Pulung
Gantung
Nur Haryanto ;
Wartawan
Tempo
|
TEMPO,
10 September 2014
Sahrul
Arif Wiguna. Namanya bagus dan gagah. Semasa bocah, dia dikenal pandai karena
selalu juara kelas. Masuk SMP gratis karena kepintarannya. Juara debat bahasa
Inggris ketika di bangku XI di SMA. Namun remaja berusia 18 tahun itu membuat
keputusan tragis. Menurut saya teramat tragis.
Sabtu
sore pekan lalu, dia memilih mengakhiri hidupnya dengan lilitan tali yang
digantung di tiang pasak rumahnya, di Mojokerto, Jawa Timur. Semua keluarga
kaget. Ibunya pun tak habis mengerti terhadap pilihan anaknya, yang rajin
beribadah itu. Tak jelas memang alasannya mengakhiri hidup. Penyebabnya masih
diduga-duga, dari masalah keluarga sampai teman sekolah.
Sahrul
meninggalkan wasiat secarik kertas bertuliskan tangan yang ditujukan kepada
keluarga dan teman-teman sekolahnya. Dia pamit dan minta maaf, seraya ingin
tabungannya disumbangkan ke sekolah. Kisah semacam Sahrul muncul di beberapa
daerah lain dalam dua pekan terakhir.
Badan
dunia World Health Organization
(WHO) baru saja melansir survei soal bunuh diri, pekan lalu. Menurut catatan
WHO, bunuh diri terjadi di berbagai belahan dunia setiap 40 detik sekali.
Dalam riset, selama 10 tahun terakhir terdapat 800 ribu orang bunuh diri
setiap tahun.
Angka
yang lebih miris lagi, dalam usia produktif 15-29 tahun, bunuh diri menjadi
penyebab kematian terbesar kedua pada anak muda. Sedangkan usia 70 tahun ke
atas adalah rata-rata usia yang paling banyak memiliki kecenderungan bunuh
diri.
Angka-angka
ini sungguh membuat masygul. Seperti halnya fenomena bunuh diri yang pernah
menggemparkan Korea Selatan dalam satu dekade terakhir. Satu per satu
selebritas Negeri Ginseng itu mengakhiri hidupnya. Muda, rupawan, kaya,
terkenal, hampir semua kehidupan di dunia seolah telah mereka miliki.
Keputusan yang membuat orang bertanya-tanya.
Setidaknya
ada 14 selebritas Korea Selatan bunuh diri dan menjadi headline di berbagai
media, termasuk di Indonesia. Salah satunya Daul Kim, model ternama yang
sudah mendunia, sudah tampil di panggung mode New York, Milan, dan Paris.
Satu hari pada pertengahan November 2009, dia
ditemukan tergantung di apartemennya di Paris. Ada selarik pesan di
blog-nya, "Semakin besar, aku
semakin kesepian."
Mudahnya
orang melakukan bunuh diri menyeret ingatan saya kembali ke era 80-an ketika
ada cerita "Pulung Gantung". Istilah ini dikenal di Daerah Istimewa
Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul, yang saat itu muncul pagebluk
atau "wabah" orang bunuh diri. Berdasarkan catatan polisi--yang
pernah diterbitkan majalah Tempo Februari 1984--dalam rentang
Agustus-Desember 1983, tercatat 30 orang meninggal dalam cara yang sama:
gantung diri.
Kisahnya
rata-rata mirip. Malam sebelum terjadi bunuh diri selalu ada orang
terdekat--saudara atau tetangga--yang melihat cahaya terbang dan jatuh ke
calon rumah duka. Cahayanya dikatakan berwarna hijau kemerah-merahan, dan
berbentuk seperti gayung. Itulah Pulung
Gantung.
Ada
banyak sebab yang sering dijumpai dalam kasus bunuh diri, antara lain
depresi, utang, sakit yang menahun, atau sekadar putus hubungan dengan pacar.
Yang jelas, ketika seseorang lalu mengucapkan selamat tinggal kepada dunia
tempatnya berpijak, ada sebagian dari diri kita ikut masuk ke dalam kubur.
Ya, cahaya yang terbang itu jatuh lagi. Pulung
Gantung! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar