Senin, 22 September 2014

Siapa Kawan, Siapa Lawan

Siapa Kawan, Siapa Lawan

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina
SINAR HARAPAN, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Jika ada partai politik (parpol) pascapemilihan presiden (pilpres) yang tengah menjadi perbincangan saat ini, itulah Partai Golongan Karya (Golkar). Parpol pemenang kedua dalam Pileg 2014 itu saat ini tengah bingung memikirkan masa depannya. Ini ditambah konflik internal, beberapa kadernya sudah tidak apresiatif dengan kepemimpinan Aburizal Bakrie.

Apakah Partai Golkar akan konsisten ikut barisan Koalisi Merah Putih untuk menjadi oposan? Partai Golkar memiliki peluang besar menjadi partai oposisi, mengingat kursinya di DPR cukup banyak mengimbangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tinggal bagaimana kemudian para elite partai ini konsisten bergabung dalam Koalasi Merah Putih.

Tradisi oposisi sangat penting sebagai perimbangan agar pemerintahan nantinya tidak berjalan sepihak. Selain itu, salah satu rumusan demokrasi, mesti ada kekuatan oposisi yang berfungsi mengkritik, mengontrol, mengoreksi, sekaligus menyeimbangi kekuatan bagi status quo.

Kekosongan kekuatan oposisi dipercaya sebagai salah satu jalan bagi munculnya pemerintahan otoritarian, yakni pemerintahan yang bekerja atas kemauannya sendiri, tanpa bisa dikoreksi, meskipun keliru. Sistem politik demokrasi yang tunaoposisi justru menjadi ancaman bagi demokrasi itu.

Kemenangan PDIP pada pileg di satu sisi memperkuat posisi pemerintahan mendatang. Karena itulah, banyak pemimpin parpol yang berusaha merapat ke pasangan Jokowi Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Di sisi lain, harus ada pemimpin parpol yang berdemarkasi dari kekuasaan status quo. Ini penting sebagai langkah ke depan untuk mengawal agar demokratisasi tetap terjaga.

Demarkasi politik atau penjagaan jarak dengan kekuasaan status quo menyimbolkan oposisi yang nanti bertugas mengawal aspirasi rakyat sesungguhnya. Ini bukan oposisi dalam arti hanya untuk mendapat power sharing.

Jika kekuatan oposisi terbentuk, secara otomatis mengharuskan terjadinya “pembagian” wewenang kuasa. Dalam arti, kebijakan politik tidak sepenuhnya diambil oleh presiden beserta gerbong politiknya, melainkan terjadi pencairan kebijakan karena ada pembagian ide serta gagasan yang nanti dimainkan kekuatan oposan.

Oposisi yang berbasis nilai-nilai demokrasi tidak sama sekali diarahkan merusak keadaan, melainkan justru bervisi memperbaiki dan menyempurnakan tatanan. Jadi, ini mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Karena itu, oposisi mesti tetap menjaga sistem supaya bisa terus berlangsung.

Menurut Ignas Kleden, oposisi harus menjadi semacam advocatus diaboli atau devil’s advocate yang memainkan peranan sebagai setan yang menyelamatkan kita, justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran itu, oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik kelemahan dari suatu kebijakan. Jadi apabila kebijakan itu diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan rakyat sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin sehingga kebijakan membawa berkah, bukan petaka (Kleden, 2001:5).

Tidak seharusnya kekuatan oposisi bertubrukan, apalagi membuat suatu kesenjangan (gap) yang tajam antara satu dengan lainnya, seperti dialami di negara-negara yang baru mengawali demokratisasi. Hal itu sesungguhnya sangat kekanak-kanakan. Oposisi seharusnya menjadi sebuah kekuatan sinergis yang dapat membawa kebijakan ke arah yang lebih baik dan integral. Kekuasaan politik memang tidak boleh absolut, melainkan harus patuh ke aturan main dan demokrasi.

Oposisi yang diharapkan ke depan adalah yang terlembaga ke institusi politik. Di sinilah kemudian letak kans besar dari Partai Golkar. Sebagai institusi politik, Golkar berhak menjadi kekuatan oposisi karena memiliki fungsi-fungsi politik, seperti rekrutmen politik.

Dalam membangun pemerintahan yang kuat ke depan dan menjaga agar agenda perubahan dapat terlaksana baik, dibutuhkan sparring partner dalam dunia politik sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power). Kekuatan penyeimbang yang diharapkan tentunya yang benar-benar berperan sebagai kekuatan pengontrol yang efektif demi tujuan politik kemaslahatan bersama (politics of the commonhood).

Selama ini, kekuatan oposisi yang terlembaga nyaris tidak dimiliki, baik di kekuatan-kekuatan politik maupun kelompok-kelompok politik yang ada. Peran oposisi malah lebih banyak dipraktikkan gerakan mahasiswa dan lembaga swadaya mahasiswa (LSM) dalam mengontrol kebijakan pemerintah di sektor publik.

Tentunya dengan kelemahan yang dimiliki, kekuatan oposisi yang dilakoninya tidak mampu membuat pemerintahan berjalan efektif dan efesien. Ini karena ketiadaan kekuatan pemaksa yang dimiliki, namun hanya sebagai kekuatan penekan.

Dipandang dari etika kebebasan, oposisi dapat dikatakan kegiatan parlementarian yang paling terhormat (J Stuart Mill, 1987). Dalam tangga demokrasi, ia mampu menempati ukuran tertinggi sebab mampu mencegah ancaman status quo.

Paham yang menyatakan the winner takes all dapat dikurangi atau dihambat dengan falibilism dalam etika berdemokrasi. Prinsip ini menyatakan, perwakilan politik tidak selalu menjamin identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Padahal kita tahu, perwakilan rakyat itu temporer sifatnya, sedangkan kedaulatan permanen.

Untuk itu, oposisi harus menjadi permanen dalam kehidupan demokrasi. Selama ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata, yang ada hanya tataran teoretis. Padahal kita tahu, dengan menjalankan demokrasi, konsekuensinya harus ada oposisi sebagai pengawas yang independen.

Politik oposisi adalah nilai yang melekat di demokrasi. Jika demokrasi dimengerti sebagai transaksi politik yang sekuler, konsekuensinya setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang.

Oposisi dimaksudkan menjamin keterbukaan demokrasi dan memastikan monopoli kebenaran atas dasar apa pun tidak boleh terjadi. Jadi, terbukti bahwa politik berfungsi menjaga netralitas ruang publik. Metodenya dapat dilakukan melalui penyediaan alternatif pandangan dan pemikiran guna diuji secara rasional, berdasarkan argumen yang bisa diterima semua kepentingan politik yang ada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar