Rabu, 17 September 2014

‘Mengobati’ Pilkada Langsung Oleh Rakyat

‘Mengobati’ Pilkada Langsung Oleh Rakyat

Samsul Pasaribu  ;   Ketua Umum PB Gerakan Mahasiswa Sibolga Indonesia dan Direktur Sibolga Strategic Leadership Forum (S2LF)
DETIKNEWS, 16 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Penulis teringat seuntai kalimat ceramah Almarhum Dr.H. Zainuddin MZ, 'ibarat makan salak, bukan isinya yang kita makan tetapi kulitnya yang kita ambil lalu batunya kita telen, ya pasti rusak'.  Begitulah pandangan almarhum terhadap dampak westernisasi terhadap percaturan global. Dan itu beliau sampaikan jauh sebelum kita menabuh genderang reformasi tahun 1998 silam.

Ungkapan itu sengaja penulis jadikan prolog tulisan kali ini karena sejalan dengan realita pro dan kontra RUU Pilkada belakangan ini yang sebagian meminta tetap dipilih langsung oleh rakyat tetapi sebagian yang lain meminta dikembalikan kepada DPRD layaknya dizaman presiden RI ke-2 Jenderal Besar Soeharto berkuasa.

Sekedar meriview ingatan kita bahwa mereka yang menginginkan Pilkada dipilih oleh DPRD mengatakan bahwa Pilkada langsung berdampak pada tingginya biaya yang dikeluarkan baik oleh negara maupun oleh para kandidat.

Selain itu, serangan money politik dan korupsi cenderung terjadi dan menjadi hal biasa dalam pesta demokrasi belakangan ini. Belum lagi persoalan mutasi besar-besaran pasca pimpinan kepala daerah berganti. Semua yang menjadi lawan politik dibabat habis tak lama setelah pelantikan. Selain itu, kebebasan yang benar-benar bebas itu telah melahirkan dinasti kekuasaan bagi sebagian daerah. Maka tak jarang, pasca sang ayah jadi kepala daerah, periode berikutnya digantikan oleh sang istri, menantu, anak dan lain sebagainya. Katanya, ini merusak demokrasi. Potensi komplik juga sangat besar. Beberapa daerah justru berakhir dengan kerusuhan dan bakar-bakaran pasca kandidat yang diusungnya kalah dalam pertarungan.

Argumen lainnya adalah jika Pilkda dipilih oleh rakyat hal itu merupakan inkonstitusional, selain itu, hal itu juga tidak sejalan dengan sila ke-4 Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan".

Lain lagi halnya dengan mereka yang meminta Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat. Kata mereka, ini merupakan hak konstitusional warga negara. Rakyat tidak bisa hanya menjadi subjek tetapi juga objek. Pilkada langsung merupakan semangat reformasi.

Mengembalikan pilkada kepada DPRD menyalahi semangat reformasi itu sendiri. Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat bukan dari rakyat oleh DPRD dan untuk rakyat. Dan yang lebih penting lagi adalah sistem pemerintahan Republik Indonesia adalah presidensial bukan parlementer. Andai presiden dipilih langsung dan kepala pemerintahan dibawahnya dipilih oleh DPRD maka sistem itu sendiri menjadi sumir dan abu-abu.

Pertanyaanya adalah adakah yang salah dari argumentasi-argumentasi diatas? Jawabanya tentu tidak ada yang salah. Bahkan penulis berpandangan tepat dan sesuai dengan realita yang ada. Jika pun pada akhirnya pendapat-pendapat itu salah maka itu tidak terletak pada isi dari pendapat dan pandangan-pandangan itu sendiri tetapi lebih kepada semangat dari munculnya pendapat-pendapat itu.

Apakah semangat itu dilatar belakangi keinginan berkuasa yang sangat kuat, dorongan ingin membalas dendam atas realita pemilu presiden yang pahit menurut satu golongan, atau memang murni untuk mencari formula yang baik bagi peningkatan kualitas berdemokrasi di negara republik Indonesia ini.

Disinilah kita perlu bersepakat bahwa negara ini sedang ada masalah. Republik Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaanya 69 tahun lalu sedang sakit. Sakit akut, tetapi oleh'dokter' menilainya masih bisa disembuhkan andai ditangani dengan serius dan sungguh-sungguh.

Penulis menyebut penyakit itu dengan demokrasi setengah hati. Setengah hati karena, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga didunia, ternyata predikat itu tidak serta merta mendorong kita untuk memperbaiki kualitas kita berdemokrasi tetapi justru sebaliknya.

Apa yang selama ini kita tolak (dizaman orde baru) justru ingin kita kembalikan dizaman reformasi saat ini. Benar, tidak semua warisan orde baru itu jelek dan buruk. Tetapi ingat, pada kalimat ini kita menggunakan kata 'tidak semua' artinya ada yang jelek dan buruk untuk demokrasi. Maka salah satunya adalah Pilkada oleh DPRD.

Jika Demokrasi itu seperti sebuah tubuh, maka tubuh itu sedang sakit saat ini. Pilihannya adalah kita mengganti demokrasi itu dengan sistem demokrasi yang lain padahal kita masih sepakat sistem demokrasi yang lain itu pun masih rawan penyakit atau memang benar-benar sakit juga. Atau kita pilih dengan semangat yang sama menyembuhkan setiap virus, kuman, kotoran, bakteri yang sedang merongrong tubuh yang bernama demokrasi itu.

Seperti anda yang sedang bekerja disebuah perusahaan, lalu suatu ketika anda sakit oleh dokter penyakit anda dianggap berbahaya tetapi tetap bisa diobati andai ditangani dengan serius dan sungguh-sungguh. Tetapi pimpinan anda mengatakan, anda harus diberhentikan dan diganti oleh orang lain.

Tentu saja, pribadi anda akan menyalahkan kebijakan itu. Selain itu anda juga akan menyalahkan diri sendiri. Kenapa pula harus sakit disaat yang tidak tepat. Tetapi apa pun itu, pemberhentian anda dan diganti dengan orang lain adalah langkah yang tidak tepat. Padahal orang yang mengantikan anda pun tidak pula lebih baik dari anda. Tetapi, kehadiran anda selama ini diperusahaan telah membuka kesempatan banyak orang lebih peduli dengan perusahaan yang sudah anda bela bertahun-tahun.

Perumpaan dan analogi diatas bisa disamakan dengan realita RUU Pilkada saat ini. Merubah RUU Pilkada dari langsung menjadi tidak langsung merupakan langkah keliru dan tidak substansial. Seperti makan buah salak, kita sibuk mengupas kulitnya dan memakannya lalu membuang isinya.

Kita sibuk membicarakan sistem baru dan lebih menguntungkan tetapi kita lupa bahwa sistem yang ada jauh lebih baik hanya perlu ketegasan dan kesungguhan dalam menjalankannya. Persoalan Pilkada terletak pada lemahnya sistem yang ada. Regulasi yang sudah ada tidak dibarengi dengan adanya aturan main yang ketat dan menyentuh hingga keakar rumput sekali pun.

Penulis berpandangan, andai semangat yang menggiring kita membicarakan RUU Pilkada ini adalah semangat memperbaiki sistem yang ada agar cara berdemokrasi kita semakin baik dan berkualitas maka demokrasi kita yang sedang sakit ini perlu kita obati, bukan menyingkirkannya. Yang harus dilakukan saat ini adalah DPR RI dan pemerintah mutlak bersepakat untuk mempertahankan UU yang ada. Pemilihan kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Selanjutnya semua hal yang menjadi persoalan selama ini diatur sedemikian rupa dalam undang-undang Pilkada atau bila perlu dibuat undang-undang khusus untuk itu. Sehingga semua persoalan yang mencoreng nama baik kita dalam berdemokrasi diminimalisir bahkan sangat mungkin di hilangkan. Apa yang oleh pihak pengusung Pilkada tidak langsung dipersoalkan selama ini diminimalisir dampaknya, seperti;

1. Untuk permasalahan Pilkada langsung yang menyuburkan dinasti kekuasaan, maka perlu diatur bahwa setiap keluarga yang anggota keluarganya menjadi kepala daerah maka tidak diperkenankan mencalonkan diri paling lama satu periode setelah anggota keluarganya habis masa jabatannya dan atau memutuskan tidak mencalon lagi untuk periode kedua.

2. Untuk menekan tingginya biaya kampanye maka perlu diatur bahwa setiap calon dilarang memasang spanduk dan baligo. Sosialisasi hanya perlu dilakukan dengan membagikan kartu nama dan memasang iklan di media cetak. Bilamana keberadaan Baligo dan spanduk diangap tetap penting maka perlu diatur jumlahnya dan ukurannya, sehingga azas keadilan dan pemerataan dari masing-masing kandidat terpenuhi dan terjamin.

Tidak boleh ada kampanye akbar baik indoor maupun outdoor. Para kandidat harus bersosialisasi langsung dengan warga untuk memperkenalkan diri. Hal ini untuk memaksa para kandidat "blusukan" langsung sejak dari berstatus sebagai calon kepala daerah.

3. Untuk menghindari terjadinya money politik perlu dibuat aturan tegas (sebenarnya selama ini sudah ada tetapi penerapannya tidak maksimal). Ketegasan itu berupa sepekan menjelang masa kampanye berakhir dan masa pencoblosan di bilik suara, maka rekening partai politik, tim sukses dan para kandidat untuk sementara diblokir oleh bank, sehingga tidak ada transaksi dan serangan pajar menjelanga hari pencoblosan.

Kalau pun para kandidat jauh-jauh hari sudah menarik uang dengan jumlah yang besar maka hal ini sangat mudah ditelusuri peruntukannya. Panwaslu, Bawaslu dan KPU perlu bersinergi dengan dunia perbakan dan PPATK untuk menerapkan kebijakan ini.

Ancamannya adalah bila sepekan menjelang pemungutan suara ada transaksi besar yang mencurigakan maka kandidat dimaksud akan dieliminasi dari pemilihan.

4. Untuk menghindari agar tidak ada mutasi besar-besaran pasca pergantian kepala daerah maka perlu diatur dalam undang-undang tersebut supaya kepala daerah terpilih dilarang melakukan mutasi minimal 2,5 tahun sejak dilantik. Mutasi hanya bisa dilakukan bila sudah bertentangan dengan kepangkatan dan lain-lain.

Dan atau, sejak dilantik sebagai kepala daerah, yang bersangkutan hanya boleh melakukan revosisi bukan mutasi. Kebijakan seperti ini perlu karena selain untuk memberi rasa aman dan tidak terlibat langsung dalam suksesi kepemimpinan daerah, juga menghindari adanya deal-deal 'haram' antara calon kepala darah dengan para pegawai negeri sipil dan oknum-oknum lainnya.

5. Untuk menghindari terjadi konflik dan kerusuhan antar pendukung maka perlu dipertegas, bilamana kandidat yang kalah dan para pendukungnya membuat keributan maka konsekuensinya adalah para pendukung yang membuat rusuh dan kandidat yang didukungnya sama-sama dikenakan sangsi pidana.

Hal ini perlu untuk melibatkan langsung para kandidat mengingatkan para pendukungnya untuk berhati-hati dan benar-benar cerdas menyikapi persoalan. Selama ini, kandidat biasanya menjadikan kerusuhan yang dilakukan para pendukung sebagai bentuk dan bagian dari demokrasi dan solidaritas sehingga lepas tangan. Alhasil, potensi komplik pun semakin besar.

6. Untuk menekan anggaran yang besar, bukankah mahkamah konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusannya bahwa Pemilihan umum mulai dari Pemilihan kepala daerah baik Gubernur, bupati dan Walikota dilaksanakan serentak. Sama halnya dengan Pemilu presiden dan pemilu legislatif juga dilaksanakan serentak.

Hal ini bisa menghemat anggaran negara untuk pesta demokrasi hingga 30 - 50 persen. Jadi andai biaya Pilkada disetiap daerah selama ini dirata-ratakan 5 sampai dengan 10 Milyar maka dengan Pilkada serentak angka itu menjadi 2 sampai dengan 5 milyar.

Mungkin kita masih berpandangan jika itu masih sangat mahal, maka yang harus diingat adalah bahwa Pemilu di Indonesia dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. Maka jika pemilu itu kita sebut sebagai pesta demokrasi, bukankah wajar bila untuk pesta ini kita kelola sedikit saja agak mahal.
Tentu, enam hal diatas hanya beberapa hal yang menjadi persoalan pemilihan umum kepala daerah selama ini. Pada dasarnya yang kita butuhkan saat ini bukanlah mengganti sistem yang ada kepada sistem baru yang tidak ada jaminan lebih baik.

Dibutuhkan cara berpikir yang jernih dan kedewasan berpikir dalam melihat persoalan-persoalan yang ada lalu mencari jalan keluarnya. Intinya adalah, apa yang selama ini menjadi penyakit di Pilkada secara langsung oleh rakyat, kita obati dengan serius dan sungguh-sungguh.

Kita tidak hanya butuh obat yang mujarab tetapi juga dokter yang ahli. Maka, kita butuh obat mujarab berupa ide-ide, konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang cemerlang dan solutif. kemudian kita butuh dokter (figur) berupa orang-orang yang berintegritas dan kavabel untuk menjalankan ide-ide, konsep-konsep dan regulasi-regulasi yang kita buat itu.

Jika ini sudah kita lakukan dengan sungguh-sungguh. Sekali lagi, dengan sungguh-sungguh maka persoalan-persoalan Pilkada yang selama ini menjadi polemik bisa diminimalisir.

Dan andai pun ketika sistem sudah baik, stake holder yang terlibat langsung pun sudah mumpuni, pengawasan pun dilakukan dengan ketat dan sungguh-sungguh tetapi masih terjadi hal-hal yang kita khawatirkan itu, maka kita mungkin akan diskusikan kembali apakah kita akan mengganti sistem pilkada kita menjadi langsung atau tidak langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar