat adanya demonstrasi yang didukung militer. Juga terjadi di Mesir ketika presiden terpilih Mohammad Mursi Isa El-Ayyat digulingkan oleh militer pada 5 Juli 2013, yang didahului oleh demonstrasi besar-besaran di Kairo.

Dalam kasus Indonesia, kita memang belum pernah mengalami kudeta pasca pemilu presiden pada era reformasi ini, walaupun kita juga pernah mengalami di mana seorang presiden yang dipilih oleh MPR pasca Pemilu 1999, KH Abdurrahman Wahid, kemudian dimakzulkan oleh MPR, 1,5 tahun kemudian.

Namun, tanda-tanda bahwa kita dapat menuju pada lingkaran setan yang baru dari demokrasi menuju sistem otoriter sudah mulai tampak. Contoh dari perubahan ini adalah tidak legawanya pemimpin dan para pengikutnya yang kalah dalam pemilu presiden langsung 2014. Dengan berbagai cara, mereka berupaya membatalkan kemenangan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Untungnya, gerakan mereka masih sebatas yang diperbolehkan oleh konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Lebih buruk lagi, kekuatan yang kalah ini berupaya menguasai semua posisi strategis di DPR melalui revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dikenal juga sebagai UU MD3. Revisi UU MD3 ini menimbulkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dari berbagai pihak karena, antara lain, mengubah cara penentuan ketua DPR dari partai pemenang pemilu menjadi voting, meniadakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dan mengerdilkannya ke komisi-komisi, memberikan imunitas kepada anggota dewan terhormat yang melakukan tindak pidana korupsi dengan cara mengharuskan aparat hukum untuk mendapatkan persetujuan dari Badan Kehormatan DPR sebelum menangkap koruptor di DPR tersebut.

Langkah lain yang menakutkan, sebagian besar partai di DPR—tak terbatas pada partai-partai Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta—kini juga bersekongkol untuk meniadakan kedaulatan rakyat dalam RUU Pilkada. Sistem pilkada langsung yang telah berlangsung sejak 2005 akan menjadi pemilihan di DPRD. Pilkada langsung untuk memilih gubernur dan bupati hanya didukung oleh PDI-P, Hanura, dan PKB, sementara pilkada langsung jabatan wali kota hanya didukung oleh PDI-P dan Hanura.

Alasan para pendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah persoalan biaya yang tinggi, banyaknya praktik money politics, dan munculnya perpecahan atau konflik dalam masyarakat. Jika kita menggunakan akal sehat, persoalan biaya pilkada bisa ditekan jika semua daerah mencontoh pilkada serempak yang dilakukan di Aceh sejak 2006. Persoalan money politics seharusnya juga dapat ditiadakan jika semua aktor yang ikut pilkada tidak melakukan hal tersebut dan sanksi atas perbuatan itu amat berat.

Kita semua tahu bahwa pemilu kepala daerah melalui DPRD bukan saja mengembalikan praktik elitis dalam pemilihan kepala daerah, melainkan juga meniadakan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga tak mungkin menihilkan praktik money politics. Bedanya adalah jika dalam pilkada langsung mereka yang menerima uang adalah sebagian rakyat pemilih, sedangkan dalam pilkada melalui DPRD adalah sebagian anggota DPRD.

Dalam sejarah Indonesia, ada perbedaan kepentingan politik antara elite politik dan rakyat. Kaum elite lebih mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya, sementara rakyat lebih mendahulukan kepentingan bersama dan mendambakan seorang pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan dan keadilan sosial. Elite politik dapat bergabung dengan elite politik yang lain yang berbeda ideologinya, tetapi memiliki kepentingan politik dan ekonomi sesaat yang sama.

Tirani mayoritas

Satu sisi yang hilang dari dihapuskannya pilkada langsung ialah tiadanya kesempatan calon pemimpin yang inovatif, dedikatif, dan kapabel untuk terpilih menjadi kepala daerah. Apa yang berkembang belakangan ini bukan saja mengembalikan sistem politik kita menuju otoriterisme dan elitis, melainkan juga mengembalikan sistem demokrasi menuju tirani mayoritas pada tataran elite.

Kita tidak boleh tinggal diam atas praktik elite politik di parlemen yang semakin menjauh dari asas demokrasi. Jika ini kita diamkan, bukan hanya pilkada langsung yang mereka tiadakan, melainkan, lebih buruk lagi, mereka dapat mengamandemen konstitusi negara dan mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR dan bukan langsung oleh rakyat.

Demokrasi substansial sudah mulai tampak dalam praktik demokrasi kita. Oleh karena itu, kita tidak mungkin berputar balik ke era di mana elite politik menentukan segalanya, seperti pada era Orde Lama ataupun Orde Baru. Jika tidak, demokrasi kita bukan saja mengalami kemunduran, melainkan kita  kembali masuk ke lingkaran setan dari demokrasi ke otoritarian.

Saat ini demokrasi kita sedang berada di ujung tanduk. Tanpa perjuangan kita bersama, demokrasi kita benar-benar akan dikuasai oleh kaum penjahat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar