‘Mengobati’
Pilkada Langsung Oleh Rakyat
Samsul Pasaribu ;
Ketua
Umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga Indonesia dan Direktur Sibolga Strategic
Leadership Forum (S2LF)
|
DETIKNEWS,
16 September 2014
Penulis
teringat seuntai kalimat ceramah Almarhum Dr.H. Zainuddin MZ, 'ibarat makan salak, bukan isinya yang
kita makan tetapi kulitnya yang kita ambil lalu batunya kita telen, ya pasti
rusak'. Begitulah pandangan
almarhum terhadap dampak westernisasi terhadap percaturan global. Dan itu
beliau sampaikan jauh sebelum kita menabuh genderang reformasi tahun 1998
silam.
Ungkapan
itu sengaja penulis jadikan prolog tulisan kali ini karena sejalan dengan
realita pro dan kontra RUU Pilkada belakangan ini yang sebagian meminta tetap
dipilih langsung oleh rakyat tetapi sebagian yang lain meminta dikembalikan
kepada DPRD layaknya dizaman presiden RI ke-2 Jenderal Besar Soeharto berkuasa.
Sekedar
meriview ingatan kita bahwa
mereka yang menginginkan Pilkada dipilih oleh DPRD mengatakan bahwa Pilkada
langsung berdampak pada tingginya biaya yang dikeluarkan baik oleh negara
maupun oleh para kandidat.
Selain
itu, serangan money politik dan korupsi cenderung terjadi dan menjadi hal biasa dalam pesta
demokrasi belakangan ini. Belum lagi persoalan mutasi besar-besaran pasca
pimpinan kepala daerah berganti. Semua yang menjadi lawan politik dibabat
habis tak lama setelah pelantikan. Selain itu, kebebasan yang benar-benar
bebas itu telah melahirkan dinasti kekuasaan bagi sebagian daerah. Maka tak
jarang, pasca sang ayah jadi kepala daerah, periode berikutnya digantikan
oleh sang istri, menantu, anak dan lain sebagainya. Katanya, ini merusak
demokrasi. Potensi komplik juga sangat besar. Beberapa daerah justru berakhir
dengan kerusuhan dan bakar-bakaran pasca kandidat yang diusungnya kalah dalam
pertarungan.
Argumen
lainnya adalah jika Pilkda dipilih oleh rakyat hal itu merupakan inkonstitusional, selain
itu, hal itu juga tidak sejalan dengan sila ke-4 Pancasila "Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan".
Lain
lagi halnya dengan mereka yang meminta Pilkada tetap dipilih langsung oleh
rakyat. Kata mereka, ini merupakan hak konstitusional warga negara. Rakyat
tidak bisa hanya menjadi subjek tetapi juga objek. Pilkada langsung merupakan
semangat reformasi.
Mengembalikan
pilkada kepada DPRD menyalahi semangat reformasi itu sendiri. Demokrasi
merupakan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat bukan dari
rakyat oleh DPRD dan untuk rakyat. Dan yang lebih penting lagi adalah sistem
pemerintahan Republik Indonesia adalah presidensial bukan parlementer. Andai
presiden dipilih langsung dan kepala pemerintahan dibawahnya dipilih oleh
DPRD maka sistem itu sendiri menjadi sumir dan abu-abu.
Pertanyaanya
adalah adakah yang salah dari argumentasi-argumentasi diatas? Jawabanya tentu
tidak ada yang salah. Bahkan penulis berpandangan tepat dan sesuai dengan
realita yang ada. Jika pun pada akhirnya pendapat-pendapat itu salah maka itu
tidak terletak pada isi dari pendapat dan pandangan-pandangan itu sendiri
tetapi lebih kepada semangat dari munculnya pendapat-pendapat itu.
Apakah
semangat itu dilatar belakangi keinginan berkuasa yang sangat kuat, dorongan
ingin membalas dendam atas realita pemilu presiden yang pahit menurut satu
golongan, atau memang murni untuk mencari formula yang baik bagi peningkatan
kualitas berdemokrasi di negara republik Indonesia ini.
Disinilah
kita perlu bersepakat bahwa negara ini sedang ada masalah. Republik Indonesia
yang diproklamirkan kemerdekaanya 69 tahun lalu sedang sakit. Sakit akut,
tetapi oleh'dokter' menilainya masih bisa disembuhkan andai ditangani dengan
serius dan sungguh-sungguh.
Penulis
menyebut penyakit itu dengan demokrasi setengah hati. Setengah hati karena,
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga didunia, ternyata predikat itu tidak
serta merta mendorong kita untuk memperbaiki kualitas kita berdemokrasi
tetapi justru sebaliknya.
Apa
yang selama ini kita tolak (dizaman orde baru) justru ingin kita kembalikan
dizaman reformasi saat ini. Benar, tidak semua warisan orde baru itu jelek
dan buruk. Tetapi ingat, pada kalimat ini kita menggunakan kata 'tidak semua'
artinya ada yang jelek dan buruk untuk demokrasi. Maka salah satunya adalah
Pilkada oleh DPRD.
Jika
Demokrasi itu seperti sebuah tubuh, maka tubuh itu sedang sakit saat ini.
Pilihannya adalah kita mengganti demokrasi itu dengan sistem demokrasi yang
lain padahal kita masih sepakat sistem demokrasi yang lain itu pun masih
rawan penyakit atau memang benar-benar sakit juga. Atau kita pilih dengan
semangat yang sama menyembuhkan setiap virus, kuman, kotoran, bakteri yang
sedang merongrong tubuh yang bernama demokrasi itu.
Seperti
anda yang sedang bekerja disebuah perusahaan, lalu suatu ketika anda sakit
oleh dokter penyakit anda dianggap berbahaya tetapi tetap bisa diobati andai
ditangani dengan serius dan sungguh-sungguh. Tetapi pimpinan anda mengatakan,
anda harus diberhentikan dan diganti oleh orang lain.
Tentu
saja, pribadi anda akan menyalahkan kebijakan itu. Selain itu anda juga akan
menyalahkan diri sendiri. Kenapa pula harus sakit disaat yang tidak tepat.
Tetapi apa pun itu, pemberhentian anda dan diganti dengan orang lain adalah
langkah yang tidak tepat. Padahal orang yang mengantikan anda pun tidak pula
lebih baik dari anda. Tetapi, kehadiran anda selama ini diperusahaan telah
membuka kesempatan banyak orang lebih peduli dengan perusahaan yang sudah
anda bela bertahun-tahun.
Perumpaan
dan analogi diatas bisa disamakan dengan realita RUU Pilkada saat ini.
Merubah RUU Pilkada dari langsung menjadi tidak langsung merupakan langkah
keliru dan tidak substansial. Seperti makan buah salak, kita sibuk mengupas
kulitnya dan memakannya lalu membuang isinya.
Kita
sibuk membicarakan sistem baru dan lebih menguntungkan tetapi kita lupa bahwa
sistem yang ada jauh lebih baik hanya perlu ketegasan dan kesungguhan dalam
menjalankannya. Persoalan Pilkada terletak pada lemahnya sistem yang ada. Regulasi
yang sudah ada tidak dibarengi dengan adanya aturan main yang ketat dan
menyentuh hingga keakar rumput sekali pun.
Penulis
berpandangan, andai semangat yang menggiring kita membicarakan RUU Pilkada
ini adalah semangat memperbaiki sistem yang ada agar cara berdemokrasi kita
semakin baik dan berkualitas maka demokrasi kita yang sedang sakit ini perlu
kita obati, bukan menyingkirkannya. Yang harus dilakukan saat ini adalah DPR
RI dan pemerintah mutlak bersepakat untuk mempertahankan UU yang ada.
Pemilihan kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Selanjutnya
semua hal yang menjadi persoalan selama ini diatur sedemikian rupa dalam
undang-undang Pilkada atau bila perlu dibuat undang-undang khusus untuk itu. Sehingga
semua persoalan yang mencoreng nama baik kita dalam berdemokrasi diminimalisir
bahkan sangat mungkin di hilangkan. Apa yang oleh pihak pengusung Pilkada
tidak langsung dipersoalkan selama ini diminimalisir dampaknya, seperti;
1.
Untuk permasalahan Pilkada langsung yang menyuburkan dinasti kekuasaan, maka
perlu diatur bahwa setiap keluarga yang anggota keluarganya menjadi kepala
daerah maka tidak diperkenankan mencalonkan diri paling lama satu periode
setelah anggota keluarganya habis masa jabatannya dan atau memutuskan tidak
mencalon lagi untuk periode kedua.
2.
Untuk menekan tingginya biaya kampanye maka perlu diatur bahwa setiap calon
dilarang memasang spanduk dan baligo. Sosialisasi hanya perlu dilakukan
dengan membagikan kartu nama dan memasang iklan di media cetak. Bilamana
keberadaan Baligo dan spanduk diangap tetap penting maka perlu diatur
jumlahnya dan ukurannya, sehingga azas keadilan dan pemerataan dari
masing-masing kandidat terpenuhi dan terjamin.
Tidak
boleh ada kampanye akbar baik indoor maupun outdoor. Para kandidat harus
bersosialisasi langsung dengan warga untuk memperkenalkan diri. Hal ini untuk
memaksa para kandidat "blusukan" langsung sejak dari berstatus
sebagai calon kepala daerah.
3.
Untuk menghindari terjadinya money politik perlu dibuat aturan tegas
(sebenarnya selama ini sudah ada tetapi penerapannya tidak maksimal).
Ketegasan itu berupa sepekan menjelang masa kampanye berakhir dan masa
pencoblosan di bilik suara, maka rekening partai politik, tim sukses dan para
kandidat untuk sementara diblokir oleh bank, sehingga tidak ada transaksi dan
serangan pajar menjelanga hari pencoblosan.
Kalau
pun para kandidat jauh-jauh hari sudah menarik uang dengan jumlah yang besar
maka hal ini sangat mudah ditelusuri peruntukannya. Panwaslu, Bawaslu dan KPU
perlu bersinergi dengan dunia perbakan dan PPATK untuk menerapkan kebijakan
ini.
Ancamannya
adalah bila sepekan menjelang pemungutan suara ada transaksi besar yang
mencurigakan maka kandidat dimaksud akan dieliminasi dari pemilihan.
4.
Untuk menghindari agar tidak ada mutasi besar-besaran pasca pergantian kepala
daerah maka perlu diatur dalam undang-undang tersebut supaya kepala daerah
terpilih dilarang melakukan mutasi minimal 2,5 tahun sejak dilantik. Mutasi
hanya bisa dilakukan bila sudah bertentangan dengan kepangkatan dan
lain-lain.
Dan
atau, sejak dilantik sebagai kepala daerah, yang bersangkutan hanya boleh
melakukan revosisi bukan mutasi. Kebijakan seperti ini perlu karena selain
untuk memberi rasa aman dan tidak terlibat langsung dalam suksesi
kepemimpinan daerah, juga menghindari adanya deal-deal 'haram' antara calon
kepala darah dengan para pegawai negeri sipil dan oknum-oknum lainnya.
5.
Untuk menghindari terjadi konflik dan kerusuhan antar pendukung maka perlu
dipertegas, bilamana kandidat yang kalah dan para pendukungnya membuat
keributan maka konsekuensinya adalah para pendukung yang membuat rusuh dan
kandidat yang didukungnya sama-sama dikenakan sangsi pidana.
Hal
ini perlu untuk melibatkan langsung para kandidat mengingatkan para
pendukungnya untuk berhati-hati dan benar-benar cerdas menyikapi persoalan.
Selama ini, kandidat biasanya menjadikan kerusuhan yang dilakukan para
pendukung sebagai bentuk dan bagian dari demokrasi dan solidaritas sehingga
lepas tangan. Alhasil, potensi komplik pun semakin besar.
6.
Untuk menekan anggaran yang besar, bukankah mahkamah konstitusi (MK) telah
mengeluarkan keputusannya bahwa Pemilihan umum mulai dari Pemilihan kepala
daerah baik Gubernur, bupati dan Walikota dilaksanakan serentak. Sama halnya
dengan Pemilu presiden dan pemilu legislatif juga dilaksanakan serentak.
Hal
ini bisa menghemat anggaran negara untuk pesta demokrasi hingga 30 - 50
persen. Jadi andai biaya Pilkada disetiap daerah selama ini dirata-ratakan 5
sampai dengan 10 Milyar maka dengan Pilkada serentak angka itu menjadi 2
sampai dengan 5 milyar.
Mungkin
kita masih berpandangan jika itu masih sangat mahal, maka yang harus diingat
adalah bahwa Pemilu di Indonesia dilaksanakan satu kali dalam lima tahun.
Maka jika pemilu itu kita sebut sebagai pesta demokrasi, bukankah wajar bila
untuk pesta ini kita kelola sedikit saja agak mahal.
Tentu,
enam hal diatas hanya beberapa hal yang menjadi persoalan pemilihan umum
kepala daerah selama ini. Pada dasarnya yang kita butuhkan saat ini bukanlah
mengganti sistem yang ada kepada sistem baru yang tidak ada jaminan lebih
baik.
Dibutuhkan
cara berpikir yang jernih dan kedewasan berpikir dalam melihat
persoalan-persoalan yang ada lalu mencari jalan keluarnya. Intinya adalah,
apa yang selama ini menjadi penyakit di Pilkada secara langsung oleh rakyat,
kita obati dengan serius dan sungguh-sungguh.
Kita
tidak hanya butuh obat yang mujarab tetapi juga dokter yang ahli. Maka, kita
butuh obat mujarab berupa ide-ide, konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang
cemerlang dan solutif. kemudian kita butuh dokter (figur) berupa orang-orang
yang berintegritas dan kavabel untuk menjalankan ide-ide, konsep-konsep dan
regulasi-regulasi yang kita buat itu.
Jika
ini sudah kita lakukan dengan sungguh-sungguh. Sekali lagi, dengan
sungguh-sungguh maka persoalan-persoalan Pilkada yang selama ini menjadi
polemik bisa diminimalisir.
Dan
andai pun ketika sistem sudah baik, stake holder yang terlibat langsung pun
sudah mumpuni, pengawasan pun dilakukan dengan ketat dan sungguh-sungguh
tetapi masih terjadi hal-hal yang kita khawatirkan itu, maka kita mungkin
akan diskusikan kembali apakah kita akan mengganti sistem pilkada kita
menjadi langsung atau tidak langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar