Diskriminasi
terhadap Anak dengan HIV
Natasya Evalyne Sitorus ; Manajer
Advokasi dan Psikososial Lentera Anak Pelangi – Pusat Penelitan HIV Unika
Atma Jaya
|
KORAN
TEMPO, 04 September 2014
Mata
Nenek Arni berkaca-kaca. Perlakuan diskriminatif terhadap cucunya, Rahmat,
yang ditolak bersekolah karena berstatus HIV positif, selalu membuat ia
menangis. Padahal kejadian itu sudah enam tahun berlalu. "Nenek selalu
dihantui rasa bersalah karena menceritakan penyakit Rahmat waktu itu kepada
kepala sekolah. Sejak itu, Nenek sebisa mungkin merahasiakan status HIV-nya
kepada siapa pun," tuturnya.
Nenek
Arni tidak sendirian. Saya percaya ada banyak kasus diskriminasi lainnya di
lingkungan sekolah akibat status pengidap HIV. Ke depan, kasus semacam ini
bisa lebih banyak lagi karena orang dengan HIV positif terus meningkat. Saat
ini saja jumlah anak dengan HIV yang dilaporkan di Indonesia mencapai 3.408
orang, sedangkan jumlah orang dewasa dengan HIV positif adalah 134.042 orang
(Ditjen P2PL, 2014).
Perlakuan
diskriminatif itu niscaya justru membuat anak-anak dengan HIV dan keluarganya
kian sulit mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak. Mereka bahkan bisa
membahayakan orang-orang di sekitarnya tanpa disadari. Akibat trauma atas
perlakuan yang didapat Rahmat, misalnya, Nenek Arni menyembunyikan status HIV
cucunya, bahkan dari sang anak sendiri. Ia tidak pernah menceritakan status
HIV itu kepada Rahmat, yang sekarang sudah masuk SMP, dan cucu ketiganya,
Hafidz, 7 tahun, yang juga berstatus HIV positif.
Rahmat
dan Hafidz hanya tahu bahwa mereka harus minum obat 12 jam sekali, setiap
hari dan seumur hidup. Mereka tak tahu obat itu adalah anti-HIV. Yang mereka
ketahui, obat yang diminum itu adalah obat jantung, asma, anemia, atau bahkan
obat cantik.
Kepada
guru kelas Rahmat, Nenek Arni juga terpaksa berbohong, bahwa cucunya sakit
jantung sehingga pasti akan ada satu hari-Selasa atau Jumat setiap
bulan-ketika Rahmat harus izin tidak masuk sekolah untuk berobat ke rumah
sakit. Orang tua lainnya, dalam catatan kami, juga terpaksa melakukan hal
yang sama.
Ini
jelas tak boleh dibiarkan. Nenek Arni tidak pernah tahu sampai berapa lama ia
akan menutupi status HIV cucunya. Tapi ia tahu, dia dan cucunya belum siap
untuk tahu soal HIV. Mungkin tak akan pernah siap. Karena itu, negara harus
turun tangan membantu.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengamanatkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat
dan bakatnya. Prof dr Fasli Jalal, PhD-saat itu menjabat Wakil Menteri
Pendidikan Nasional-menyampaikan dalam film berjudul Berikan Kami Harapan, sebuah film dokumenter yang dibuat oleh
Lentera Anak Pelangi pada 2010, bahwa Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional menegaskan tidak boleh ada diskriminasi terhadap
setiap anak dalam mendapatkan hak-hak pendidikannya.
Sayangnya,
sikap pemerintah yang terang-benderang ini belum terimplementasi dengan baik
di sekolah, bahkan di sekolah yang tak jauh dari Ibu kota. Agaknya, upaya
penyuluhan serta advokasi tentang HIV kepada sekolah, guru, dan orang tua
murid belum cukup meresap. Lantas kapan kemerdekaan yang sesungguhnya bisa dirasakan
anak-anak dengan HIV? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar