SBY,
Jokowi, dan Korupsi
Deny Humaedi Muhammad ;
Peneliti
Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
|
OKEZONENEWS,
16 September 2014
Belakangan
ini, selain riuh oleh persiapan Presiden dan Wakil dalam membentuk postur
kabinet baru, publik dihenyakkan oleh “kata-kata” Florence Sihombing,
mahasiswa pasca sarjana UGM, melalui
akun path miliknya. Peristiwa ini mengemuka saat Florence tengah mengantre di
SPBU Lempuyangan Yogyakarta. Lantaran kesal dengan pelayanan SPBU tersebut,
keluar kata-kata kasar menghiasi akun path miliknya.
Dalam
akunya itu tertulis kekesalan Florence terhadap sosio-kultur Yogyakarta
dengan nada pedas dan penuh emosi. Tak lama, hujatannya ini meluas ke publik.
Warga Yogyakarta pun tersulut emosi. Mereka merasa dihina oleh ulah Florence.
Ini pun berkembang menjadi konsumsi pemberitaan nasional. Sehingga, banyak
diperbincangkan dimana-mana.
“Tribute” dan Ironi
Adalah
pemberitaan Jero Wacik yang membuat publik geger kembali. Pada Rabu
(3/8/2014) lalu Komisi Pemberantasan
Korupsi resmi menetapkan menteri energi sumber daya mineral (ESDM), Jero Wacik, sebagai tersangka pemerasan.
Ada
catatan menarik terkait penetapan Jero Wacik sebagai tersangka. Pertama,
penetapan tersangka Jero ini berdekatan dengan masa akhir kepemimpinan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono Oktober
nanti.
Penetapan
Jero sebagai tersangka kasus korupsi kementrian ESDM mengusik keinginan SBY
yang ingin mengakhir pemerintahannya dengan khusnul khotimah (akhir yang
baik, bukan su’ul khotimah/akhir yang buruk). SBY berkehendak dalam
detik-detik akhir kepemimipinannya tak ada lagi kasus ini itu yang
mencoreng-moreng wajah pemerintahannya.
Ini
juga dapat kita lihat ketika muncul pro-kontra menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Sebagian ahli dan pengamat ekonomi menghendaki
kenaikan bbm, sebagian lainya menolak yang diiringi dengan logika ekonomi
sesuai kepakaran masing-masing.
Tentu,
lewat kacamata politik—bisa juga ekonomi—SBY
tak berniat menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menghindari
kekecewaan publik. Ini sesuai dengan keinginannya untuk khusnul khotimah.
Kedua,
Jero Wacik adalah kader partai Demokrat di mana SBY menjadi ketua umum.
Sebagai pemimpin nomor satu SBY tentu merasa “malu” lewat tingkah kenakalan
anak buahnya. Sebab, SBY sendiri pernah dalam suatu kesempatan mengatakan
bahwa Demokrat ingin menjadi partai terdepan dalam memerangi korupsi.
Namun
pada satu sisi, kita mesti mengapresiasi komitmen SBY ihwal pemberantasan
korupsi. Perang terhadap korupsi menjadi tema sentral kampanye demokrat saat
pemilihan umum (pemilu) dan pencalonan SBY-Boediono sebagai calon dan wakil
presiden. Di setiap stasiun televisi pun partai Demokrat, saat itu, gencar
mengiklankan perang terhadap korupsi.
Iklan
tersebut menampilkan para kader terbaik Demokrat, Angelina Sondakh, Ibas,
Andi Malarangeng, dan Anas urbaningrum,
yang silih berganti dengan gaya masing-masing memproklamirkan “Katakan
Tidak pada Korupsi”.
Saat
terpilih, komitmen untuk memerangi korupsi ditunggu publik. Pada
perkembangannya kasus korupsi yang melibatkan elit pemerintah satu per satu
terungkap. Terungkapnya kasus korupsi ini menjadi tanda bagus komitmen SBY
dalam pemberantasan korupsi.
Puncaknya
adalah terungkapnya kasus mega proyek Hambalang. Ironinya, aktor utamanya
adalah kader Demokrat sendiri, yakni Muhammad Nazaruddin. Kemudian, lewat
kicauan Nazaruddin merambat tertuduhnya sejumlah kader terbaik Demokrat
lainnya, yakni Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan Anas Urbaningrum. Di
antara mereka ada yang masih berstatus terdakwa dan tervonis.
Tak
berhenti di situ keterlibatan elit pemerintah dalam skandal korupsi makin
terungkap. Pada beberpa waktu lalu pejabat SKK Migas tersangka korupsi. Dan
lagi-lagi melibatkan kader Demokrat yakni Soetan Bathoegana, yang sampai saat
ini dalam proses penyidikan.
Dari
situ, banyak kasus korupsi para elit terungkap. Mirisnya, kementrian agama
yang notabene selalu mendalilkan dogma yang mengharamkan korupsi terkena
kasus juga dimana ditetapkannya Surya Dharma Ali, mantan menteri agama,
sebagai tersangka.
Tanpa
bermaksud berlebihan, bahkan memuji tanpa kritisisme, “koalisi” SBY dan KPK
dalam merontokkan korupsi patut dipuji. Sebab, di balik pengungkapan kasus
korupsi tersimpan manfaat besar bagi penyelamatan harta kekayaan negara.
Terlepas
dari prestasi pengungkapan korupsi elit, upaya pemberantasan korupsi
tampaknya hanya bergerak dalam level elit, sehingga tidak menimbulkan efek
jera. Hal ini bisa kita lihat dari fakta empirik semakin terungkapnya korupsi
para elit, semakin menjamurnya perilaku korup di birokrasi kita.
Pemerintah
tampaknya tidak terlalu fokus ke bawah, yakni tingkat Desa dan kecamatan,
dalam pemberantasan korupsi. Sebab, bisa disinyalir di situ terjadi
penyalahgunaan wewenang besar-besaran terhadap anggaran pemerintah untuk desa
dan kecamatan.
Tindak
pemberantasan korupsi yang seolah tumpul kebawah ini menurut hemat saya
menjadi penyebab keberanian aparat atau elit untuk menyalahgunakan wewenang
dan kekuasaan. Karena itu disamping keberhasilan pemerintah dalam menindak
perilaku korup, di lain sisi masih banyak perilaku korup yang belum
terungkap. Ini sebenarnya yang menjadi “PR” pemerintahan baru nanti.
Komitmen Jokowi
Belum
tuntasnya pemberantasan korupsi era SBY, meninggalkan “warisan” bagi
pemerintahan Jokowi untuk menebas korupsi secara massif dan progresif. Tak
ada ruang bagi pemerintahannya untuk abai pada tindak pemberantasan korupsi.
Dalam
paltform kerja sewaktu kampanye, Jokowi-Jk menempatkan penegakan hukum
melalui tindak pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama selain program
lainnya. Kini, setelah terpilih program tebas perilaku korup menunggu
realisasi.
Upaya
Jokowi untuk melanjutkan pemberantasan korupsi era SBY harus diapresiasi. Ini
berarti ada keseriusan Jokowi dalam membenahi negara. Sebab, bila berhasil
memberantas korupsi, kerugian uang negara setidaknya bisa terhindar.
Lebih
dari itu keseriusan Jokowi bukan pada ihwal level pemberantasan korupsi
belaka, eksponen efek jera terhadap korupsi mesti perhatikan lebih serius
lagi. Dalam hal ini revolusi mental ala Jokowi menemui relevansinya.
Revolusi
mental Jokowi, pada konteks ini, akan diuji sejauh mana pengaruh dan return
terhadap efek jera perilaku korup. Meskipun, Jokowi mungkin harus menimbang
masukan 31 jurus pemberantasan korupsi
dari Indonesian corruption Watch (ICW). Namun yang lebih penting , seberapa
besar political will Jokowi dalam menebas Korupsi? Beranikah Jokowi
menindaklanjuti elit partai yang mendukungnya bila nanti terbukti korupsi?
Untuk
itu, roda pemerintahan bergantung pada pemimpin (Jokowi), publik hanya
mengawasi, mengikuti, dan mendoakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar