Solusi
RUU Pilkada
M Aminudin ;
Direktur
Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), Alumnus Ilmu Politik
FISIP Unair
|
REPUBLIKA,
18 September 2014
Kontroversi
mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) antara yang pro dan kontra
dilanjutkan atau tidaknya pilkada melalui pemilihan langsung oleh rakyat
terus bergulir. Pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang
didukung Fraksi Demokrat, Gerindra, PPP, PAN, dan Golkar berusaha
mengembalikan pilkada langsung ke pemilihan oleh DPRD.
Alasan
kelompok ini, pilkada langsung selama era desentralisasi ini sangat mahal dan
penuh kekerasan. Besarnya "pemborosan" pilkada langsung bisa
dilihat dari beberapa contoh. Di Kota Palembang, biayanya mencapai Rp 76
miliar. Di Sulawesi Selatan Rp 200 miiliar, di Jawa Timur Rp 800 miliar
karena prosesnya hingga tiga putaran.
Fenomena
ini terjadi di seluruh provinsi. Belum lagi korban jiwa, rumah yang terbakar,
dan pengerahan massa. Biaya pilkada langsung yang mahal itu mengakibatkan
mereka mudah korupsi ketika menjabat.
Secara
sepintas argumen itu masuk akal, tapi bila diuji secara cermat sebagian
argumen dampak buruk pilkada langsung itu tak memiliki dasar argumentasi yang
kuat. Biaya pilkada langsung sebenarnya tak sebanyak pemilu dan pilpres.
Pemilu 2014 menghabiskan biaya Rp 22 triliun.
Ketentuan
dalam UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah dipilih
secara langsung memunculkan dua pendapat. Pertama, dipilih secara demokratis
tidak mesti berarti dipilih secara langsung. Menurut pendapat ini, ada dua
model dipilih secara demokratis, yakni dipilih melalui perwakilan dan dipilih
secara langsung. Apa pun opsinya, menurut kelompok ini, kedua cara itu akan
menghasilkan pemimpin daerah yang memiliki legitimasi yang sama.
Pendapat
kedua, walaupun berlandaskan pada pemahaman yang sama, pemilihan secara
langsung memiliki legitimasi lebih kuat dibandingkan pemilihan melalui
perwakilan. Apabila UU sudah mengatur penerapan opsi tertinggi melalui
pemilihan langsung, jangan dimundurkan kembali menjadi dipilih melalui
perwakilan atau DPRD.
Pilihan
terhadap salah satu dari kedua pendapat ini akan menentukan: apakah rekrutmen
kepala daerah termasuk rezim pemda atau rezim pemilu, atau kombinasi di
antara model dipilih langsung dan dipilih DPRD berdasar tingkatannya.
UUD
1945 mengatur bahwa pemerintahan daerah dalam NKRI terdiri atas dua. Susunan
pertama adalah provinsi dan susunan kedua adalah kabupaten/kota. UUD tidak
mengatur eksplisit apakah keberadaan susunan itu bersifat hierarkis.
Dalam
hal kepemimpinan pemerintahan daerah, UUD 1945 mengatur bahwa provinsi,
kabupaten/kota masing-masing akan dipimpin oleh gubernur, bupati/wali kota.
Rekrutmen mereka, antara lain, berkaitan dengan pemilihan secara langsung
sebagai terjemahan dari ketentuan UUD yang berbunyi dipilih secara
demokratis.
Memang
di dalam UUD dibedakan dari untuk rekrutmen presiden, yakni dipilih secara
langsung. Ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur rekrutmen kepala daerah
secara langsung memiliki legitimasi lebih tinggi dibandingkan perwakilan.
Karena itu, pilkada langsung sebaiknya jangan didegradasikan kembali menjadi
dipilih melalui perwakilan.
Dalam
memahami perbedaan argumen diperlukan penegasan makna dipilih secara
demokratis maupun pemerintahan daerah. Pertama, dipilih secara demokratis
dapat bermakna melalui badan perwakilan atau DPRD dan dipilih secara langsung
oleh rakyat. Kedua mekanisme ini memiliki legitimasi berbeda. Kalau melalui
representasi DPRD berarti tak ada partisipasi langsung dari rakyat.
Kedua,
pengertian pemerintahan daerah ada yang menjadi Unit Dasar dan Unit Antara.
Dalam kasus Indonesia, pemerintahan daerah dibedakan antara kabupaten/kota
(Unit Dasar) dan provitigansi (Unit Antara).
Ketiga,
Unit Dasar berfokus pada pelayanan. Unit Antara berperan utama dalam
pengoordinasian. Dari segi wilayah, Unit Dasar bersifat lokal dan Unit Antara
regional. Pada lingkup Unit Antara, aktivitas pemerintahan lebih bersifat
dekonsentrasi dan kurang pada aspek perwakilan. Keempat, berdasarkan fungsi
yang diemban Unit Dasar dan Unit Antara berbeda, maka mekanisme pilkada untuk
Unit Dasar (kabupaten/kota) dan Unit Antara (provinsi) dapat berbeda.
Mekanisme
pilkada untuk kabupaten/kota maupun provinsi harus mencerminkan mekanisme
dipilih secara demokratis. Namun, untuk Unit Dasar, pilkada seharusnya
bersifat dipilih langsung oleh rakyat (direct
democracy).
Keharusan
ini berdasarkan pemikiran bahwa pertama, kabupaten/kota sebagai Unit Dasar
adalah jenjang pemerintahan terdekat dengan masyarakat. Kabupaten/kota
merupakan unit yang langsung memberi pelayanan. Kedua, untuk kenyamanan
pelayanan, masyarakat perlu memperoleh kesempatan langsung memilih
pemimpinnya.
Pelayanan
langsung berakibat pada interaksi berbasis kepercayaan (trust). Sedangkan
untuk provinsi sebagai Unit Antara perlu diperhatikan Pasal 18B UUD 1945
menyatakan bahwa gubernur, bupati/wali kota sebagai kepala Unit Antara dan
kepala Unit Dasar dipilih secara demokratis.
Ketentuan
itu mengindikasikan ada badan perwakilan rakyat pada tingkat Unit Antara
(provinsi). Perlu dipertimbangkan pula bahwa UU No 32 Tahun 2004 mengatur
gubernur memiliki fungsi ganda sebagai kepala daerah otonom provinsi dan
wakil pemerintah. Untuk tingkat provinsi pertimbangan representativeness
bukan prioritas utama dibandingkan pada lingkup Unit Dasar. Implikasinya,
rekrutmen kepala daerah dapat menggunakan mekanisme dipilih oleh badan
perwakilan (representative democracy).
Maka,
pemilihan langsung kepala daerah tingkat kabupaten/kota adalah keharusan
konstitusional. Tetapi, untuk tingkat provinsi bisa dijabarkan dengan dua
opsi: pemilihan langsung atau cukup melalui DPRD.
Bila
melalui DPRD, sejalan dengan asas dekonsentrasi memberi pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal. Dan tentu saja dari aspek politik ini
adalah managemen yang diharapkan secara sistematis memperkuat efektivitas
pemerintahan nasional dan integrasi nasional karena kristalisasi separatisme
umumnya berpotensi muncul bila ada akumulasi kekuatan di tingkat provinsi.
Tetapi,
bila pemilihan langsung oleh rakyat di tingkat provinsi diteruskan juga
memberi legitimasi yang kuat bagi gubernur terpilih. Semua tergantung
bagaimana melihatnya.
Apa
pun hasil yang ditetapkan DPR terkait pilkada nanti semuanya akan diuji di
Mahkamah Konstitusi. Kubu yang bersaing di DPR tak boleh gegabah asal menang
di sidang DPR karena toh kalau berlawanan dengan konstitusi akan gugur di MK. ●
|
Sakralnya
pernikahan dan ketundukan pada hukum agama adalah pengejawantahan ideologi
bangsa ini. Para founding fathers sejak 1945 telah menyepakati Pancasila
sebagai landasan hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama
Pancasila menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menghormati agama,
walaupun tidak berbentuk negara agama pun bukan pula negara sekuler.
Pengejawantahan lanjutan posisi ini adalah pada Pasal 29 UUD 45.
Perlu dipertahankan
UU Perkawinan memang belum
sempurna. Ada beberapa pasal yang patut direvisi. Namun, hingga saat ini ia
tetap produk sejarah dan produk hukum yang patut dirujuk dalam memberikan
pedoman bagi perkawinan masyarakat Indonesia.
Dan
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan patut dipertahankan karena merupakan
kristalisasi nilai-nilai ideal bangsa Indonesia dan wujud penghormatan serta
akomodasi terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang terumuskan dalam
ideologi Pancasila.
Menundukkan
diri pada hukum agama dan kepercayaan adalah manifestasi HAM sesuai yang
tercantum pada Pasal 29 UUD 45. Tugas negara adalah menghormati, memajukan,
memenuhi, dan melindungi pelaksanaan hak tersebut.
Perkawinan
adalah bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Hak beragama dan
beribadah juga bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Menjalankan
perkawinan sesuai hukum agama adalah manifestasi hak asasi dalam beragama.
Maka,
di atas segala kekurangan dan kelebihan UU Perkawinan,
Pasal 2 ayat 1 patut dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
persoalan akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat 1 sepatutnya diselesaikan secara
arif oleh masyarakat dan negara tanpa harus membatalkan pasal tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar