Revolusi
Pangan
Posman Sibuea ; Guru
Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera
Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
KOMPAS,
05 September 2014
IRONIS kalau Indonesia
dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Secara ekonomi
Indonesia seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat
Trisakti (Joko Widodo, presiden RI terpilih 2014-2019).
Putusan Mahkamah
Konstitusi yang memperkuat hasil Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Joko
Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014- 2019.
Maka, masyarakat pun berharap pemerintahan baru yang akan dinakhodai Jokowi
segera bekerja meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saat kampanye, mereka
memang berjanji akan menempatkan sektor pertanian sebagai arus utama
kebijakan pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.
Pembangunan pertanian
berbasis agrobisnis kerakyatan diyakini sebagai bagian dari revolusi mental
yang mampu membawa Indonesia berdaulat atas pangan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan petani lokal.
Revolusi mental yang
digemakan Jokowi memang menjadi topik menarik dalam diskursus publik.
Revolusi mental
diposisikan menjadi anak panah perubahan untuk mengusung paradigma baru dan
budaya politik dalam menangani segala kebobrokan.
Permasalahan bernegara
yang telah memiskinkan rakyat bersumber pada perilaku mental yang menyimpang
dan tidak lagi merujuk pada norma-norma ke-Indonesia-an yang berbasis budi
pekerti.
Korupsi dan suap
merajalela, bahkan setelah reformasi bergulir 16 tahun. Kuatnya praktik
politik uang dalam perdagangan pangan, misalnya, khususnya terkait impor,
telah mengabaikan peran pangan Nusantara dan meminggirkan petani lokal.
Politik pangan
nasional disetir oleh para pemburu rente (rent
seeking) yang sarat dengan permainan fulus. Ketika petani gagal panen,
pemerintah berteriak untuk segera membuka keran impor pangan, seakan
mensyukuri terjadinya gagal panen.
Pemerintah telah
mengadopsi kebijakan pangan nasional yang sangat pro pasar bebas. Kebijakan
ini mendorong penghapusan dan pengurangan subsidi, penurunan tarif impor
komoditas pangan yang menjadi bahan pokok dan strategis, seperti beras,
terigu, gula, jagung, daging sapi, dan kedelai.
Meski harga berbagai
bahan pangan meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir, kenyataannya tidak
membawa keuntungan bagi petani lokal. Ini membuktikan pemerintah secara
sistematis dan terstruktur telah memiskinkan petani, kekuatan utama
kedaulatan pangan nasional.
Proses pemiskinan
petani ini berhulu dari pola dan struktur pertanian dan ketahanan pangan yang
masih menempatkan pertanian kapitalistik dan spekulan (mafia) pangan pada
puncak piramida.
Meski jumlahnya hanya
sekitar 500.000 orang, mereka menjadi pemain agrobisnis utama yang menguasai
perdagangan pangan, benih, pupuk, alat, dan mesin pertanian. Mereka
mendapatkan akses dan fasilitas dari pemerintah.
Sementara itu, dasar
piramida tersusun atas 35 juta keluarga petani kecil atau sekitar 100 juta
jiwa tertekan ke bawah dan menyebabkan 4,77 juta rumah tangga petani gurem
tercerabut dari lahan miliknya (BPS, 2013).
Tiga langkah
Masih dominannya
permainan pemilik modal dalam pembangunan ketahanan pangan harus menyadarkan
pemerintahan baru bahwa pekerjaan rumah di sektor pangan masih menumpuk.
Ketergantungan pada
impor dan rapuhnya (decay)
kedaulatan pangan merupakan buah ketidakseriusan membangun sektor pertanian.
Mentransformasi sektor pertanian, termasuk meningkatkan nilai tambah produk
pertanian dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi hasil
pertanian, menjadi kewajiban presiden terpilih.
Untuk itu paling tidak
tiga langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan, yakni pertama,
mendorong peningkatan konsumsi pangan lokal.
Perubahan ini
merupakan bentuk revolusi mental di bidang penganekaan konsumsi pangan untuk
melepaskan Indonesia dari ketergantungan yang tinggi pada konsumsi beras dan
mengurangi ketagihan konsumsi pada produk pangan berbasis gandum yang
jelas-jelas impor.
Kita perlu belajar
dari negara kaya, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka bangga menggunakan
produk lokal, seperti ponsel dan mobil buatan sendiri, tanpa terpengaruh
produk bangsa lain yang lebih canggih.
Kedua, keluar dari
perangkap pangan impor. Perangkap yang dimainkan negara maju lewat praktik
liberalisasi pangan telah memunculkan beragam kartel pangan baru yang mirip
mafia: menguasai distribusi dan perdagangan pangan.
Untuk menghentikannya,
pemerintahan Jokowi-JK harus membatasi mekanisme distribusi pangan melalui
korporasi kapitalistik dan menggantinya dengan koperasi berbasis kerakyatan.
Ketiga, memperkuat
kelembagaan pangan nasional. Kedaulatan pangan yang dimaknai sebagai hak
negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang
menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan menentukan sistem pangan yang sesuai
dengan potensi sumber daya lokal.
Ini membutuhkan sebuah
lembaga pangan nasional yang tidak lagi mengurusi teknis produksi, yang sudah
dikelola Kementerian Pertanian, tetapi lebih pada aspek perencanaan konsumsi
pangan nasional.
Perbaikan dan
perubahan pola konsumsi pangan masyarakat harus menjadi salah satu tugas dan
fungsi lembaga pangan nasional.
Revolusi mental di
bidang pangan akan menyempurnakan visi-misi Jokowi-JK untuk membawa Indonesia
berdaulat pangan.
Revolusi ini patut
menjadi sebuah gerakan nasional dengan tetap menggunakan dasar dan konsep
Trisakti Bung Karno dengan tiga pilarnya, yakni ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri
secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar