Investasi
SDM
Amalia Sustikarini ;
Mahasiswa
Program Doktor University of Canterbury,
Selandia
Baru; Dosen UI
|
KORAN
JAKARTA, 20 September 2014
Dunia pendidikan Indonesia belakangan
diramaikan dengan berita seputar pengelolaan beasiswa Direktorat Pendidikan
Tinggi (Dikti). Banyak penerima beasiswa mengeluhkan kelambanan pencairan
dana untuk membayar uang kuliah (tuition
fee) ataupun biaya hidup (living
allowance). Beasiswa ini merupakan salah satu skema pembiayaan pendidikan
pascasarjana yang cukup banyak direspons para dosen.
Masalah administrasi yang terbuka ke publik
tersebut menyiratkan masih banyak yang harus dibenahi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, khususnya Ditjen Dikti. Ini tentu sebuah ironi karena
beasiswa untuk menunjang karier akademis para dosen yang berperan besar dalam
meningkatkan sumber daya manusia.
Tulisan ini tidak secara spesifik membahas
karut-marut masalah beasiswa dikti, tapi lebih luas tentang peran strategis
bantuan pendidikan dalam level nasional, internasional, dan cara Indonesia
bersikap.
Sektor pendidikan merupakan bentuk soft power (SP) terpenting suatu
negara. Joseph Nye (1990) mendefiniskan sebagai kekuatan negara “the ability to get what you want through
attraction rather than through coercion or payments.” Titik berat SP pada
kemampuan negara mendapat sesuatu tanpa mengandalkan ancaman.
Berbeda dengan hard power yang berbentuk
kapasitas ekonomi dan kekuatan militer, SP bersumber dari budaya,
nilai-nilai, dan kebijakan suatu negara. Beberapa negara
menginstitusionalisasikan SP lewat lembaga khusus guna mengembangkan dan
mempromosikan budaya serta pendidikan. Di Inggris, misalnya, program tersebut
ditangani The British Council.
Sementara di Prancis ada The Alliance
Française atau Japan Foundation
di Negeri Sakura.
Salah satu komponen dalam pelembagaan SP
ini adalah education aid, berupa pemberian beasiswa bagi para pelajar asing,
khususnya untuk tingkat pascasarjana (S2 atau S3) yang dikelola
lembaga-lembaga, seperti USAID (Amerika Serikat), DFID (Inggris), DAAD
(Jerman) Ausaid (Australia), NZAID (Selandia Baru), NUFFIC (Belanda), dan
CIDA (Kanada).
Lembaga
Lembaga tersebut ada yang ditangani
Kementerian Luar Negeri (Ausaid)
atau Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (NZAID). Sementara CIDA berada
di bawah Departemen Luar Negeri, Perdagangan, dan Pembangunan. Sektor
pendidikan juga menyumbang pemasukan penting negara-negara tesebut.
Tahun 2012 memperlihatkan sektor pendidikan
internasional Australia berada di tempat teratas penerimaaan ekspor sektor
jasa. Di Selandia Baru sektor ini berada di peringkat kelima penerimaan
negara, dengan kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Lalu, bagaimana posisi Indonesia? Negeri
ini sebenarnya juga merupakan salah satu negara tujuan para mahasiswa asing,
khususnya untuk bidang-bidang kedokteran, bahasa, dan budaya. Mereka datang
lewat beasiswa pemerintah Indonesia dan biaya pribadi. Tahun 2014, Kemdikbud
menyediakan 650 beasiswa darmasiswa untuk mahasiswa asing dari 70 negara.
Menurut Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama
Dirjen Dikti, setidaknya tercatat ada 8.000 mahasiswa asing belajar di
Indonesia. Jumlah ini masih jauh dibanding mahasiswa Indonesia di luar negeri
yang bisa mencapai sepuluh kali lipat. Tapi, dengan akselerasi skema kerja
sama regional seperti ASEAN Economic
Community, serta target beberapa universitas Indonesia untuk menjadi “World Class University,” maka jumlah
mahasiswa asing terus meningkat.
Sementara itu, pembiayaan mahasiswa
Indonesia ke luar negeri dilakukan beberapa instansi, seperti kemdikbud,
Kemenag, Kemkominfo, Kemenkeu, dan perusahaan-perusahaan.
Tidak tepat membandingkan pengelolaan
bantuan Indonesia dengan negara negara maju di level pendidikan tinggi. Sebab
untuk jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah pun, Ibu Pertiwi
masih tertinggal jauh. Namun, pendidikan tinggi harus menjadi perhatian lebih
besar lagi ke depan.
Diplomasi Indonesia yang semakin menguat di
tatanan internasional lewat ASEAN
Community, G20, atau Bali Democracy
Forum perlu diperkuat dengan SP pendidikan dan budaya ini. Apalagi,
negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan
Filipina cukup agresif mempromosikan pendidikan guna menarik mahasiswa
mancanegara.
Struktur lembaga education aid di negara-negara maju, kebanyakan berada di bawah
Kementerian Luar Negeri, Perdagangan, serta Pembangunan. Ini menyiratkan
bantuan pendidikan merupakan bagian dari skema Overseas Development Aid (ODA) penting serta tidak terlepas dari
unsur perdagangan. Pendidikan internasional dipandang penting bukan hanya
untuk menyumbang pendapatan negara, tetapi juga menjadikan para alumni
sebagai “ambassador”.
Alokasi education
aid harus mempertimbangkan fokus kerja sama bilateral dua negara dan
menjadi sarana cultivating leader.
Akhirnya, akan mendukung kepentingan negara pemberi beasiswa. Belum lagi
perputaran uang dari para international
student untuk keperluan perumahan, sehari-hari, serta pariwisata.
Maka “aid” sesungguhnya proses pertukaran
keuntungan. Idealnya terjadi secara mutual antara negara pemberi dan penerima
educational aid. Di sinilah sebenarnya
fungsi strategis pemberian beasiswa pemerintah Indonesia untuk warga sendiri.
Indonesia akan mendapat profesional dari institusi pendidikan kelas dunia
dalam berbagai bidang.
Kasus beasiswa dikti ini dapat dijadikan
pelajaran pengelolaan education aid
yang lebih baik lagi. Langkah Kementerian Keuangan lewat Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan merupakan terobosan penting. Pengelolaan beasiswa relatif
lebih baik dengan jangkauan luas. Ke depan, perlu dipertimbangkan pendirian
lembaga education aid yang dikelola
secara profesional seperti negara-negara maju. Fasilitasi seleksi dan
beasiswa mahasiswa asing dan Indonesia yang ingin melanjutkan studi di luar
negeri.
Lembaga ini dapat juga mengelola dana CSR
perusahaan atau yayasan. Sudah waktunya Indonesia membenahi sektor pendidikan
tinggi dengan perlakuan profesional demi salah satu investasi penting sumber
daya manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar