Konsep
Ekonomi Zona Nyaman
Ihwan Sudrajat ; Staf
Ahli Gubernur Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 23 September 2014
“Ketika Presiden Jokowi memutuskan menaikkan
harga BBM kita berharap kebijakan moneter ketat dilonggarkan”
FX Sugiyanto
dalam artikel berjudul ’’Jebakan Suku
Bunga Tinggi’’ (SM, 17/9/14)
mempertanyakan kebijakan BI yang terus mempertahankan rezim suku bunga tinggi
sehingga menghambat investasi dan aktivitas ekonomi riil. Hal itu pun menjadi
pertanyaan banyak pengusaha. Efek kesuksesan penyelenggaraan pilpres termasuk
penyelasaian sengketa di Mahkamah Konstitusi, belum banyak mengubah keadaan.
Dalam konteks
lebih pragmatis, kebijakan BI saat ini ibarat mobil melaju namun jalan yang
dilalui perekonomian nasional tersebut tidak mulus sehingga kecepatan
kendaraan harus dikurangi. Artinya, pertumbuhan ekonomi perlu diperlambat
supaya tidak terjadi overheating.
’’Jalan yang
tidak mulus’’ terlihat dari nilai ekspor yang tidak mencapai target, nilai
tukar rupiah yang belum stabil, dan tingkat inflasi yang relatif besar.
Tekanan
terhadap inflasi juga akan membesar dalam 3 bulan ke depan karena 60% dari
total belanja pemerintah terkonsentrasi pada periode tersebut sehingga
permintaan terhadap barang dan jasa meningkat. Tekanan ini makin menguat jika
Jokowi-JK benar-benar merealisasikan rencana menaikkan harga BBM setelah
dilantik tanggal 20 Oktober mendatang.
Sebelum 2004,
sewaktu Indonesia belum menjadi net imporer minyak, menjaga harga rendah BBM
bukan halangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun sekarang,
ketika kebutuhan terhadap BBM impor makin tinggi, kebijakan mempertahankan
subsidi BBM makin menggerus APBN. hal itu berarti mengurangi kemampuan negara
untuk membangun karena makin besar anggaran untuk mengejar kenaikan harga BBM
impor yang terus meningkat diikuti peningkatan kebutuhan BBM bersubsidi.
Efek dari
pengurangan, atau bahkan pencabutan subsidi BBM terhadap perekonomian, sangat
luas. Dalam jangka pendek, kenaikan harga memang tidak direspons dengan
turunnya permintaan BBM karena
permintaan terhadap komoditas itu bersifat tidak elastis. Namun, bagi
barang-barang elastis pada harga, kerugian awal akibat kenaikan BBM akan
ditanggung oleh produsen, marjin keuntungannya dan kemampuan memupuk modal
pasti akan berkurang.
Naik Harga
Produsen akan
memilih menaikkan harga untuk menjaga kelangsungan usaha, secara agregat
permintaan barang-barang elastis akan menurun. Akibatnya, output secara
keseluruhan menurun dan pajak yang
dibayar juga berkurang sehingga defisit APBN pasti meningkat. Pemerintah
dipaksa oleh keadaan untuk meningkatkan upah riil yang terenggut karena
inflasi. Praktis pada saat permintaan turun dan upah riil naik maka
pengangguran dengan sendirinya meningkat.
Ada beberapa
hal positif yang muncul bila subsidi BBM dicabut atau dikurangi, terutama
jika sebagian besar dana subsidi diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur.
Dalam jangka panjang, infrastruktur yang baik akan meningkatkan efisiensi
transportasi dan mengurangi biaya distribusi. Jadi, produsen bisa mengatasi
dampak negatif kenaikan harga BBM tanpa harus membebankan sepenuhnya kepada
konsumen.
Berdasarkan
evaluasi terhadap kenaikan harga BBM sejak 2003, ternyata efek kenaikan itu
memperlambat laju pertumbuhan PDB pada 6 bulan pertama, namun 6 bulan
berikutnya kembali pulih karena ada penguatan belanja pemerintah. Karena itu,
kebijakan BI menjaga tingkat suku bunga tinggi hendaknya kembali dievaluasi
bila ingin membantu presiden terpilih Jokowi mengejar pertumbuhan ekonomi
tinggi.
Ketika Jokowi
memutuskan menaikkan harga BBM maka kebijakan moneter ketat seyogianya
dilonggarkan guna memperkuat sisi pasokan barang dan jasa. Dengan suku bunga
lebih soft, modal yang ditawarkan menjadi lebih murah. Harga pokok produksi
pun akan turun dan produsen bisa mengantisipasi dampak ganda kenaikan BBM
secara efektif dengan menghasilkan lebih banyak barang dan jasa.
Konsep ekonomi
zona nyaman tetap harus jadi fokus utama untuk menjaga pasar supaya tak
terlalu bergejolak tapi juga tidak membuat dunia usaha frustrasi, apalagi
kehilangan kepekaan bisnis. Saya yakin Jokowi memilih kebijakan yang terbaik
meskipun mungkin pahit pada awalnya, namun secara subtansial kebijakannya
bisa membuat ekonomi lebih kuat, tak hanya di dalam tetapi juga di luar
negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar