Sabtu, 06 September 2014

Revolusi Pangan

Revolusi Pangan

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
KOMPAS, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

IRONIS kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Secara ekonomi Indonesia seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti (Joko Widodo, presiden RI terpilih 2014-2019).
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat hasil Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014- 2019. Maka, masyarakat pun berharap pemerintahan baru yang akan dinakhodai Jokowi segera bekerja meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saat kampanye, mereka memang berjanji akan menempatkan sektor pertanian sebagai arus utama kebijakan pembangunan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.

Pembangunan pertanian berbasis agrobisnis kerakyatan diyakini sebagai bagian dari revolusi mental yang mampu membawa Indonesia berdaulat atas pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Revolusi mental yang digemakan Jokowi memang menjadi topik menarik dalam diskursus publik.

Revolusi mental diposisikan menjadi anak panah perubahan untuk mengusung paradigma baru dan budaya politik dalam menangani segala kebobrokan.
Permasalahan bernegara yang telah memiskinkan rakyat bersumber pada perilaku mental yang menyimpang dan tidak lagi merujuk pada norma-norma ke-Indonesia-an yang berbasis budi pekerti.

Korupsi dan suap merajalela, bahkan setelah reformasi bergulir 16 tahun. Kuatnya praktik politik uang dalam perdagangan pangan, misalnya, khususnya terkait impor, telah mengabaikan peran pangan Nusantara dan meminggirkan petani lokal.

Politik pangan nasional disetir oleh para pemburu rente (rent seeking) yang sarat dengan permainan fulus. Ketika petani gagal panen, pemerintah berteriak untuk segera membuka keran impor pangan, seakan mensyukuri terjadinya gagal panen.
Pemerintah telah mengadopsi kebijakan pangan nasional yang sangat pro pasar bebas. Kebijakan ini mendorong penghapusan dan pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditas pangan yang menjadi bahan pokok dan strategis, seperti beras, terigu, gula, jagung, daging sapi, dan kedelai.

Meski harga berbagai bahan pangan meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir, kenyataannya tidak membawa keuntungan bagi petani lokal. Ini membuktikan pemerintah secara sistematis dan terstruktur telah memiskinkan petani, kekuatan utama kedaulatan pangan nasional.

Proses pemiskinan petani ini berhulu dari pola dan struktur pertanian dan ketahanan pangan yang masih menempatkan pertanian kapitalistik dan spekulan (mafia) pangan pada puncak piramida.

Meski jumlahnya hanya sekitar 500.000 orang, mereka menjadi pemain agrobisnis utama yang menguasai perdagangan pangan, benih, pupuk, alat, dan mesin pertanian. Mereka mendapatkan akses dan fasilitas dari pemerintah.

Sementara itu, dasar piramida tersusun atas 35 juta keluarga petani kecil atau sekitar 100 juta jiwa tertekan ke bawah dan menyebabkan 4,77 juta rumah tangga petani gurem tercerabut dari lahan miliknya (BPS, 2013).

Tiga langkah

Masih dominannya permainan pemilik modal dalam pembangunan ketahanan pangan harus menyadarkan pemerintahan baru bahwa pekerjaan rumah di sektor pangan masih menumpuk.

Ketergantungan pada impor dan rapuhnya (decay) kedaulatan pangan merupakan buah ketidakseriusan membangun sektor pertanian. Mentransformasi sektor pertanian, termasuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian, menjadi kewajiban presiden terpilih.

Untuk itu paling tidak tiga langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan, yakni pertama, mendorong peningkatan konsumsi pangan lokal.

Perubahan ini merupakan bentuk revolusi mental di bidang penganekaan konsumsi pangan untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan yang tinggi pada konsumsi beras dan mengurangi ketagihan konsumsi pada produk pangan berbasis gandum yang jelas-jelas impor.

Kita perlu belajar dari negara kaya, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka bangga menggunakan produk lokal, seperti ponsel dan mobil buatan sendiri, tanpa terpengaruh produk bangsa lain yang lebih canggih.

Kedua, keluar dari perangkap pangan impor. Perangkap yang dimainkan negara maju lewat praktik liberalisasi pangan telah memunculkan beragam kartel pangan baru yang mirip mafia: menguasai distribusi dan perdagangan pangan.
Untuk menghentikannya, pemerintahan Jokowi-JK harus membatasi mekanisme distribusi pangan melalui korporasi kapitalistik dan menggantinya dengan koperasi berbasis kerakyatan.

Ketiga, memperkuat kelembagaan pangan nasional. Kedaulatan pangan yang dimaknai sebagai hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Ini membutuhkan sebuah lembaga pangan nasional yang tidak lagi mengurusi teknis produksi, yang sudah dikelola Kementerian Pertanian, tetapi lebih pada aspek perencanaan konsumsi pangan nasional.

Perbaikan dan perubahan pola konsumsi pangan masyarakat harus menjadi salah satu tugas dan fungsi lembaga pangan nasional.

Revolusi mental di bidang pangan akan menyempurnakan visi-misi Jokowi-JK untuk membawa Indonesia berdaulat pangan.

Revolusi ini patut menjadi sebuah gerakan nasional dengan tetap menggunakan dasar dan konsep Trisakti Bung Karno dengan tiga pilarnya, yakni ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar