Jumat, 19 September 2014

Kontestasi dalam Memerangi IS

Kontestasi dalam Memerangi IS

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam,
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Persoalan jadi rumit ketika kelompok negara Sunni di bawah pimpinan Saudi menginginkan peran besar”

KOALISI besar kawasan dan internasional untuk melawan Islamic State (IS) akhirnya terbentuk. Koalisi pimpinan AS tersebut terdiri atas sejumlah negara besar di Barat, Australia, Turki, dan 10 negara Arab. Kesepuluh negara Arab itu adalah Irak, Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Qatar, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait, Lebanon, dan Kerajaan Yordania. Suriah yang sejak awal menyatakan kesiapannya bekerja sama menghancurkan IS, tidak diikutsertakan dalam koalisi itu. Bahkan tak ada koordinasi antara koalisi dan rezim Asad terkait rencana serangan udara koalisi terhadap target-target IS di Suriah.

Padahal, posisi Suriah sangat krusial dalam perang itu mengingat basis IS bagaimanapun di wilayah Suriah yang sedang berperang. Adapun Irak lebih tepat disebut panggungnya. Ancaman Asad bahwa serangan udara ke wilayah Suriah tanpa koordinasi dengan mereka adalah agresi, sebenarnya harus diperhitungkan. Iran secara tak terduga ternyata juga tak diajak dalam koalisi itu. Padahal, celupan ideologi anti- Syiah dan Iran sangat kuat dalam kelompok radikal ISi.

Target dan musuh terbesar mereka sejak lahir sesungguhnya Iran dan jaringannya, termasuk Syiah di Irak. Ini pula yang membedakan kelompok tersebut dari induknya, yakni Al-Qaedah yang lebih menekankan anti-AS. Berdasarkan uraian itu, posisi Iran dan jaringannya sesungguhnya amat penting. Pada awal-awal upaya membendung gerak IS, Amerika memberikan sinyal sangat positif akan bekerja sama dengan Iran.

Sebab faktanya adalah Iran memiliki posisi penting untuk menyukseskan upaya itu. Negara tersebut juga memiliki kepentingan begitu kuat untuk menghancurkan IS. Jika Iran saat itu dilibatkan dalam upaya militer tersebut maka itu adalah peristiwa historik yang akan memecah kebekuan hubungan AS-Barat dengan negara itu selama 35 tahun terakhir. Persaingan Sungguh mengejutkan, kekuatan Barat ternyata justru menggandeng hanya Saudi yang kemudian diperlebar menjadi jaringan negara-negara Sunni Arab, atau tepatnya penguasa Sunni Arab.

Sebenarnya, IS sepertinya tak memiliki masalah serius dengan Saudi sejak awalnya. Namun ketika negara itu memproklamirkan kekhalifahan dan kekuatannya terus membesar maka hal itu kemudian dipandang sebagai ancaman oleh Saudi. Ketika IS mengalahkan pasukan Irak dan merebut Mosul yang sekarang jadi ibu kota ”kekhilafahan”, Saudi tak memberikan reaksi keras terhadap kelompok itu.

Sepertinya ada kontestasi serius antarnegaranegara kawasan dalam perang melawan IS. Semula, negara yang paling aktif adalah negara ”Ikhwani” yakni Qatar dan Turki. Keduanya memberikan dukungan politik, finansial, dan pelatihan militer secara konsisten sejak awal. Sementara di sisi lain adalah kelompok Syiah pimpinan Iran.

Pemerintah Irak pimpinan Haidar al-Abadi sepertinya condong menyertakan Iran dalam upaya perang melawan IS. Iran sejak awal menyatakan kesiapannya menggeber pasukan. Namun jarak psikologis antara negara-negara Barat dan Iran membuat skenario tersebut batal. Sebenarnya, hubungan antara Iran plus jaringannya dengan kelompok Turki-Qatar dan jaringan Ikhwani tak ada masalah yang berarti dalam beberapa tahun ini.

Persoalan menjadi rumit ketika kelompok negara Sunni di bawah pimpinan Saudi menginginkan peran besar dalam proses penghancuran IS, dan tak menginginkan sama sekali peran Iran dan jaringannya. Ada kontestasi psikologis terlalu dalam antara keduanya hingga sekarang. Hal itu pula titik dari persoalan yang dihadapi “kampanye dan perang penghancuran Islamic State’’. Di lapangan khususnya di Suriah, musuh sepadan IS bukanlah tentara oposisi dukungan Saudi melainkan Hizbullah sekutu Iran.

Pada titik adanya kontestasi SunniSyiah itulah, perintah PM Irak al-Abadiuntuk menghentikan serangan terhadapIS, kendati dengan dalih banyaknya korbansipil, patut dicurigai sebagai respons jaringan Syiah terhadap penyingkiran mereka dalam perang melawan IS. Memelihara Kepentingan Pilihan AS dan negara-negara Baratuntuk berkoalisi dengan jaringan negara Sunni pimpinan Saudi ketimbang Iran sebenarnya tak produktif bagi keberhasilan perang melawan IS.

Namun Amerika harus memelihara kepentingannya terhadap negara-negara Sunni ituyang gelagatnya terus ingin mencaripatron baru di luar AS. Paman Sam tentutak mau kehilangan mereka. Ini adalah masalah lain dari proyek penghancuran IS.

Sebenarnya posisi IS sudah makin terdesak setelah AS melakukan sejumlah ofensif udara terhadap target mereka di Irak dan Prancis, ditambah beberapa negara Barat lain mendukung persenjataan dan pelatihan militer terhadap Peshmerga Kurdi. Islamic State makin terdesak ke utara dan ke Barat. Pasukan Kurdi menyatakan dukungan negara-negara besar itu sangat berharga bagi perjuangan mereka mendesak IS. Namun, mereka juga mengeluhkan bantuan persenjataan yang cukup guna menghancurkan IS di Mosul, ternyata tak kunjung diberikan.

Ada kekhawatiran dari kekuatan Irak dan negara-negara Arab Sunni atas kemenguatan Kurdi dari sisi militer. Semua itu menjadi hambatan tidak kecil dalam perang melawan Islamic State yang kemungkinan digelar secara besar-besaran dalam waktu dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar