Kamis, 18 September 2014

Sengketa DPR-Rakyat

Sengketa DPR-Rakyat

Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi
KOMPAS, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KURANG dari sebulan menjelang akhir masa jabatannya, DPR periode 2009-2014 memantik kontroversi dalam membahas tiga RUU: RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD alias RUU MD3; RUU Pilkada; dan RUU Advokat, pengganti UU No 18/2003. Tanpa sungkan dan malu, DPR bersengketa dengan rakyat selaku pemangku kepentingan produk legislasi. Suatu fenomena ironis yang baru muncul dalam praktik ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945.

Kejadian ini ironi luar biasa dan di luar nalar normal bila ditinjau dari dua perspektif. Pertama, perspektif dalam negeri, kejadian ini tak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia sejak merdeka. Tak pernah terjadi pada masa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai cikal bakal DPR (dan MPR), DPR Republik Indonesia Serikat, DPR Gotong Royong, dan DPR Orde Baru. Ironi memalukan ini hanya terjadi pada akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014.

Kedua, perspektif mancanegara. Tidak pernah terjadi di negara mana pun, baik negara demokratis maupun otoriter, DPR bersengketa dengan rakyat mengenai pembuatan UU. Kelaziman justru sebaliknya: DPR senantiasa didorong dan didukung rakyat dalam upayanya menggali, meramu, dan membentuk UU. Dalam konteks ini, nalar DPR dan nalar rakyat memang padu, sebagai perwujudan DPR sebagai wakil rakyat.

Kepaduan nalar rakyat selaku pemangku kepentingan dengan nalar (anggota) DPR dalam membentuk UU MD3, UU Pilkada, dan UU Advokat senyatanya tidak terjadi. Akibatnya, muncul kisruh yang memalukan antara DPR melawan rakyat.

Banyak alasan mengapa DPR tidak padu nalar dengan rakyat. Pertama, pakar tata negara secara klasik telah mengidentifikasi bahwa anggota DPR adalah para amatiran yang sejatinya memang tidak paham akan UU sebagai produk legislasi yang berkualitas yang harus dibentuk. Dalam kondisi yang tidak paham tersebut, naifnya perilaku anggota DPR berpretensi paham dan kuasa.

Kedua, anggota DPR tidak memahami substansi nilai Pancasila dan jiwa masyarakat (volkgeist)  yang seharusnya jadi nilai inti dari produk legislasi yang dibentuknya. Akibatnya, banyak UU yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dalam proses uji materi. Selama periode 2003-2014, MK telah memutuskan 519 perkara uji materi UU dan mengabulkan 133 Perkara. Artinya, sekitar 26 persen produk legislasi dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Angka tersebut sangat serius sebab lebih dari 25 persen produk legislasi inkonstitusional.

Ketiga, anggota DPR terlalu politicking, dalam arti selalu berupaya memanipulasi kewenangan legislasi yang dimiliknya untuk memperoleh keuntungan jabatan atau materi. Dalam konteks ini, anggota DPR tidak sungkan apalagi malu menjualbelikan norma legislasi yang akan dibentuknya, baik untuk memperoleh imbalan uang maupun imbalan jabatan.

Keempat, anggota DPR gagal memahami UU yang menjadi kebutuhan rakyat. Dalam konteks ini, tidak semua urusan harus diatur dengan UU dan tidak semua urusan harus diperbaiki dengan mengubah UU; sering kali cukup dengan memperbaiki peraturan pelaksananya atau teknis pelaksanaannya saja.

Kelima, produk legislasi  tidak memiliki sandaran validitas yang kokoh, menyangkut aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya.

Ketidakpaduan nalar

Ketidakpaduan nalar DPR dan rakyat dapat dipahami dalam kontroversi RUU Perubahan UU No 18/2003 tentang Advokat. Bagian menimbang RUU tersebut memang menyebutkan bahwa UU No 18/2003 tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti.

Ironisnya, tak ada data ilmiah valid yang menjelaskan UU No 18/2003 sudah tak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Isu tersebut hanya dibangun berdasarkan asumsi subyektif pemerintah dan sebagian anggota DPR yang punya kepentingan instan agar UU No 18/2003 diganti. Inilah yang jadi penyulut emosi para advokat yang justru merasa kepentingan terancam dengan kehadiran RUU Advokat.

Selain itu, RUU Perubahan UU No 18/2003 juga mengangkat isu klasik pilihan antara single bar dan multibar. Kedua pilihan tersebut memang dapat dipilih secara alternatif. Substansinya pilihan mana yang tepat dan sesuai dengan jiwa dan kultur masyarakat dan komunitas advokat Indonesia. Single bar telah dipilih dan diterapkan UU No 18/2003, yang dalam kiprahnya telah terbukti mampu menata paradigma dasar profesi advokat Indonesia dan berangsur memperbaiki kualitas dan martabat profesi advokat Indonesia, terkait dengan pendidikan, pengangkatan, dan pemberian sanksi. Oleh karena itu, senyatanya tidak ada urgensi untuk memangkas single bar menjadi multibar hanya karena  hendak mengakomodasi kepentingan sebagian advokat anggota DPR tidak lagi terpilih untuk periode berikutnya.

Mekanisme fungsional dan koordinasi organisasi multibar jauh lebih kompleks ketimbang single bar yang dipilih selama ini. Itu pun belum maksimal dalam menata dan membangun profesi advokat Indonesia agar sejajar dengan advokat asing yang secara tersembunyi telah merambah dan mendominasi jasa hukum di Indonesia. Dalam konteks ini, seyogianya anggota DPR tidak memaksa perubahan UU No 18/2003 hanya untuk kepentingan instan dengan mengorbankan kepentingan profesi advokat secara keseluruhan.

Dalam menyusun RUU Advokat, seharusnya DPR menyelami dan memahami tafsir konstitusional atas UU No 18/2003 yang telah diberikan MK dalam berbagai putusannya. MK telah memutuskan Peradi sebagai organisasi advokat Indonesia yang berstatus sebagai organ negara pelaksana UU. MK pun telah mempertahankan norma bahwa pengambilan advokat harus dilakukan di depan sidang pengadilan tinggi agar advokat memiliki legitimasi sebagai penegak hukum yang berada dalam cabang kekuasaan yudisial yang diatur Pasal 24 UUD 1945.
Berbagai persoalan itu seyogianya dipahami DPR sebagai wakil rakyat dalam menyusun UU. DPR harus mampu memahami kebutuhan dan validitas produk legislasi yang akan dibuat agar tak memunculkan kontroversi dan sengketa dengan rakyat selaku pemangku kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar