Solusi
Berada di Tangan Rakyat
Sri Suwartiningsih ; Ketua
Prodi Hubungan Internasional Fiskom
Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 22 September 2014
“Kita tak bisa menutup mata bahwa transaksi
damai antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah lama jadi tontonan”
RAKYAT saat
ini menunggu keputusan berkait pengesahan RUU tentang Pilkada lewat sidang
paripurna DPR pada 25 September 2014. Rancangan regulasi itu merupakan revisi
atas UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda.
Sebelumnya, sejumlah pakar dan akademisi telah menghadirkan diskusi publik
melalui artikel pada harian ini (SM, 10, 11, 12, 15, dan 16/9/14).
Pilkada langsung
dengan hasil yang baik dapat dilaksanakan bila masyarakat benar-benar siap
menjadi pemilih yang cerdas dan profesional, bukan pemilih yang
materialistis, dalam arti hanya berpikir untuk jangka pendek dan pragmatis.
Pemilih yang materialistis dicirikan oleh adanya transaksi uang, barang, atau
jabatan.
Bila itu yang
terjadi, gubernur atau bupati/wali kota yang mereka pilih cenderung berusaha
mengembalikan modal yang dikeluarkan semasa berkampanye. Persoalannya, cara
yang mereka pilih untuk mengembalikan modal adalah cara yang tidak benar,
yakni korupsi dan derivatnya. Indikasi itu terlihat dari banyaknya kepala
daerah terjerat kasus hukum.
Pemilih
profesional akan menjatuhkan pilihan secara cerdas, dan yakin pilihannya itu
memenuhi kualifikasi. Mereka memahami tugas dan fungsi kepala daerah sehingga
hanya memilih figur yang diyakini bisa mengemban tugas dan fungsi itu.
Ikutannya, untuk bisa mendapat sebanyak-banyaknya suara, calon kepala daerah
tak perlu menyiapkan uang berlimpah tapi cukup argumentasi, sikap, dan
perilaku yang dapat menjawab harapan pemilih.
Sebaliknya,
pilkada tak langsung atau lewat demokrasi musyawarah mufakat sesuai dengan
sila ke-4 Pancasila pun bisa dilaksanakan dengan hasil baik bila anggota
DPRD benar-benar merepresentasikan
rakyat. Bagaimana ciri sebenar-benarnya representasi rakyat? Jawabnya, caleg
itu diusung oleh rakyat, baik secara independen maupun dari parpol.
Realitasnya, saat ini kita menjumpai banyak caleg instan.
Karena itu,
perlu sistem perekrutan untuk bisa menjaring kader berintegritas. Rakyat pun
harus cerdas memilih mengingat para legislator nantinya mengemban fungsi
legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Jadi, secara kognitif mereka harus
paham tentang hak dan kewajiban, secara afektif memiliki sikap kepemimpinan
dan kepelayanan kepada masyarakat, dan secara psikomotrik berperilaku jujur,
tegas, disiplin, dan bertanggung jawab.
Memang benar,
pilkada tak langsung atau lewat keterwakilan bisa menghemat biaya, namun hal
itu pun mensyaratkan jangan memindahkan praktik politik uang ke gedung DPRD.
Sangat rawan, andai anggota DPRD yang mewakili rakyat memilih kepala daerah
adalah wakil rakyat karbitan atau instan. Bila itu yang terjadi, bukan
mustahil transaksi berpindah ke rumah besar para wakil rakyat yang terhormat.
Kembali Dibohongi
Kita tak dapat
menutup mata bahwa transaksi secara damai antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif sudah lama menjadi tontonan. Beberapa kasus tidak terselesaikan
karena tiga lembaga yang seharusnya menegakkan kebenaran malah menebarkan
pembenaran berkait hal yang sebenarnya salah. Rakyat akhirnya hanya bisa
menunggu penghakiman dari Sang Maha Pencipta.
Kekhawatiran
dari pihak yang propilkada langsung sejatinya adalah andai DPRD yang
transaksional itu kembali diberi hak memilih, dan itu berarti rakyat untuk
kali kedua dibohongi. Vox populi, vox Dei; suara rakyat adalah suara Tuhan.
Adagium itu bukan hanya hiasan bibir mengingat negara demokrasi adalah negara
yang meletakkan dasar kedaulatannya di tangan rakyat.
Rakyat seperti
apa yang diharapkan supaya diskursus berkait pilkada langsung atau tidak
langsung bisa diselesaikan dengan baik?Jawabnya adalah rakyat yang bisa
menjadi pemilih cerdas dan bersih, serta mengawalinya dengan memilih wakil
mereka di lembaga legislatif. Sosok yang dipilih oleh rakyat yang cerdas dan
bersih pasti anggota DPRD yang lebih bersih dan lebih cerdas. Realitasnya,
anggota DPRD hasil Pileg 2014 adalah produk sistem pemilu proporsional dengan
suara terbanyak.
Secara ideal,
pilihan dari DPRD yang lebih bersih dan lebih cerdas pasti para gubernur atau
bupati/wali kota yang bersih dan bertanggung jawab. Sebaliknya, bila pilihan
langsung menjadi sebuah keniscayaan maka rakyat harus bersih dan cerdas lebih
dulu sehingga akan melahirkan pemimpin yang lebih bersih, cerdas, dan
bertanggung jawab.
Dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat akan terwujud guna lebih menyejahterakan rakyat
jika rakyat pun memiliki nilai, norma sekaligus keteladanan sebagai aktor
politik serta negarawan yang bersih, cerdas, dan bertanggung jawab.
Bertanggung
jawab kepada Sang Pencipta dan bertanggung jawab kepada sesama. Wahai rakyat
bersihkan hati, cerdaskan pikiran, dan kembangkan tanggung jawabmu untuk
negeri dan bangsamu dengan jujur dan tulus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar