“Sesat
Pikir” Inferensi Pilkada via DPRD
Abdul Hakim MS ;
Direktur
Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
|
DETIKNEWS,
16 September 2014
Entah
apa yang ada dibenak sebagian anggota DPR-RI periode 2004 – 2014 yang
mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tak ada hujan tak ada angin, usulan ini
tiba-tiba menyeruak ke permukaan hingga membuat jagat perpolitikan nasional
kembali menghangat.
Sontak,
usulan ini menuai kontroversi. Meski ada yang mendukung, namun mayoritas
kalangan menolak keras ide ini. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi
kemasyarakatan (Ormas), akademisi, dan budayawan ramai mengutuk. Bahkan
organisasi yang mewadahi para kepala daerah di seluruh Indonesia pun, turut
menolak gagasan ini.
Sebagaimana
kita tahu, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala
Daerah yang saat ini sedang digodok di DPR-RI, 6 Fraksi (Demokrat, Golkar,
Gerindra, PAN, PPP, dan PKS) mengusulkan agar pilkada dikembalikan melalui
mekanisme pemilihan di DPRD. Dalilnya, pilkada langsung dianggap sebagai
biang keladi terjadinya korupsi kepala daerah, menjadi pemicu maraknya
politik uang, politik berbiaya tinggi, hingga argumentasi menyebabkan konflik
sosial.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, benarkah demikian?
Inferensi Prematur
Sejatinya,
dalil-dalil yang dipergunakan untuk menjustifikasi agar pilkada dikembalikan
ke DPRD cukup prematur. Dalil-dalil ini memerlukan penelitian secara lebih
dalam agar tidak terjadi – dalam istilah ilmu logika— 'sesat pikir' dalam
mengambil kesimpulan yang akan berujung pada pengambilan keputusan yang
salah. Coba dalil-dalil ini kita kupas dalam konteks logika.
Dalil
pertama yang kerap dijadikan alasan adalah data yang menyatakan bahwa sejak
Pilkada langsung diberlakukan, sudah ada setidaknya 327 gubernur, bupati dan
wali kota yang tersangkut kasus korupsi dan masuk penjara.
Sekilas,
dalil ini memang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa pilkada langsung masih
memiliki banyak masalah. Namun benarkah banyaknya kepala daerah yang masuk
penjara akibat Pilkada langsung? Akankah masalah kepala daerah yang masuk
penjara ini teratasi jika kemudian pemilihan dikembalikan ke DPRD?
Secara
faktual, sejak pilkada langsung bergulir, memang sudah ada sebanyak 327
kepala daerah yang masuk penjara. Ini fakta yang memang tak bisa dibantah.
Akan tetapi, bukankah banyaknya kepala daerah yang masuk penjara ini karena
Indonesia sudah memiliki lembaga penegak hukum yang baik, seperti KPK? Kita
semua tahu, bukankah kepala daerah yang masuk penjara hampir 100 persen
ditangkap oleh lembaga anti rasuah ini? Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah
ketika kepala daerah masih dipilih DPRD, Indonesia sudah memiliki lembaga
hukum yang mempunyai integritas seperti KPK?
Sebagaimana
kita tahu, pilkada langsung dimulai sejak diundangkannya UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini efektif berlaku untuk pilkada langsung
pada tahun 2005. Sementara, KPK berdiri pada bulan Desember 2003.
Jika
kemudian membandingkan banyaknya kepala daerah yang ditangkap dalam rentang
waktu 2003 – 2014 atas dasar mekanisme pemilihannya, menjadi tidak relevan
karena datanya tidak sebanding. Sejak KPK berdiri, hanya satu tahun (yakni
2004) periode kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara pilkada langsung
sudah berjalan selama hampir sepuluh tahun. Ditahun pertama KPK berdiri,
sistemnya juga belum sebaik seperti saat ini.
Itu
sebabnya, inferensi (kesimpulan) yang menyatakan bahwa pemilihan kepala
daerah melalui DPRD lebih baik dibanding pilkada langsung dalam konteks
banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi, merupakan pola nalar yang
'sesat pikir' karena data ini tak sebanding. Karena tak sebanding, maka
inferensi ini bisa dibilang sangat prematur.
Demikian
halnya dengan dalil bahwa pilkada langsung akan memicu konflik sosial, dan
menyebabkan maraknya praktik money politic. Hingga detik ini, penelitian The Habibie Center menunjukkan bahwa
belum ada konflik sosial yang terjadi di negeri ini yang benar-benar dipicu
oleh pelaksanaan pilkada langsung. The
Habibie Center menyebut, konflik horizontal yang terjadi selama sepuluh
tahun pelaksanaan Pilkada, lebih cenderung dipicu oleh elit yang belum dewasa
dalam berpolitik.
Pun
demikian pula dengan dalil money
politic. Tim peneliti dari Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) yang
bekerja sama dengan Department of
Politics and Social Change, Australia National University (ANU) menunjukkan,
dalam riset politik uang pada pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden
di sekitar 20 daerah sepanjang 2014, politik uang bukan penentu utama yang
dapat menarik minat pemilih. Aksi tebar uang ke pemilih dalam beberapa
pilkada hanya memiliki pengaruh 15 persen terhadap keputusan pemilih. Pertanyaannya,
seandainya pilkada langsung memang memicu money politic, akankah masalah ini
teratasi dengan pilkada melalui DPRD?
Satu-satunya
argumentasi yang menurut saya logis adalah Pilkada langsung memang
menyebabkan biaya tinggi dalam penyelenggaraannya. Akan tetapi, biaya tinggi
ini bukan ditanggung oleh kandidat yang akan berlaga, melainkan oleh negara.
Karena jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, biaya yang ditanggung oleh para
kandidat tak mustahil bisa lebih tinggi lagi. Karena untuk bisa terpilih,
para kandidat harus memberikan 'special services' kepada para anggota DPRD.
Hal ini juga akan memunculkan potensi masalah yang sama, money politics dan
biaya politik tinggi bagi para kandidat.
Tapi
bukankah biaya setinggi apapun yang ditanggung oleh negara, jika itu
dikehendaki rakyat harus diperjuangkan? Karena saat ini, Merujuk survei
Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 81,25 persen masyarakat Indonesia masih
menghendaki pilkada dilakukan secara langsung.
Rente Kekuasaan
Merujuk
data-data di atas, tak heran jika banyak kalangan yang menyatakan bahwa asas
yang digunakan untuk mengambil keputusan beberapa fraksi yang menghendaki
pilkada dikembalikan kepada DPRD tak dilandasi oleh nalar politik yang logis dan
sehat, melainkan lebih didasarkan pada kepentingan politik sesaat yang di
dorong oleh beberapa politisi pemburu rente kekuasaan untuk menggamit kuasa
yang lebih besar (power seeking
politician).
Hal
itu bisa dilihat dari premis-premis yang digunakan sebagai landasan mengambil
keputusan cenderung prematur dan dipaksakan. Namun bagi para power seeking politician, hal itu
tidaklah penting selama tujuan mereka bisa tercapai.
Meskipun
demikian, ada baiknya para politisi ini memikirkan kembali protes yang berdatangan.
Gelombang besar penentangan yang datang dari masyarakat, harus disikapi
secara bijak. Karena tak mustahil, jika keputusan politik yang dilandasi
nalar politik yang tidak sehat ini dipaksakan, gelombang ini bisa menjadi
badai yang bisa semakin merontokkan kepercayaan publik terhadap lembaga
DPR-RI.
Hemat
saya, sepatutnya RUU Pilkada ini tak diselesaikan pada periode DPR-RI saat
ini yang usianya tinggal menghitung hari. Pembahasannya lebih baik diserahkan
kepada anggota DPR-RI periode baru agar bisa melengkapi landasan argumentasi
secara lebih runut, baik secara akademik maupun praktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar