Senin, 15 September 2014

Emosi Suara dari Kata-Kata

Emosi Suara dari Kata-Kata

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS, 14 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Melalui tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mengabaikan kenyataan bahwa kita pasti pernah melakukan konfrontasi terhadap keluarga kita dengan cara mengungkap emosi secara tidak terkendali. Karena mungkin saja dengan cara tersebut kita merasa bahwa kita menjadi lebih berkuasa untuk mengendalikan kondisi keluarga, pada saat-saat tertentu. Atau dengan kata lain, bersikap emosional terhadap keluarga pada saat-saat tertentu memang sulit untuk dielakkan. Jadi, sebenarnya sangatlah tidak mungkin untuk menyarankan pada siapa pun agar selalu bisa bersikap tenang ”calm” dan rileks dalam setiap situasi yang kita hadapi dengan setiap anggota dalam keluarga kita.

Seorang klien, sebut saja si A, pernah bercerita kepada saya, bahwa ia sering menasihati adiknya yang kecanduan alkohol, dengan cara baik-baik, terkendali, dan terkesan penuh kebijakan, seperti misalnya dengan cara sebagai berikut:

”Kakak tahu, kakak tidak dapat berbuat apa pun untuk membantu mengatasi masalah kecanduanmu terhadap alkohol, tapi kakak ingin kamu tahu bahwa kakak sangat mencemaskan kesehatan fisikmu di masa mendatang kalau kebiasaan burukmu itu tidak kamu hentikan. Terus terang kakak takut sekali kehilangan kamu dalam waktu yang kurang daripada seharusnya.”

Dalam situasi ini A sebenarnya berupaya menjadi terapis bagi adiknya dan dirinya sendiri, karena A benar-benar berusaha mengendalikan emosinya untuk bisa bicara setenang itu.

Namun, pada suatu malam A kehilangan kesabarannya, saat melihat adiknya mulai minum lagi, A berteriak keras, ”Hai, apa yang salah dalam dirimu, Dik? Kenapa kamu menjerumuskan kehidupanmu dengan cara itu. Kenapa pula kamu memperlakukan kakak dengan cara itu, Kakak marah sekali dan tidak mampu lagi menahan kemarahan kakak padamu. Rasanya kakak bisa gila kalau memikirkan perbuatanmu seperti itu.”

A bercerita, ia kemudian membantingkan tubuhnya ke sofa dan menangis tersedu. Bagaimana reaksi adiknya melihat kakaknya yang menunjukkan reaksi emosi yang berlawanan dengan kebiasaannya tersebut? Adiknya memandangnya dengan takjub, dan kemudian meninggalkan kakaknya sendiri. Tapi ternyata, sejak peristiwa itu adiknya tampak berusaha melepaskan diri dari ketagihan alkoholnya.

Dari peristiwa ini, saya menganalisis, bahwa sikap kakak yang tenang dan terkesan ”sok” terapis, membuat adiknya muak dan justru semakin membuat adiknya melakukan apa yang tidak disenangi kakaknya, minum dan minum lagi alkohol.

Mengekspresikan emosi

Kita memiliki berbagai perbedaan suara dan perbedaan tempat serta situasi di mana kita bisa berbicara. Tantangannya adalah mengetahui rentang suara yang kita miliki, sehingga kita tidak terjepit dalam ruang rentang suara yang sempit dan terbatas, yang justru membuat diri kita mengalami keterbatasan pelayanan pada lingkungan di mana kita berada.

Pada umumnya kita selalu berbicara dengan cara yang berbeda dengan orang yang berbeda pula. Kita juga tahu bahwa orang yang berbeda akan memiliki rentang penerimaan suara yang berbeda pula dalam situasi yang berbeda. Jadi setiap relasi dan koneksi antarmanusia juga memiliki kadar toleransi yang berbeda dalam menerima dan mengungkap ekspresi emosinya, termasuk dalam mengungkap ketidakwajaran, keputusan, kekaguman atau kemarahan. Kiranya perlu kita pahami bahwa kita semua memiliki kebutuhan koneksi atau relasi dengan orang-orang yang membuat kita bicara lebih keras dibandingkan dengan saat berbicara dengan orang lain.

Hubungan kekeluargaan, seperti halnya hubungan antarsuami dan istri, atau antarkakak dan adik, misalnya, sering memiliki peluang untuk berbagai cara ekspresi emosi. Bisa saja relasi yang terjalin akan lebih ”calm”, bila terdapat jarak emosi tertentu di antara anggota keluarga yang sedang berelasi. Tampaknya semakin intens hubungan yang terjalin, maka semakin produktiflah peluang untuk menurunkan kadar suara, baik dalam bertanya, kemudian mendengar dahulu serta selanjutnya dengan tenang mengutarakan perbedaan yang ada di antara anggota keluarga yang berinteraksi. Dengan cara tersebut, maka kita sebenarnya mengundang orang lain untuk merasa lebih dihargai daripada membuat mereka bersikap defensif.

Dalam situasi tertentu sebenarnya kemauan kita untuk memperlihatkan ungkapan emosional dan kepekaan kita ternyata juga bisa menjadi pesan yang lebih mengandung unsur cinta kasih kita kepada anggota keluarga tertentu. Dengan demikian dapat dipahami dan kemudian disimpulkan bahwa cara ”keras” inilah yang paling tepat dipilih oleh A (kasus tersebut di atas ) dalam mengutarakan ketidaksetujuannya pada perilaku adiknya yang kecanduan alkohol, karena terkadang memilih ”kursi panas” melalui ungkapan yang berisi peledakan emosi sesaat lebih efektif daripada bila kita mengungkapkan emosi dengan cara yang selalu lembut dan penuh kasih seperti apa yang selama ini A tunjukkan pada adiknya yang kecanduan alkohol.

Untuk itu, sadarilah seberapa luas rentang peluang yang kita miliki dalam mengekspresikan emosi, demi kemampuan kita untuk memilih ekspresi emosi yang tepat dan efektif sesuai dengan tujuan awal kita saat menjalin koneksi dan berelasi dengan anggota keluarga kita yang berbeda satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar