Tiga
Aspek Jero Wacik
Asvi Warman Adam ;
Sejarawan
LIPI
|
TEMPO,
10 September 2014
Setelah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa
waktu kemudian Jero Wacik mengundurkan diri sebagai Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral. Hal serupa sudah dicontohkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng yang kebetulan juga sama-sama dari Partai Demokrat.
Selain
pengunduran diri dari jabatan di kabinet, Jero Wacik seyogianya melepas
Bintang Mahaputra Adipradana yang pernah dianugerahkan kepadanya pada 2013.
Bintang kehormatan itu diberikan atas jasa besarnya dan dengan tambahan
beberapa kriteria lain, di antaranya berkelakuan baik serta memiliki
integritas moral dan keteladanan. Padahal, mereka yang ditetapkan tersangka
oleh KPK tak akan dinyatakan bebas murni, dan dijatuhi hukuman pidana. Para
tersangka korupsi tidak layak memegang bintang kehormatan tersebut.
Berbeda
dengan gelar pahlawan nasional yang tidak bisa dicabut, bintang kehormatan
dapat dicopot. Mereka yang memperoleh bintang mahaputra mempunyai hak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sangat ironis bila pada TMP
Kalibata terdapat kuburan koruptor yang bersanding dengan para founding fathers dan tokoh berjasa
lainnya. Pengalaman selama ini sudah pernah ada pencabutan bintang mahaputra
seperti yang dilakukan MPRS terhadap Ketua PKI D.N. Aidit pada 1966. Jadi,
seyogianya sekarang Presiden SBY mencabut bintang mahaputra yang dimiliki
Jero Wacik (juga Suryadharma Ali) tanpa menunggu hal itu dilakukan presiden
berikutnya.
Jero
menjadi tersangka korupsi yang dilakukan dalam rangka meningkatkan uang
operasional menteri. Jumlahnya mencapai Rp 9,9 miliar. Jero baru menjabat
Menteri ESDM. Sebelumnya ia pernah menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Pertanyaannya, apakah kecurangan ini juga sudah pernah dilakukan pada
kementerian terdahulu? Tentu KPK harus mencari bukti-bukti tambahan karena
selentingan negatif tersebut pernah beredar di kalangan pejabat kementerian
tersebut.
Jero
Wacik lahir di Singaraja pada 24 April 1949. Dikenal sebagai anak istimewa di
sekolah, ia menjadi mahasiswa teknik mesin ITB pada 1970. Setelah 23 tahun
bekerja di perusahaan konglomerasi, seperti United Tractor dan perusahaan
besar lainnya, ia membuka usaha sendiri pada bidang pariwisata. Pada era
reformasi, ia terjun ke dunia politik melalui Partai Demokrat. Tidak berhasil
dalam pemilihan legislatif di Bali, ia justru diangkat sebagai menteri oleh
Presiden SBY. Pada saat hampir bersamaan, ia juga memimpin Persatuan Golf
Indonesia yang secara berkala mengadakan turnamen golf dengan hadiah tertentu
bagi pemenangnya.
Ekonom
Dr Sjahrir (almarhum) pernah melakukan studi tentang keekonomian lapangan
golf: apakah maraknya pembangunan lapangan golf itu menguntungkan ekonomi
nasional atau berdampak negatif terhadap lingkungan. Terlepas dari
kontroversi itu, lapangan golf merupakan tempat rawan bagi pejabat
pemerintah. Kalau sesama pengusaha bermain golf tidak masalah; mereka bisa menuai
kerja sama bisnis. Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi kongkalilong
pejabat dengan pengusaha. Belum lagi, kedi
yang bisa menjadi godaan, seperti pada kasus Ketua KPK Antasari Azhar. Jadi,
berhati-hatilah para pejabat negara bila berada di lapangan golf. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar