Kamis, 11 September 2014

Rakyat Jangan Makin Miskin

Rakyat Jangan Makin Miskin

Arfanda Siregar  ;   Seorang Dosen, Lulusan Pascasarjana UGM,
Kandidat Doktor Ilmu Manajemen Czech University Ceko
KORAN JAKARTA, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Jika Fraksi PDI Perjuangan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kelak memilih opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), hal itu memperlihatkan selama ini penolakan di parlemen atas proposal pemerintah yang mau menaikkan harga BBM sekadar pencitraan. Betapa tidak, setiap kali pemerintah ingin menaikkan harga BBM, selalu dituding tidak prorakyat.

Di parlemen, PDIP selalu berteriak bahwa berapa pun kenaikan harga BBM, tetap akan membuat rakyat sengsara sehingga tak pernah menyetujui apa pun alasannya. Para ahli ekonomi menyatakan bahwa harga BBM dalam negeri harus dinaikkan karena Indonesia sudah menjadi negara net-importer beberapa tahun belakangan. Kecuali itu, harga BBM dalam negeri dipatok jauh dari harga internasional sehingga anggaran negara bolak-balik jeblok guna menutupi ledakan konsumsi BBM rakyat. Rasanya, ini pula dasar yang akan digunakan rezim baru. Produksi BBM Indonesia saat ini 830 ribu barel per hari dan kapasitas yang dapat diolah hanya 650 ribu barel per hari.

Sementara itu, kapasitas kilang hanya 1,1 juta barel setiap hari. Seandainya pertumbuhan ekonomi Indonesia 6 persen per tahun, serta angka pertumbuhan penduduk 1 persen atau 3 juta per tahun, setiap tahun Indonesia membutuhkan tambahan kuota BBM sebanyak 8 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 1,4 juta barel per hari.

Itulah alasan pemerintah mengimpor 500 ribu barel guna memenuhi kebutuhan energi nasional. Rezim baru seharusnya memiliki solusi berbeda. Kalau sekadar copypaste, mestinya bisa dari dulu mendukung kenaikan harga BBM. Kebijakan menaikkan harga BBM harus disertai antisipasi dampaknya bagi rakyat. Apalagi hasil dari penelitian Lembaga Survei Indonesia pada bulan Juli menyatakan bahwa 70 persen lebih responden menolak kenaikan harga BBM. Jelas, di negeri ini rakyat pasti menolak kenaikan harga BBM, apa pun alasannya.

Memang benar bahwa harga BBM di Indonesia tergolong murah di dunia. Tetapi, bukan berarti tak ada negara yang menjual BBM kepada rakyatnya lebih murah dari Indonesia. Iran, Venezuela, Brunei Darussalam, dan Malaysia tergolong membanderol murah harga premium bagi rakyatnya. Negara yang menghargai BBM di atas Indonesia pun tak kalah banyak. Negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Singapura, menetapkan harga BBM jauh lebih mahal dari harga lokal sini. Tetapi, perlu diingat bahwa harga BBM yang mahal diiringi dengan pemberian jaminan kehidupan layak bagi rakyatnya sehingga harga BBM mahal tak membuat warga pusing.

Singapura, misalnya, harga premium seliter di negara tersebut memang mahal, yaitu 16.546 rupiah. Namun, dari segi pendapatan, rata-rata per kapita di Singapura tertinggi di dunia, sebesar 601,32 juta per tahun. Di samping itu, warga yang ingin memiliki rumah cukup mengeluarkan uang sekitar 150 dollar per bulan untuk mengangsur rumah subsidi senilai antara 150 ribu hingga 400 ribu dollar Singapura. Setelah lunas, rumah menjadi milik pribadi. Warga negara Singapura juga berhak atas subsidi pendidikan, kesehatan yang sangat besar, serta stabilitas harga bahan pokoknya. Jadi, meskipun harga premium sangat mahal, tak memengaruhi keadaan finansial warga.

Di Belanda, harga bensin seliter 2,38 dollar AS atau setara dengan 27.870 rupiah per liter. Namun, rata-rata rumah tangga memperoleh pendapatan bersih tahunan mencapai 25.493 dollar AS lebih dari standar OECD yang mematok minimal rata-rata 23.047 dollar AS per tahun. Seorang pengangguran diberi subsidi minimal 800 euro per bulan. Seseorang yang baru lulus S-1 dan bekerja paling tidak mendapat gaji 1.300 euro. Di negeri Kincir Angin tersebut, harga BBM yang tinggi tak membuat rakyat merana, apalagi pusing tujuh keliling.

Sangat kontras dengan Indonesia. Harga premium yang sebenarnya tergolong murah di dunia tetap saja membuat rakyat pailit. Masalahnya, pendapatan rata-rata orang Indonesia hanya 36,5 juta rupiah pada tahun 2013. Itu pun terdapat 50 juta orang yang berpendapatan di bawah 20 juta rupiah, dan 28,8 juta orang yang berpenghasilan 355.000 rupiah sebulan.

Di samping itu, akses mendapatkan pendidikan murah, kesehatan gratis, dan bantuan modal bagi usaha kecil tergolong sulit.

Tidak Keberatan

Bagaimanapun, kenaikan harga BBM pasti diikuti peningkatan biaya transportasi. Selain itu, efek berantainya bakal menjalar ke sektor-sektor lain. Secara ekonomi, kenaikan tersebut akan mengakibatkan peningkatan harga barang dan jasa (inflasi). Kenaikan harga BBM bakal memicu inflasi yang tecermin dari pertambahan harga komponen kebutuhan pokok masyarakat berupa barang dan jasa.

Kalau sudah demikian, rakyat jugalah yang paling merasakan “getir” dampak kenaikan harga BBM. Jika memang akhirnya pemerintah baru tak punya solusi lain dan terpaksa menaikkan harga BBM, konsekuensinya kehidupan rakyat, terutama kaum miskin, harus dijamin tak tambah melarat. Pengurangan subsidi BBM harus diiringi kompensasi bagi rakyat berpendapatan rendah agar kenaikan hargaharga kebutuhan lain tidak semakin membebani.

Dengan kata lain, peningkatan harga BBM tidak membuat masalah baru masyarakat. Paling tidak, pemerintah memiliki antisipasi adil bagi rakyat. Pada dasarnya, masyarakat tidak keberatan harga BBM dinaikkan, asal disertai program menyejahterakan rakyat setara negara yang membanderol tinggi harga BBM. Pengawasan yang baik juga merupakan syarat wajib pelaksanaan kompensasi penghapusan subsidi harga BBM. Dengan begitu, pengalihan subsidi untuk rakyat kecil benar-benar tepat sasaran dan sampai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar