Rabu, 24 September 2014

Konsep Ekonomi Zona Nyaman

Konsep Ekonomi Zona Nyaman

Ihwan Sudrajat ;   Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Ketika Presiden Jokowi memutuskan menaikkan harga BBM kita berharap kebijakan moneter ketat dilonggarkan”

FX Sugiyanto dalam artikel berjudul ’’Jebakan Suku Bunga Tinggi’’ (SM, 17/9/14) mempertanyakan kebijakan BI yang terus mempertahankan rezim suku bunga tinggi sehingga menghambat investasi dan aktivitas ekonomi riil. Hal itu pun menjadi pertanyaan banyak pengusaha. Efek kesuksesan penyelenggaraan pilpres termasuk penyelasaian sengketa di Mahkamah Konstitusi, belum banyak mengubah keadaan.

Dalam konteks lebih pragmatis, kebijakan BI saat ini ibarat mobil melaju namun jalan yang dilalui perekonomian nasional tersebut tidak mulus sehingga kecepatan kendaraan harus dikurangi. Artinya, pertumbuhan ekonomi perlu diperlambat supaya tidak terjadi overheating.

’’Jalan yang tidak mulus’’ terlihat dari nilai ekspor yang tidak mencapai target, nilai tukar rupiah yang belum stabil, dan tingkat inflasi yang relatif besar.

Tekanan terhadap inflasi juga akan membesar dalam 3 bulan ke depan karena 60% dari total belanja pemerintah terkonsentrasi pada periode tersebut sehingga permintaan terhadap barang dan jasa meningkat. Tekanan ini makin menguat jika Jokowi-JK benar-benar merealisasikan rencana menaikkan harga BBM setelah dilantik tanggal 20 Oktober mendatang.

Sebelum 2004, sewaktu Indonesia belum menjadi net imporer minyak, menjaga harga rendah BBM bukan halangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun sekarang, ketika kebutuhan terhadap BBM impor makin tinggi, kebijakan mempertahankan subsidi BBM makin menggerus APBN. hal itu berarti mengurangi kemampuan negara untuk membangun karena makin besar anggaran untuk mengejar kenaikan harga BBM impor yang terus meningkat diikuti peningkatan kebutuhan BBM bersubsidi.

Efek dari pengurangan, atau bahkan pencabutan subsidi BBM terhadap perekonomian, sangat luas. Dalam jangka pendek, kenaikan harga memang tidak direspons dengan turunnya permintaan BBM karena  permintaan terhadap komoditas itu bersifat tidak elastis. Namun, bagi barang-barang elastis pada harga, kerugian awal akibat kenaikan BBM akan ditanggung oleh produsen, marjin keuntungannya dan kemampuan memupuk modal pasti akan berkurang.

Naik Harga

Produsen akan memilih menaikkan harga untuk menjaga kelangsungan usaha, secara agregat permintaan barang-barang elastis akan menurun. Akibatnya, output secara keseluruhan menurun dan  pajak yang dibayar juga berkurang sehingga defisit APBN pasti meningkat. Pemerintah dipaksa oleh keadaan untuk meningkatkan upah riil yang terenggut karena inflasi. Praktis pada saat permintaan turun dan upah riil naik maka pengangguran dengan sendirinya meningkat.

Ada beberapa hal positif yang muncul bila subsidi BBM dicabut atau dikurangi, terutama jika sebagian besar dana subsidi diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur. Dalam jangka panjang, infrastruktur yang baik akan meningkatkan efisiensi transportasi dan mengurangi biaya distribusi. Jadi, produsen bisa mengatasi dampak negatif kenaikan harga BBM tanpa harus membebankan sepenuhnya kepada konsumen.

Berdasarkan evaluasi terhadap kenaikan harga BBM sejak 2003, ternyata efek kenaikan itu memperlambat laju pertumbuhan PDB pada 6 bulan pertama, namun 6 bulan berikutnya kembali pulih karena ada penguatan belanja pemerintah. Karena itu, kebijakan BI menjaga tingkat suku bunga tinggi hendaknya kembali dievaluasi bila ingin membantu presiden terpilih Jokowi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi.

Ketika Jokowi memutuskan menaikkan harga BBM maka kebijakan moneter ketat seyogianya dilonggarkan guna memperkuat sisi pasokan barang dan jasa. Dengan suku bunga lebih soft, modal yang ditawarkan menjadi lebih murah. Harga pokok produksi pun akan turun dan produsen bisa mengantisipasi dampak ganda kenaikan BBM secara efektif dengan menghasilkan lebih banyak barang dan jasa.

Konsep ekonomi zona nyaman tetap harus jadi fokus utama untuk menjaga pasar supaya tak terlalu bergejolak tapi juga tidak membuat dunia usaha frustrasi, apalagi kehilangan kepekaan bisnis. Saya yakin Jokowi memilih kebijakan yang terbaik meskipun mungkin pahit pada awalnya, namun secara subtansial kebijakannya bisa membuat ekonomi lebih kuat, tak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar