Jumat, 19 September 2014

Solusi RUU Pilkada

Solusi RUU Pilkada

M Aminudin  ;   Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), Alumnus Ilmu Politik FISIP Unair
REPUBLIKA, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kontroversi mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) antara yang pro dan kontra dilanjutkan atau tidaknya pilkada melalui pemilihan langsung oleh rakyat terus bergulir. Pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang didukung Fraksi Demokrat, Gerindra, PPP, PAN, dan Golkar berusaha mengembalikan pilkada langsung ke pemilihan oleh DPRD.

Alasan kelompok ini, pilkada langsung selama era desentralisasi ini sangat mahal dan penuh kekerasan. Besarnya "pemborosan" pilkada langsung bisa dilihat dari beberapa contoh. Di Kota Palembang, biayanya mencapai Rp 76 miliar. Di Sulawesi Selatan Rp 200 miiliar, di Jawa Timur Rp 800 miliar karena prosesnya hingga tiga putaran.

Fenomena ini terjadi di seluruh provinsi. Belum lagi korban jiwa, rumah yang terbakar, dan pengerahan massa. Biaya pilkada langsung yang mahal itu mengakibatkan mereka mudah korupsi ketika menjabat.

Secara sepintas argumen itu masuk akal, tapi bila diuji secara cermat sebagian argumen dampak buruk pilkada langsung itu tak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Biaya pilkada langsung sebenarnya tak sebanyak pemilu dan pilpres. Pemilu 2014 menghabiskan biaya Rp 22 triliun.

Ketentuan dalam UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah dipilih secara langsung memunculkan dua pendapat. Pertama, dipilih secara demokratis tidak mesti berarti dipilih secara langsung. Menurut pendapat ini, ada dua model dipilih secara demokratis, yakni dipilih melalui perwakilan dan dipilih secara langsung. Apa pun opsinya, menurut kelompok ini, kedua cara itu akan menghasilkan pemimpin daerah yang memiliki legitimasi yang sama.

Pendapat kedua, walaupun berlandaskan pada pemahaman yang sama, pemilihan secara langsung memiliki legitimasi lebih kuat dibandingkan pemilihan melalui perwakilan. Apabila UU sudah mengatur penerapan opsi tertinggi melalui pemilihan langsung, jangan dimundurkan kembali menjadi dipilih melalui perwakilan atau DPRD.

Pilihan terhadap salah satu dari kedua pendapat ini akan menentukan: apakah rekrutmen kepala daerah termasuk rezim pemda atau rezim pemilu, atau kombinasi di antara model dipilih langsung dan dipilih DPRD berdasar tingkatannya.

UUD 1945 mengatur bahwa pemerintahan daerah dalam NKRI terdiri atas dua. Susunan pertama adalah provinsi dan susunan kedua adalah kabupaten/kota. UUD tidak mengatur eksplisit apakah keberadaan susunan itu bersifat hierarkis.

Dalam hal kepemimpinan pemerintahan daerah, UUD 1945 mengatur bahwa provinsi, kabupaten/kota masing-masing akan dipimpin oleh gubernur, bupati/wali kota. Rekrutmen mereka, antara lain, berkaitan dengan pemilihan secara langsung sebagai terjemahan dari ketentuan UUD yang berbunyi dipilih secara demokratis.

Memang di dalam UUD dibedakan dari untuk rekrutmen presiden, yakni dipilih secara langsung. Ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah secara langsung memiliki legitimasi lebih tinggi dibandingkan perwakilan. Karena itu, pilkada langsung sebaiknya jangan didegradasikan kembali menjadi dipilih melalui perwakilan.

Dalam memahami perbedaan argumen diperlukan penegasan makna dipilih secara demokratis maupun pemerintahan daerah. Pertama, dipilih secara demokratis dapat bermakna melalui badan perwakilan atau DPRD dan dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua mekanisme ini memiliki legitimasi berbeda. Kalau melalui representasi DPRD berarti tak ada partisipasi langsung dari rakyat.

Kedua, pengertian pemerintahan daerah ada yang menjadi Unit Dasar dan Unit Antara. Dalam kasus Indonesia, pemerintahan daerah dibedakan antara kabupaten/kota (Unit Dasar) dan provitigansi (Unit Antara).

Ketiga, Unit Dasar berfokus pada pelayanan. Unit Antara berperan utama dalam pengoordinasian. Dari segi wilayah, Unit Dasar bersifat lokal dan Unit Antara regional. Pada lingkup Unit Antara, aktivitas pemerintahan lebih bersifat dekonsentrasi dan kurang pada aspek perwakilan. Keempat, berdasarkan fungsi yang diemban Unit Dasar dan Unit Antara berbeda, maka mekanisme pilkada untuk Unit Dasar (kabupaten/kota) dan Unit Antara (provinsi) dapat berbeda.

Mekanisme pilkada untuk kabupaten/kota maupun provinsi harus mencerminkan mekanisme dipilih secara demokratis. Namun, untuk Unit Dasar, pilkada seharusnya bersifat dipilih langsung oleh rakyat (direct democracy).

Keharusan ini berdasarkan pemikiran bahwa pertama, kabupaten/kota sebagai Unit Dasar adalah jenjang pemerintahan terdekat dengan masyarakat. Kabupaten/kota merupakan unit yang langsung memberi pelayanan. Kedua, untuk kenyamanan pelayanan, masyarakat perlu memperoleh kesempatan langsung memilih pemimpinnya.

Pelayanan langsung berakibat pada interaksi berbasis kepercayaan (trust). Sedangkan untuk provinsi sebagai Unit Antara perlu diperhatikan Pasal 18B UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati/wali kota sebagai kepala Unit Antara dan kepala Unit Dasar dipilih secara demokratis.

Ketentuan itu mengindikasikan ada badan perwakilan rakyat pada tingkat Unit Antara (provinsi). Perlu dipertimbangkan pula bahwa UU No 32 Tahun 2004 mengatur gubernur memiliki fungsi ganda sebagai kepala daerah otonom provinsi dan wakil pemerintah. Untuk tingkat provinsi pertimbangan representativeness bukan prioritas utama dibandingkan pada lingkup Unit Dasar. Implikasinya, rekrutmen kepala daerah dapat menggunakan mekanisme dipilih oleh badan perwakilan (representative democracy).

Maka, pemilihan langsung kepala daerah tingkat kabupaten/kota adalah keharusan konstitusional. Tetapi, untuk tingkat provinsi bisa dijabarkan dengan dua opsi: pemilihan langsung atau cukup melalui DPRD.

Bila melalui DPRD, sejalan dengan asas dekonsentrasi memberi pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal. Dan tentu saja dari aspek politik ini adalah managemen yang diharapkan secara sistematis memperkuat efektivitas pemerintahan nasional dan integrasi nasional karena kristalisasi separatisme umumnya berpotensi muncul bila ada akumulasi kekuatan di tingkat provinsi.

Tetapi, bila pemilihan langsung oleh rakyat di tingkat provinsi diteruskan juga memberi legitimasi yang kuat bagi gubernur terpilih. Semua tergantung bagaimana melihatnya.

Apa pun hasil yang ditetapkan DPR terkait pilkada nanti semuanya akan diuji di Mahkamah Konstitusi. Kubu yang bersaing di DPR tak boleh gegabah asal menang di sidang DPR karena toh kalau berlawanan dengan konstitusi akan gugur di MK.

t-f�&fm��� �� s New Roman";color:black'> 

Sakralnya pernikahan dan ketundukan pada hukum agama adalah pengejawantahan ideologi bangsa ini. Para founding fathers sejak 1945 telah menyepakati Pancasila sebagai landasan hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menghormati agama, walaupun tidak berbentuk negara agama pun bukan pula negara sekuler. Pengejawantahan lanjutan posisi ini adalah pada Pasal 29 UUD 45.

Perlu dipertahankan

UU Perkawinan memang belum sempurna. Ada beberapa pasal yang patut direvisi. Namun, hingga saat ini ia tetap produk sejarah dan produk hukum yang patut dirujuk dalam memberikan pedoman bagi perkawinan masyarakat Indonesia.

Dan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan patut dipertahankan karena merupakan kristalisasi nilai-nilai ideal bangsa Indonesia dan wujud penghormatan serta akomodasi terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang terumuskan dalam ideologi Pancasila.

Menundukkan diri pada hukum agama dan kepercayaan adalah manifestasi HAM sesuai yang tercantum pada Pasal 29 UUD 45. Tugas negara adalah menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi pelaksanaan hak tersebut.

Perkawinan adalah bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Hak beragama dan beribadah juga bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Menjalankan perkawinan sesuai hukum agama adalah manifestasi hak asasi dalam beragama.

Maka, di atas segala kekurangan dan kelebihan UU Perkawinan, Pasal 2 ayat 1 patut dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan persoalan akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat 1 sepatutnya diselesaikan secara arif oleh masyarakat dan negara tanpa harus membatalkan pasal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar