Kontestasi
dalam Memerangi IS
Ibnu Burdah ;
Pemerhati
Timur Tengah dan dunia Islam,
Dosen
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 17 September 2014
“Persoalan jadi rumit ketika
kelompok negara Sunni di bawah pimpinan Saudi menginginkan peran besar”
KOALISI
besar kawasan dan internasional untuk melawan Islamic State (IS) akhirnya
terbentuk. Koalisi pimpinan AS tersebut terdiri atas sejumlah negara besar di
Barat, Australia, Turki, dan 10 negara Arab. Kesepuluh negara Arab itu adalah
Irak, Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait,
Lebanon, dan Kerajaan Yordania. Suriah yang sejak awal menyatakan kesiapannya
bekerja sama menghancurkan IS, tidak diikutsertakan dalam koalisi itu. Bahkan
tak ada koordinasi antara koalisi dan rezim Asad terkait rencana serangan
udara koalisi terhadap target-target IS di Suriah.
Padahal,
posisi Suriah sangat krusial dalam perang itu mengingat basis IS bagaimanapun
di wilayah Suriah yang sedang berperang. Adapun Irak lebih tepat disebut
panggungnya. Ancaman Asad bahwa serangan udara ke wilayah Suriah tanpa
koordinasi dengan mereka adalah agresi, sebenarnya harus diperhitungkan. Iran
secara tak terduga ternyata juga tak diajak dalam koalisi itu. Padahal,
celupan ideologi anti- Syiah dan Iran sangat kuat dalam kelompok radikal ISi.
Target
dan musuh terbesar mereka sejak lahir sesungguhnya Iran dan jaringannya,
termasuk Syiah di Irak. Ini pula yang membedakan kelompok tersebut dari
induknya, yakni Al-Qaedah yang lebih menekankan anti-AS. Berdasarkan uraian
itu, posisi Iran dan jaringannya sesungguhnya amat penting. Pada awal-awal
upaya membendung gerak IS, Amerika memberikan sinyal sangat positif akan
bekerja sama dengan Iran.
Sebab
faktanya adalah Iran memiliki posisi penting untuk menyukseskan upaya itu.
Negara tersebut juga memiliki kepentingan begitu kuat untuk menghancurkan IS.
Jika Iran saat itu dilibatkan dalam upaya militer tersebut maka itu adalah
peristiwa historik yang akan memecah kebekuan hubungan AS-Barat dengan negara
itu selama 35 tahun terakhir. Persaingan Sungguh mengejutkan, kekuatan Barat
ternyata justru menggandeng hanya Saudi yang kemudian diperlebar menjadi
jaringan negara-negara Sunni Arab, atau tepatnya penguasa Sunni Arab.
Sebenarnya,
IS sepertinya tak memiliki masalah serius dengan Saudi sejak awalnya. Namun
ketika negara itu memproklamirkan kekhalifahan dan kekuatannya terus membesar
maka hal itu kemudian dipandang sebagai ancaman oleh Saudi. Ketika IS mengalahkan
pasukan Irak dan merebut Mosul yang sekarang jadi ibu kota ”kekhilafahan”,
Saudi tak memberikan reaksi keras terhadap kelompok itu.
Sepertinya
ada kontestasi serius antarnegaranegara kawasan dalam perang melawan IS.
Semula, negara yang paling aktif adalah negara ”Ikhwani” yakni Qatar dan
Turki. Keduanya memberikan dukungan politik, finansial, dan pelatihan militer
secara konsisten sejak awal. Sementara di sisi lain adalah kelompok Syiah
pimpinan Iran.
Pemerintah
Irak pimpinan Haidar al-Abadi sepertinya condong menyertakan Iran dalam upaya
perang melawan IS. Iran sejak awal menyatakan kesiapannya menggeber pasukan.
Namun jarak psikologis antara negara-negara Barat dan Iran membuat skenario
tersebut batal. Sebenarnya, hubungan antara Iran plus jaringannya dengan
kelompok Turki-Qatar dan jaringan Ikhwani tak ada masalah yang berarti dalam
beberapa tahun ini.
Persoalan
menjadi rumit ketika kelompok negara Sunni di bawah pimpinan Saudi
menginginkan peran besar dalam proses penghancuran IS, dan tak menginginkan
sama sekali peran Iran dan jaringannya. Ada kontestasi psikologis terlalu
dalam antara keduanya hingga sekarang. Hal itu pula titik dari persoalan yang
dihadapi “kampanye dan perang penghancuran Islamic State’’. Di lapangan khususnya di Suriah, musuh sepadan
IS bukanlah tentara oposisi dukungan Saudi melainkan Hizbullah sekutu Iran.
Pada
titik adanya kontestasi SunniSyiah itulah, perintah PM Irak al-Abadiuntuk
menghentikan serangan terhadapIS, kendati dengan dalih banyaknya korbansipil,
patut dicurigai sebagai respons jaringan Syiah terhadap penyingkiran mereka
dalam perang melawan IS. Memelihara Kepentingan Pilihan AS dan negara-negara
Baratuntuk berkoalisi dengan jaringan negara Sunni pimpinan Saudi ketimbang
Iran sebenarnya tak produktif bagi keberhasilan perang melawan IS.
Namun
Amerika harus memelihara kepentingannya terhadap negara-negara Sunni ituyang
gelagatnya terus ingin mencaripatron baru di luar AS. Paman Sam tentutak mau
kehilangan mereka. Ini adalah masalah lain dari proyek penghancuran IS.
Sebenarnya
posisi IS sudah makin terdesak setelah AS melakukan sejumlah ofensif udara
terhadap target mereka di Irak dan Prancis, ditambah beberapa negara Barat
lain mendukung persenjataan dan pelatihan militer terhadap Peshmerga Kurdi. Islamic
State makin terdesak ke utara dan ke Barat. Pasukan Kurdi menyatakan dukungan
negara-negara besar itu sangat berharga bagi perjuangan mereka mendesak IS. Namun,
mereka juga mengeluhkan bantuan persenjataan yang cukup guna menghancurkan IS
di Mosul, ternyata tak kunjung diberikan.
Ada
kekhawatiran dari kekuatan Irak dan negara-negara Arab Sunni atas kemenguatan
Kurdi dari sisi militer. Semua itu menjadi hambatan tidak kecil dalam perang
melawan Islamic State yang
kemungkinan digelar secara besar-besaran dalam waktu dekat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar