Senin, 22 September 2014

Tol

Tol

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 20 September 2014


                                                                                                                       
                                                      

Sebenarnya saya masih merasa kurang enak. Merasa meninggalkan begitu saja. Tanpa farewell party, tanpa kenangan yang terkomunikasikan, tanpa suasana melo. Ya, yang saya bicarakan ini mengenai jalan tol, yang dua kali saya ulas di rubrik ini. Jalan tol yang melintas di daerah Ulujami, Jakarta Selatan. Yang ketika dalam proses pembuatannya melibatkan banyak orang di luar para pekerja. Mereka yang datang pagi-sore untuk berolah raga di tengah jalan, menaikkan layang-layang, mengenali penjual makanan di antara deru alat-alat berat. Mengenali sudut-sudut, yang diam-diam kita pipis tanpa tolah-toleh karena merasa aman. Lalu menjelang Lebaran diresmikan, dan saya tak mengenali lagi.

Kalaupun saya kenali hanya suara kendaraan berlalu, di beton memanjang yang memotong jalan Cipulir, menekuk Jalan M Saidi. Juga daerah sekitarnya yang dulu bisa dilihat dengan jalan kaki. Kalaupun dikenali itu dengan sulit karena petunjuk jalan banyak, dan tak bisa dibaca sambil berkendara. Keadaan jauh berbeda. Tak ada orang-orang yang dulu untuk beberapa saat selalu bersama. Benar juga lirik puisi terkenal, ke mana perginya tukang batu ketika bangunan berdiri. Gumam itu pun terasa fals karena tak tergema. Juga tak tersisa. Bahkan, lebih dari itu semua, tak bersua. Tak bertemu lagi mereka yang penduduk rumahan, yang membuka warung minum, atau tempat istirahat, atau pangkalan ngobrol.

Tol yang sepotong itu mengubah banyak hal. Banyak sekali. Tol itu meninggalkan hal-hal yang dinamis lainnya. Tiba-tiba harga tanah daerah yang dilewati menjadi sangat mahal. Sekurangnya pajak untuk bumi dan bangunan melonjak. Pada saat yang sama - sebenarnya sudah lama dimulai, karena mengetahui informasi - muncul pagar-pagar darurat dengan tempelan gambaran dan pemberitahuan: bakal dibangun perumahan atau apartemen. Dengan nama yang berkaitan nama tempat sebelumnya dan tambahan: lima menit dari tol.

Dan beberapa tempat dipasang tulisan: dijual, hubungi (nomor-nomor, juga nama). Kadang, ada juga variasinya: tanah ini sudah terjual. Seakan masih ada yang menanyakan dan mencegah itu dipasang pengumuman. Dan harga kontrakan per kamar pun berbeda.

Dinamika yang lain yang menyertai, entah kesan atau memang sebenarnya seperti itu, jalan sekitar tak lagi moacet seperti sebelumnya. Bahkan, pada pagi hari pun masih ada gerakan - dari kategori sebelumnya “nyaris tak bergerak”. Selebihnya macetnya bukan “macet horor”. Hanya pada perempatan tertentu - yang tak lagi menjadi perempatan karena jalannya tertutup, tak dijumpai penjual koran di pinggir jalan.

Saya merasa kurang enak dulu itu berpisah begitu saja. Padahal kalau saat itu hubungan baik, saya bisa bercerita apa yang terjadi sekarang ini. Bahwa sebenarnya bukan hanya jalan yang dibangun, melainkan banyak hal terbangunkan. Banyak hal tak terduga bisa terjadi. Tibatiba di bawah jalan tol itu ada bagian ruang yang lapang, mewah, untuk parkir ojek. Bahwa jalan di keluar dari jalan yang megah itu ternyata lampu lalu lintas masih sering mati. Bahwa pengaturan jalan yang melibatkan “pak ogah”, makin menjadi-jadi. Bahwa tangga naik jembatan penyeberangan menjadi tempat pacaran anak remaja. Bahwa jarak tempuh yang pendek bisa bercukai mahal.

Sebaliknya jarak tempuh yang lebih jauh, ternyata lebih murah. Bahwa tiba-tiba ada perhitungan lain yang membenarkan untuk melewati jalan tol walau pendek jaraknya, tapi mahal harganya. Karena menempuh jalan lain, terkena macet, menghabiskan bensin, menyisakan kekesalan, dan lain sebagainya, dan seterusnya. Bahwa banyak putaran dan panjang untuk nama jalan yang sama.

Saya sebenarnya ingin bercerita pada jalan tol yang dulu begitu akrab. Tapi kini, tak tahu ke bagian yang mana saya bercerita. Juga tak tahu apakah lebih banyak untungnya, atau lebih banyak ruginya, atau lebih repot, atau lebih praktis.

Barangkali perbandingan itu juga tak perlu. Saya tak bisa berada dalam suasana seperti sebelum jalan tol itu tercipta. Jalan tol tak mengenal masa lalu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar