Senin, 15 September 2014

Soal Pilihan

Soal Pilihan

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas; Kolumnis “Kredensial” Kompas
KOMPAS, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Apa beda sepak bola dan politik? William ”Bill” Shankly (2 September 1913-29 September 1981), pemain sepak bola Skotlandia yang kemudian menjadi Manajer Liverpool, suatu hari pernah mengatakan demikian: sepak bola bukan soal hidup dan mati, melainkan lebih dari semua itu. Sementara politik adalah soal hidup dan mati.

Kalau pertanyaan itu diajukan kepada Cicero, yang nama lengkapnya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), jawabannya akan lain, terutama soal politik. Tokoh yang dikenal sebagai filsuf, politisi, ahli hukum, orator, ilmuwan politik, dan konsul Romawi ini pernah mengatakan, politik adalah makhluk hidup. Bahkan dapat dikatakan makhluk paling hidup yang ada, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, dan keinginan. Dengan semua itu, ia akan menggeliat, berputar, dan berlari ke arah yang tak pernah dikira orang. Terkadang semata-mata demi memuaskan diri sendiri untuk membuktikan bahwa orang-orang yang sok tahu tentang dirinya itu keliru.

”Politik mengalahkan rintangan apa pun yang pernah kuhadapi,” kata Cicero suatu ketika. Pernyataan itu tentu lebih memberikan gambaran atau lebih menegaskan betapa dahsyat politik, yang tidak jarang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Begitu yang kita kenal selama ini.

Politik ini pulalah, menurut profesor politik dari Universitas Cambridge, London, David Runciman, yang membedakan kondisi Denmark dan Suriah pada saat ini—dan mungkin juga dengan Indonesia. Mengapa demikian? Karena politik menyebabkan adanya perbedaan antara satu negara dan negara lain.

Misalnya, karena politik, kehidupan di Suriah saat ini dipenuhi ketakutan, kekejaman, tidak menentu, dibelit kemiskinan. Protes rakyat menuntut ketidakadilan, menuntut perlunya demokrasi, berubah menjadi perang saudara dan kemudian menjadi perang sektarian. Demikian banyak orang tewas, demikian banyak pula orang menderita. Rumah-rumah rusak. Jalan-jalan hancur. Perekonomian morat-marit. Saling percaya di antara rakyat hilang.

Kondisi di Suriah itu berbeda dengan apa yang ada di Denmark. Runciman mengatakan, hidup di Denmark bagaikan di surga: kehidupan nyaman, makmur, beradab, perlindungan bagi warga optimal, dan serba yang enak lainnya. Perbedaan antara Suriah dan Denmark bagaikan bumi dan langit. Tentu beda Suriah, beda Denmark, dan juga beda Indonesia.

Semua perbedaan itu lahir karena politik. Politik bisa membuat lembaran kertas putih berubah menjadi tetap putih cemerlang, juga bisa menjadi hitam legam, atau abu-abu. Meskipun politik adalah tentang pilihan kolektif yang mengikat kelompok-kelompok orang untuk hidup secara khusus. Politik, menurut Runciman, juga tentang ikatan kolektif yang membuat orang menjatuhkan pilihan riil bagaimana mereka hidup. Tanpa pilihan riil, tidak ada politik.

Politik bisa membuat seseorang tampil dewasa, menjadi sosok yang bijak, dan mengorbankan hidupnya untuk kesejahteraan bersama. Namun, pada saat yang bersamaan, politik juga membuat atau melemparkan orang, seperti istilah Herbert Marcuse, menjadi ”manusia satu dimensi”, berideologi sempit, berkacamata kuda, dan hanya mengutamakan kepentingannya sendiri.

Jadi, politik adalah soal pilihan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar