Rakyat
Jangan Makin Miskin
Arfanda Siregar ;
Seorang
Dosen, Lulusan Pascasarjana UGM,
Kandidat Doktor Ilmu Manajemen Czech University Ceko
|
KORAN
JAKARTA, 10 September 2014
Jika
Fraksi PDI Perjuangan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kelak memilih
opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), hal itu memperlihatkan selama
ini penolakan di parlemen atas proposal pemerintah yang mau menaikkan harga
BBM sekadar pencitraan. Betapa tidak, setiap kali pemerintah ingin menaikkan
harga BBM, selalu dituding tidak prorakyat.
Di
parlemen, PDIP selalu berteriak bahwa berapa pun kenaikan harga BBM, tetap
akan membuat rakyat sengsara sehingga tak pernah menyetujui apa pun
alasannya. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa harga BBM dalam negeri harus
dinaikkan karena Indonesia sudah menjadi negara net-importer beberapa tahun
belakangan. Kecuali itu, harga BBM dalam negeri dipatok jauh dari harga
internasional sehingga anggaran negara bolak-balik jeblok guna menutupi
ledakan konsumsi BBM rakyat. Rasanya, ini pula dasar yang akan digunakan
rezim baru. Produksi BBM Indonesia saat ini 830 ribu barel per hari dan
kapasitas yang dapat diolah hanya 650 ribu barel per hari.
Sementara
itu, kapasitas kilang hanya 1,1 juta barel setiap hari. Seandainya
pertumbuhan ekonomi Indonesia 6 persen per tahun, serta angka pertumbuhan
penduduk 1 persen atau 3 juta per tahun, setiap tahun Indonesia membutuhkan
tambahan kuota BBM sebanyak 8 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai
1,4 juta barel per hari.
Itulah
alasan pemerintah mengimpor 500 ribu barel guna memenuhi kebutuhan energi
nasional. Rezim baru seharusnya memiliki solusi berbeda. Kalau sekadar
copypaste, mestinya bisa dari dulu mendukung kenaikan harga BBM. Kebijakan
menaikkan harga BBM harus disertai antisipasi dampaknya bagi rakyat. Apalagi
hasil dari penelitian Lembaga Survei Indonesia pada bulan Juli menyatakan
bahwa 70 persen lebih responden menolak kenaikan harga BBM. Jelas, di negeri
ini rakyat pasti menolak kenaikan harga BBM, apa pun alasannya.
Memang
benar bahwa harga BBM di Indonesia tergolong murah di dunia. Tetapi, bukan
berarti tak ada negara yang menjual BBM kepada rakyatnya lebih murah dari
Indonesia. Iran, Venezuela, Brunei Darussalam, dan Malaysia tergolong
membanderol murah harga premium bagi rakyatnya. Negara yang menghargai BBM di
atas Indonesia pun tak kalah banyak. Negara maju, seperti Amerika Serikat,
Inggris, Belanda, dan Singapura, menetapkan harga BBM jauh lebih mahal dari
harga lokal sini. Tetapi, perlu diingat bahwa harga BBM yang mahal diiringi
dengan pemberian jaminan kehidupan layak bagi rakyatnya sehingga harga BBM
mahal tak membuat warga pusing.
Singapura,
misalnya, harga premium seliter di negara tersebut memang mahal, yaitu 16.546
rupiah. Namun, dari segi pendapatan, rata-rata per kapita di Singapura
tertinggi di dunia, sebesar 601,32 juta per tahun. Di samping itu, warga yang
ingin memiliki rumah cukup mengeluarkan uang sekitar 150 dollar per bulan
untuk mengangsur rumah subsidi senilai antara 150 ribu hingga 400 ribu dollar
Singapura. Setelah lunas, rumah menjadi milik pribadi. Warga negara Singapura
juga berhak atas subsidi pendidikan, kesehatan yang sangat besar, serta
stabilitas harga bahan pokoknya. Jadi, meskipun harga premium sangat mahal,
tak memengaruhi keadaan finansial warga.
Di
Belanda, harga bensin seliter 2,38 dollar AS atau setara dengan 27.870 rupiah
per liter. Namun, rata-rata rumah tangga memperoleh pendapatan bersih tahunan
mencapai 25.493 dollar AS lebih dari standar OECD yang mematok minimal
rata-rata 23.047 dollar AS per tahun. Seorang pengangguran diberi subsidi
minimal 800 euro per bulan. Seseorang yang baru lulus S-1 dan bekerja paling
tidak mendapat gaji 1.300 euro. Di negeri Kincir Angin tersebut, harga BBM
yang tinggi tak membuat rakyat merana, apalagi pusing tujuh keliling.
Sangat
kontras dengan Indonesia. Harga premium yang sebenarnya tergolong murah di
dunia tetap saja membuat rakyat pailit. Masalahnya, pendapatan rata-rata
orang Indonesia hanya 36,5 juta rupiah pada tahun 2013. Itu pun terdapat 50
juta orang yang berpendapatan di bawah 20 juta rupiah, dan 28,8 juta orang
yang berpenghasilan 355.000 rupiah sebulan.
Di
samping itu, akses mendapatkan pendidikan murah, kesehatan gratis, dan bantuan
modal bagi usaha kecil tergolong sulit.
Tidak Keberatan
Bagaimanapun,
kenaikan harga BBM pasti diikuti peningkatan biaya transportasi. Selain itu,
efek berantainya bakal menjalar ke sektor-sektor lain. Secara ekonomi,
kenaikan tersebut akan mengakibatkan peningkatan harga barang dan jasa
(inflasi). Kenaikan harga BBM bakal memicu inflasi yang tecermin dari
pertambahan harga komponen kebutuhan pokok masyarakat berupa barang dan jasa.
Kalau
sudah demikian, rakyat jugalah yang paling merasakan “getir” dampak kenaikan
harga BBM. Jika memang akhirnya pemerintah baru tak punya solusi lain dan
terpaksa menaikkan harga BBM, konsekuensinya kehidupan rakyat, terutama kaum
miskin, harus dijamin tak tambah melarat. Pengurangan subsidi BBM harus
diiringi kompensasi bagi rakyat berpendapatan rendah agar kenaikan hargaharga
kebutuhan lain tidak semakin membebani.
Dengan
kata lain, peningkatan harga BBM tidak membuat masalah baru masyarakat.
Paling tidak, pemerintah memiliki antisipasi adil bagi rakyat. Pada dasarnya,
masyarakat tidak keberatan harga BBM dinaikkan, asal disertai program
menyejahterakan rakyat setara negara yang membanderol tinggi harga BBM.
Pengawasan yang baik juga merupakan syarat wajib pelaksanaan kompensasi
penghapusan subsidi harga BBM. Dengan begitu, pengalihan subsidi untuk rakyat
kecil benar-benar tepat sasaran dan sampai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar