Kemandirian
Profesi Advokat
HD Djunaedi ; Ketua
DPD Perhimpunan Advokat Indonesia Jawa
Tengah,
Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Unissula
|
SUARA
MERDEKA, 22 September 2014
PENOLAKAN terhadap
RUU tentang Advokat akhir-akhir ini kembali menguat di berbagai daerah,
seiring dengan agenda DPR memutuskan rancangan regulasi tersebut pada 24
September 2014. Aksi penolakan berpuncak tanggal 11 September lalu ketika
sejumlah advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
menggelar aksi damai di Bundaran HI Jakarta, dilanjutkan ke gedung DPR untuk
menyampaikan aspirasi.
Persatuan
Advokat Indonesia (Peradin), yang sebelumnya bernama Persatuan Advokat
Indonesia (PAI) sudah lama menginginkan ada undang-undang yang bisa
memedomani mereka. Sebagai salah satu unsur catur wangsa penegak hukum,
advokat wajib mempunyai undang-undang.
Dalam
perjalanannya, 7 organisasi terdiri atas Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin),
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),
Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat Pengacara Indonesia
(HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum
Pasar Modal (HKHPM) sepakat membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) .
Komite itu
bertugas menyusun kode etik dan membentuk UU. Selanjutnya, draf rancangan
regulasi itu diserahkan DPR guna dibahas hingga akhirnya lahir UU Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Regulasi itu mengamanatkan bentuk
organisasi yang jadi pilihan adalah single bar. Advokat, DPR, dan eksekutif
pun menyepakati tak boleh ada campur tangan pihak mana pun, termasuk
pemerintah mengingat tuntutan kemandirian dan independensi profesi advokat.
Format single
bar itulah yang kemudian melahirkan Peradi, organisasi profesi advokat yang
pada dasarnya juga organ negara dalam arti luas dan bersifat mandiri
(independent state organ) serta melaksanakan fungsi negara. Yakni menjalankan
hak, kewenangan, dan kewajiban sebagaimana diamanatkan UU semisal
menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, menguji calon dan
mengangkat advokat, menyusun kode etik, membentuk dewan kehormatan dan komisi
pengawas.
Berkait
perbedaan pandangan di antara advokat, persoalan itu harus diselesaikan oleh
advokat, dan bukannya dengan mengubah UU. Wacana mengubah UU juga tidak
logis, bahkan tak memiliki dasar kuat mengingat belum ada tinjauan akademisi
yang memandang perlunya mengubah UU Advokat.
Sistem multi
bar, yang terkandung dalam substansi RUU itu berisiko melemahkan organisasi,
bahkan memecah-belah. Pasalnya, organisasi kemungkinan diintervensi pihak
luar, minimal terkooptasi. Dengan sistem single bar saja, para advokat belum
bisa bersatu dan kuat, apalagi dengan multi bar yang rancangan regulasinya
sebentar lagi diputuskan DPR.
Mustahil hukum
bisa tegak bila tak ada independensi advokat. Bahkan bila tidak ada
organisasi tunggal maka perlindungan terhadap pencari keadilan dan
peningkatan kualitas advokat pun sulit tercapai. Sistem multi bar yang ada
dalam RUU Advokat akan memunculkan lebih dari satu organisasi advokat
sehingga membuka celah terjadinya pelanggaran kode etik.
Memudahkan Pengawasan
Misal seorang
advokat menelantarkan klien namun dia tidak bisa dikenai sanksi karena ketika
’’diproses’’ oleh organisasinya dia segera berpindah ke organisasi lain. Hal
itu akan merugikan masyarakat pencari keadilan. Contoh lain berkait
peningkatan kualitas advokat, dalam sistem multi bar bisa saja suatu
organisasi advokat menentukan passing grade 7 namun nilai itu diturunkan oleh
organisasi advokat yang lain dengan tujuan agar bisa mendapat banyak anggota.
Sebaliknya,
single bar dapat menciptakan beberapa kondisi positif. Pertama; ada
standardisasi profesi sehingga kualitas advokat pun bisa terus ditingkatkan.
Kedua; pengawasan advokat menjadi lebih mudah dan terjamin karena ada dewan
kehormatan yang siap menegakkan kode etik. Ketiga; organisasi advokat menjadi
lebih kuat karena tidak bisa diintervensi pihak mana pun.
Dalam RUU
Advokat terdapat substansi keberadaan dewan advokat nasional (DAN) dan hal
itu bertentangan dengan independensi advokat. Pasalnya personel dewan advokat
diusulkan oleh presiden dan dipilih oleh DPR. Pembentukan dewan advokat
justru memberi celah kepada pemerintah dan parpol untuk mengooptasi dan
mengintervensi organisasi advokat.
Realitas itu
mengebiri kemandirian advokat sekaligus merugikan masyarakat pencari keadilan
mengingat hukum tidak lagi bisa ditegakkan. Hal itu berarti menjauhkan
cita-cita sebagaimana termaktub dalam adagium fiat justitia ruat caelum: hendaklah
keadilan ditegakkan kendati langit akan runtuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar