Tol
|
Sebenarnya saya masih merasa kurang enak.
Merasa meninggalkan begitu saja. Tanpa farewell
party, tanpa kenangan yang terkomunikasikan, tanpa suasana melo. Ya, yang saya bicarakan ini
mengenai jalan tol, yang dua kali saya ulas di rubrik ini. Jalan tol yang
melintas di daerah Ulujami, Jakarta Selatan. Yang ketika dalam proses
pembuatannya melibatkan banyak orang di luar para pekerja. Mereka yang datang
pagi-sore untuk berolah raga di tengah jalan, menaikkan layang-layang,
mengenali penjual makanan di antara deru alat-alat berat. Mengenali sudut-sudut,
yang diam-diam kita pipis tanpa
tolah-toleh karena merasa aman. Lalu menjelang Lebaran diresmikan, dan saya
tak mengenali lagi.
Kalaupun saya kenali hanya suara kendaraan
berlalu, di beton memanjang yang memotong jalan Cipulir, menekuk Jalan M
Saidi. Juga daerah sekitarnya yang dulu bisa dilihat dengan jalan kaki.
Kalaupun dikenali itu dengan sulit karena petunjuk jalan banyak, dan tak bisa
dibaca sambil berkendara. Keadaan jauh berbeda. Tak ada orang-orang yang dulu
untuk beberapa saat selalu bersama. Benar juga lirik puisi terkenal, ke mana
perginya tukang batu ketika bangunan berdiri. Gumam itu pun terasa
fals karena tak tergema. Juga tak tersisa. Bahkan, lebih dari itu semua, tak
bersua. Tak bertemu lagi mereka yang penduduk rumahan, yang membuka warung
minum, atau tempat istirahat, atau pangkalan ngobrol.
Tol yang sepotong itu mengubah banyak hal.
Banyak sekali. Tol itu meninggalkan hal-hal yang dinamis lainnya. Tiba-tiba
harga tanah daerah yang dilewati menjadi sangat mahal. Sekurangnya pajak
untuk bumi dan bangunan melonjak. Pada saat yang sama - sebenarnya sudah lama
dimulai, karena mengetahui informasi - muncul pagar-pagar darurat dengan
tempelan gambaran dan pemberitahuan: bakal dibangun perumahan atau apartemen.
Dengan nama yang berkaitan nama tempat sebelumnya dan tambahan: lima menit
dari tol.
Dan beberapa tempat dipasang tulisan:
dijual, hubungi (nomor-nomor, juga nama). Kadang, ada juga variasinya: tanah
ini sudah terjual. Seakan masih ada yang menanyakan dan mencegah itu dipasang
pengumuman. Dan harga kontrakan per kamar pun berbeda.
Dinamika yang lain yang menyertai, entah
kesan atau memang sebenarnya seperti itu, jalan sekitar tak lagi moacet
seperti sebelumnya. Bahkan, pada pagi hari pun masih ada gerakan - dari
kategori sebelumnya “nyaris tak bergerak”. Selebihnya macetnya bukan “macet horor”.
Hanya pada perempatan tertentu - yang tak lagi menjadi perempatan karena
jalannya tertutup, tak dijumpai penjual koran di pinggir jalan.
Saya merasa kurang enak dulu itu berpisah
begitu saja. Padahal kalau saat itu hubungan baik, saya bisa bercerita apa
yang terjadi sekarang ini. Bahwa sebenarnya bukan hanya jalan yang dibangun,
melainkan banyak hal terbangunkan. Banyak hal tak terduga bisa terjadi.
Tibatiba di bawah jalan tol itu ada bagian ruang yang lapang, mewah, untuk
parkir ojek. Bahwa jalan di keluar dari jalan yang megah itu ternyata lampu
lalu lintas masih sering mati. Bahwa pengaturan jalan yang melibatkan “pak
ogah”, makin menjadi-jadi. Bahwa tangga naik jembatan penyeberangan menjadi
tempat pacaran anak remaja. Bahwa jarak tempuh yang pendek bisa bercukai
mahal.
Sebaliknya jarak tempuh yang lebih jauh,
ternyata lebih murah. Bahwa tiba-tiba ada perhitungan lain yang membenarkan
untuk melewati jalan tol walau pendek jaraknya, tapi mahal harganya. Karena
menempuh jalan lain, terkena macet, menghabiskan bensin, menyisakan
kekesalan, dan lain sebagainya, dan seterusnya. Bahwa banyak putaran dan
panjang untuk nama jalan yang sama.
Saya sebenarnya ingin bercerita pada jalan
tol yang dulu begitu akrab. Tapi kini, tak tahu ke bagian yang mana saya
bercerita. Juga tak tahu apakah lebih banyak untungnya, atau lebih banyak
ruginya, atau lebih repot, atau lebih praktis.
Barangkali perbandingan itu juga tak perlu.
Saya tak bisa berada dalam suasana seperti sebelum jalan tol itu tercipta.
Jalan tol tak mengenal masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar