Motif
RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah
Agung Baskoro ;
Analis
Politik Poltracking
|
TEMPO,
10 September 2014
Kontestasi
pemilihan umum presiden seusai putusan Mahkamah Konstitusi, yang memenangkan
pasangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ternyata
masih berlanjut. Bila sebelumnya domain persaingan berada di ranah eksekutif,
kini arena beralih ke ranah legislatif (parlemen).
Melalui
serangkaian manuver politik, Koalisi Merah Putih berhasil untuk sementara
merevisi MD3, kemudian mengusulkan pembentukan Pansus Pilpres, hingga yang
paling aktual terkait dengan pembahasan RUU Pilkada. Menurut rencana,
pilkada, dari tingkatan gubernur, wali kota, hingga bupati, akan dikembalikan
melalui DPRD, sebagaimana lazim terjadi pada masa Orde Baru. Pengembalian
wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah menjadi langkah mundur bagi
kemajuan dan perkembangan demokrasi di Tanah Air.
Aturan
itu jelas menabrak konstitusi yang meniscayakan kedaulatan berada di tangan
rakyat dengan mekanisme teknisnya melalui pemilihan umum secara langsung,
sekaligus menegaskan komitmen dan konsistensi publik untuk menguatkan sistem
presidensial di tingkat nasional (DPR, DPD, presiden-wakil presiden) dan
lokal (DPRD, gubernur, wali kota, dan bupati). Di sisi lain, rakyat kembali
menjadi korban. Bila dulu menjadi korban kecurangan dari oknum kepala daerah
melalui politik uang (money politics),
kini hak politik publik turut teramputasi. Apalagi konteks ini menguat di
tengah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai dan menguatnya
pengaruh figur.
Pada
saat yang bersamaan, bila argumen aturan pilkada langsung dianggap kurang
efisien, hal ini menjadi tidak relevan, karena pilkada akan dilakukan
serentak secara periodik mulai 2015, 2018, dan diproyeksikan secara
keseluruhan pada 2020. Justru, sebaliknya, inefisiensi hadir ketika para
calon kepala daerah yang akan maju dalam pilkada harus memastikan tiket
kemenangan dahulu melalui berbagai cara (baca: money politics) dan berikutnya menjadi sapi perahan para oknum
anggota-anggota DPRD ketika sudah terpilih.
Semangat
lahirnya UU Pilkada ini untuk meminimalkan dinasti politik dan memastikan
hadirnya merit system. Figur seperti Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta),
Basuki Purnama Tjahaja (Wakil Gubernur DKI Jakarta), dan sederet nama lainnya
membuktikan bahwa kemajuan sebuah wilayah, selain ditentukan soal dominasi (winner takes all), harus pula memenuhi
aspek kompetensi dan integritas pribadi (track
record), aspirasi publik, serta representasi politik.
Terakhir,
kerawanan sosial yang selama ini dikhawatirkan menjadi efek pilkada langsung
menjadi perdebatan karena, dalam prosesnya, penyelenggaraan semakin membaik
dan ini tak sebanding dengan efek yang bisa ditimbulkan dari terpilihnya
seorang kepala daerah yang tak sesuai dengan track record, aspirasi publik, dan representasi politik. Jangan
sampai, demi ongkos politik, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi
taruhannya.
Sulit
untuk tidak mengaitkan realitas politik dalam pembahasan RUU Pilkada dengan
kontestasi pada pilpres kemarin. Apalagi beberapa partai, seperti Gerindra,
Golkar, dan PAN, sejak awal mengusung ide pilkada langsung. Dan, yang
menarik, pemerintah sebagai pihak yang mengusulkan telah pula mengakomodasi
mayoritas dukungan fraksi-fraksi (PDIP, Golkar, Hanura, PAN, Gerindra, dan
PKS) yang menginginkan pilkada langsung. Pada titik inilah, kekhawatiran
sejumlah pihak bahwa RUU ini dijadikan alat untuk meningkatkan bargaining
position politik partai-partai tertentu menjadi kontekstual.
Dalam
kondisi seperti ini, akhirnya tak tertutup peluang Jalan Tengah sebagaimana
berhasil dilakukan Golkar, saat mengajukan opsi formula Pasal 7 ayat 6a,
terkait dengan diskresi pada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM
bersubsidi jika harga rata-rata minyak mentah mengalami kenaikan atau
penurunan lebih dari 15 persen dalam kurun
enam bulan pada 2012. Walaupun, sebaiknya pengesahan undang-undang ini
ditunda, dengan tetap dimasukkan dalam prioritas Prolegnas 2014-2019. Hal ini
diperlukan agar seluruh skenario yang disampaikan oleh Koalisi Merah Putih
plus Demokrat memiliki basis argumentasi yang kuat (baca: naskah akademik)
saat menghendaki pilkada tidak langsung.
Bila
ini tetap dipaksakan untuk disahkan, menjadi rawan untuk kembali dibawa ke
sidang MK, sebagaimana revisi UU MD3 yang prosesnya sedang bergulir. Artinya,
keoposisian yang saat ini sedang dipraktekkan oleh Koalisi Merah Putih perlu
ditempatkan di atas kepentingan bangsa yang lebih luas, sehingga energi
publik tak habis oleh ingar-bingar politik tanpa batas. Sampai pada fase ini,
sebenarnya kondisi tersebut merupakan pertanda baik bahwa demokrasi kita
semakin terkonsolidasi, di mana ketika ia menjadi satu-satunya aturan main (the only game in town), dan ketika tak
seorang pun membayangkan bertindak di luar sistem demokrasi, ketika kelompok
yang kalah menggunakan aturan yang sama (demokrasi) untuk membalas
kekalahannya (Prezeworski, 1991:26).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar