Sengketa
DPR-Rakyat
Bahrul Ilmi Yakup ;
Ketua
Asosiasi Advokat Konstitusi
|
KOMPAS,
17 September 2014
KURANG
dari sebulan menjelang akhir masa jabatannya, DPR periode 2009-2014 memantik
kontroversi dalam membahas tiga RUU: RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD alias RUU
MD3; RUU Pilkada; dan RUU Advokat, pengganti UU No 18/2003. Tanpa sungkan dan
malu, DPR bersengketa dengan rakyat selaku pemangku kepentingan produk
legislasi. Suatu fenomena ironis yang baru muncul dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945.
Kejadian
ini ironi luar biasa dan di luar nalar normal bila ditinjau dari dua
perspektif. Pertama, perspektif dalam negeri, kejadian ini tak pernah terjadi
dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Tak pernah terjadi pada masa Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai cikal bakal DPR (dan MPR), DPR
Republik Indonesia Serikat, DPR Gotong Royong, dan DPR Orde Baru. Ironi
memalukan ini hanya terjadi pada akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014.
Kedua,
perspektif mancanegara. Tidak pernah terjadi di negara mana pun, baik negara
demokratis maupun otoriter, DPR bersengketa dengan rakyat mengenai pembuatan
UU. Kelaziman justru sebaliknya: DPR senantiasa didorong dan didukung rakyat
dalam upayanya menggali, meramu, dan membentuk UU. Dalam konteks ini, nalar
DPR dan nalar rakyat memang padu, sebagai perwujudan DPR sebagai wakil
rakyat.
Kepaduan
nalar rakyat selaku pemangku kepentingan dengan nalar (anggota) DPR dalam
membentuk UU MD3, UU Pilkada, dan UU Advokat senyatanya tidak terjadi.
Akibatnya, muncul kisruh yang memalukan antara DPR melawan rakyat.
Banyak
alasan mengapa DPR tidak padu nalar dengan rakyat. Pertama, pakar tata negara
secara klasik telah mengidentifikasi bahwa anggota DPR adalah para amatiran
yang sejatinya memang tidak paham akan UU sebagai produk legislasi yang
berkualitas yang harus dibentuk. Dalam kondisi yang tidak paham tersebut,
naifnya perilaku anggota DPR berpretensi paham dan kuasa.
Kedua,
anggota DPR tidak memahami substansi nilai Pancasila dan jiwa masyarakat
(volkgeist) yang seharusnya jadi nilai
inti dari produk legislasi yang dibentuknya. Akibatnya, banyak UU yang
dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dalam proses uji materi. Selama periode
2003-2014, MK telah memutuskan 519 perkara uji materi UU dan mengabulkan 133
Perkara. Artinya, sekitar 26 persen produk legislasi dinyatakan
inkonstitusional oleh MK. Angka tersebut sangat serius sebab lebih dari 25
persen produk legislasi inkonstitusional.
Ketiga,
anggota DPR terlalu politicking, dalam arti selalu berupaya memanipulasi
kewenangan legislasi yang dimiliknya untuk memperoleh keuntungan jabatan atau
materi. Dalam konteks ini, anggota DPR tidak sungkan apalagi malu
menjualbelikan norma legislasi yang akan dibentuknya, baik untuk memperoleh
imbalan uang maupun imbalan jabatan.
Keempat,
anggota DPR gagal memahami UU yang menjadi kebutuhan rakyat. Dalam konteks
ini, tidak semua urusan harus diatur dengan UU dan tidak semua urusan harus
diperbaiki dengan mengubah UU; sering kali cukup dengan memperbaiki peraturan
pelaksananya atau teknis pelaksanaannya saja.
Kelima,
produk legislasi tidak memiliki
sandaran validitas yang kokoh, menyangkut aspek filosofis, yuridis, dan
sosiologisnya.
Ketidakpaduan nalar
Ketidakpaduan
nalar DPR dan rakyat dapat dipahami dalam kontroversi RUU Perubahan UU No
18/2003 tentang Advokat. Bagian menimbang RUU tersebut memang menyebutkan
bahwa UU No 18/2003 tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat sehingga
perlu diganti.
Ironisnya,
tak ada data ilmiah valid yang menjelaskan UU No 18/2003 sudah tak sesuai
dengan kebutuhan hukum masyarakat. Isu tersebut hanya dibangun berdasarkan
asumsi subyektif pemerintah dan sebagian anggota DPR yang punya kepentingan
instan agar UU No 18/2003 diganti. Inilah yang jadi penyulut emosi para
advokat yang justru merasa kepentingan terancam dengan kehadiran RUU Advokat.
Selain
itu, RUU Perubahan UU No 18/2003 juga mengangkat isu klasik pilihan antara
single bar dan multibar. Kedua pilihan tersebut memang dapat dipilih secara
alternatif. Substansinya pilihan mana yang tepat dan sesuai dengan jiwa dan
kultur masyarakat dan komunitas advokat Indonesia. Single bar telah dipilih
dan diterapkan UU No 18/2003, yang dalam kiprahnya telah terbukti mampu menata
paradigma dasar profesi advokat Indonesia dan berangsur memperbaiki kualitas
dan martabat profesi advokat Indonesia, terkait dengan pendidikan,
pengangkatan, dan pemberian sanksi. Oleh karena itu, senyatanya tidak ada
urgensi untuk memangkas single bar menjadi multibar hanya karena hendak mengakomodasi kepentingan sebagian
advokat anggota DPR tidak lagi terpilih untuk periode berikutnya.
Mekanisme
fungsional dan koordinasi organisasi multibar jauh lebih kompleks ketimbang
single bar yang dipilih selama ini. Itu pun belum maksimal dalam menata dan
membangun profesi advokat Indonesia agar sejajar dengan advokat asing yang
secara tersembunyi telah merambah dan mendominasi jasa hukum di Indonesia.
Dalam konteks ini, seyogianya anggota DPR tidak memaksa perubahan UU No
18/2003 hanya untuk kepentingan instan dengan mengorbankan kepentingan
profesi advokat secara keseluruhan.
Dalam
menyusun RUU Advokat, seharusnya DPR menyelami dan memahami tafsir
konstitusional atas UU No 18/2003 yang telah diberikan MK dalam berbagai
putusannya. MK telah memutuskan Peradi sebagai organisasi advokat Indonesia
yang berstatus sebagai organ negara pelaksana UU. MK pun telah mempertahankan
norma bahwa pengambilan advokat harus dilakukan di depan sidang pengadilan
tinggi agar advokat memiliki legitimasi sebagai penegak hukum yang berada
dalam cabang kekuasaan yudisial yang diatur Pasal 24 UUD 1945.
Berbagai
persoalan itu seyogianya dipahami DPR sebagai wakil rakyat dalam menyusun UU.
DPR harus mampu memahami kebutuhan dan validitas produk legislasi yang akan
dibuat agar tak memunculkan kontroversi dan sengketa dengan rakyat selaku
pemangku kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar