Tangguh
Hadapi Bencana
Sri Mulyadi ; Wartawan
Suara Merdeka,
Anggota Wartawan Peduli Bencana
Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 23 September 2014
BERDASARKAN
Bab III Pasal 5 UU Nomor 24 Tahun 2007, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana (PB).
Namun dalam implementasinya selama ini, tanpa keterlibatan dunia usaha dan
masyarakat secara aktif, penanggulangan bencana (pra, tanggap darurat, dan
pascabencana), sulit dilakukan dengan baik.
Khusus
penanggulangan bencana oleh pemerintah daerah (provinsi, kota/kabupaten),
persoalan yang muncul lebih pada masalah kapasitas, yakni aspek pendanaan,
kompetensi personel, peralatan, dan kemampuan manajerial Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan kota/kabupaten. Jumlah personel rata-rata
masih terbatas, tak sebanding dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan
potensi ancaman bencana.
Keterbatasan
itu, di satu sisi bisa dipahami mengingat BPBD merupakan satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) yang relatif
muda. Rata-rata baru berusia 4-5 tahun, itu pun belum semua
kota/kabupaten membentuk. Kalaupun sudah membentuk, baru sebagian yang berdasar
hukum perda, sisanya berlandaskan surat keputusan (SK) wali kota/bupati.
Dengan
kenyataan itu, di satu sisi bisa dipahami jika pemda sering keponthal-ponthal
dalam penanggulangan bencana di daerahnya. Namun perlu disadari bahwa bencana
bersifat pasti, selalu ada dan mengancam tiap saat, kapan pun, di mana pun,
siapa pun korbannya. Bagaimanapun, tanpa terobosan atau inovasi dalam
penanggulangan bencana, masyarakat tentu belum secara maksimal mendapatkan
perlindungan dari ancaman bencana.
Persoalan di
BPBD yang juga dilematis adalah pengangkatan dan mutasi karyawan, termasuk
posisi kepala pelaksana harian. Pada era otda, BPBD merupakan SKPD pemda.
Otomatis, menyangkut jumlah, promosi, dan mutasi karyawan, sepenuhnya menjadi
wewenang kepala daerah. Dampaknya, hal itu kerap mengganggu kesinambungan
program kerja. Sering terjadi program belum dilaksanakan, pejabatnya sudah
berganti.
Demikian pula
berkait kompetensi atau pembekalan keterampilan. Misalnya, beberapa kepala
bidang, bahkan kepala pelaksana harian, telah diikutkan program manajemen
penanggulangan bencana, penanganan tanggap darurat, pembuatan rencana
kontijensi, renstra, renaksi, dan lainnya. Belum sampai diimplementasikan,
dia dipindahkan ke SKPD lain. Otomatis program itu bisa jadi ëísia-siaíí,
begitu seterusnya, sehingga seringkali BPBD kesulitan mendapatkan the right
man on the right place atau orang yang tepat di posisi pas.
Dengan
kenyataan itu, harapan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr Sutopo Purwo Nugroho bahwa kapasitas BPBD senantiasa
harus terus ditingkatkan seperti disampaikan dalam berbagai kesempatan, bisa
jadi tetap menghadapi kendala.
Mitigasi
Apakah
persoalan yang kompleks itu membuat kita menyerah? Tentu saja tidak karena
intinya visi dan misi BNPB ataupun BPBD adalah melindungi dan menyelamatkan
segenap warga negara dari ancaman bencana lewat filosofi penanggulangan
bencana. Yakni, menjauhkan masyarakat dari bencana. Menjauhkan bencana dari
masyarakat, dan hidup berdampingan secara harmonis dengan bencana, serta menjaga
kearifan lokal.
Dari tiga
filosofi tersebut, berdasarkan pantauan, khususnya di Jateng, masing-masing
masih sering menghadapi kendala. Misalnya langkah menjauhkan warga dari
bencana, baik lewat transmigrasi maupun relokasi. Meskipun mereka bermukim di
kawasan rawan bencana (KRB), bahkan terkena bencana, seperti warga lereng
Gunung Merapi yang tinggal dalam jarak kurang dari 5 km dari puncak, warga yang menempati
tanggul/bantaran sungai, daerah rawan longsor, bila diminta pindah ke tempat
aman, tak langsung menurut.
Sebagian besar
dari mereka memilih tetap tinggal di tanah kelahiran walaupun berisiko jadi
korban bencana. Meskipun ada fasilitas pendanaan dari BNPB (tiap KK diberi
tanah 100 m2 seharga Rp 7 juta, bangunan Rp 30 juta, fasilitas umum) atau pemda
sekali pun, hanya sebagian warga memanfaatkan.
Menjauhkan
ancaman bencana dari manusia, untuk lokasi tertentu bisa dilakukan dengan
pengurangan kawasan hijau untuk perumahan, menghentikan alih fungsi lahan,
reklamasi, pembangunan talud pantai pencegah rob dan abrasi, pengawasan serta
pencegahan pembakaran hutan, pembalakan liar, normalisasi sungai, dan
sebagainya. Namun itu juga belum mampu dilaksanakan secara baik. Sementara
ancaman yang bersifat laten seperti di kawasan longsor atau sekitar gunung berapi,
jelas tak mungkin bisa dilakukan.
Yang cocok
diterapkan di banyak lokasi di Indonesia, tampaknya hidup berdampingan dengan
bencana. Namun tentu bergantung kesadaran, komitmen, konsistensi, kesiapan,
serta ketangguhan warga dan pemangku kepentingan.
Salah satu
konsep hidup berdampingan secara serasi dengan bencana adalah dirintisnya
desa bersaudara (sister village) di
lereng Merapi, wilayah Kabupaten Magelang. Konsep ini kecuali sebagai bentuk
mitigasi, lebih ’’memanusiakan’’ pengungsi, juga cerminan tindakan: dari,
oleh, dan untuk rakyat. Pelakunya warga setempat, sementara pemda/BPBD dan
pihak terkait lain bertindak sebagai pendukung atau fasilitator.
Pada
prinsipnya usulan memasangkan antardesa di KRB III dengan desa penyangga
adalah usulan BPBD. Selanjutnya warga dipersilakan membuat kesepakatan
sendiri. Termasuk menyusun data desa. Hal ini untuk membantu perangkat desa
mengetahui kapasitas masing-masing desa sehingga sewaktu terjadi bencana
semua berjalan sebagaimana seharusnya, tanpa memunculkan masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar