Postur
Kebijakan Luar Negeri RI
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
17 September 2014
KEBIJAKAN
luar negeri Indonesia pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi
sudah tidak lagi hanya bicara soal ”politik luar negeri”, tetapi suatu
kebijakan luar negeri menyeluruh sebagai kesadaran tercapainya kerja sama
internasional, baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan, maupun keamanan. Ini merupakan cita-cita dan menjadi asas
kebijakan bebas aktif ketika republik ini didirikan.
Kepemimpinan
Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam lima tahun ke depan menekankan visi,
”Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan
gotong royong.” Dalam lingkup lebih luas, visi ini menjadi penting untuk
menempatkan asas gotong royong sebagai fondasi utama, yang secara nyata
muncul di tengah kampanye pemilihan presiden dengan banyak relawan yang
bekerja berdasarkan asas ini.
Presiden
Soekarno menempatkan asas gotong royong sebagai pembentukan karakter nasional
agar masyarakat Indonesia dengan multibudaya dan multietnik terhindar dari
dominasi sosial, ekonomi, politik, ataupun ideologi asing yang tidak
menguntungkan Indonesia. Di bawah Jokowi-JK, kita berharap Indonesia itu
harus berdaulat secara gotong royong, mandiri secara gotong royong, dan
berkepribadian secara gotong royong sebagai kekuatan yang tidak terbayangkan.
Postur
kebijakan luar negeri Indonesia lima tahun ke depan harus dibangun, dibentuk,
dan diarahkan para diplomat sebagai profesional yang selama ini membela
kepentingan Indonesia di berbagai fora internasional. Di kalangan akademisi,
banyak suara yang memunculkan agar Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tetap
menduduki jabatannya melanjutkan upaya yang selama ini dapat dicapainya.
Suara
lain menginginkan diplomat profesional kementerian luar negeri menduduki
posisi menlu. Kita sepakat posisi menlu adalah profesional diplomat karena
beberapa faktor.
Pertama,
dunia tengah menghadapi ketakutan atas referendum Skotlandia. Referendum
Skotlandia merupakan ancaman ketika negara-bangsa dibawa kembali pada situasi
reductio ad absurdum (pengurangan bagi kemustahilan), logika berbahaya di
tengah globalisasi. Menlu era Jokowi-JK perlu memberikan pengamatan,
prediksi, dan rekomendasi jangan sampai dampak logis dengan konsekuensi tidak
masuk akal ini menjadi inspirasi luas secara global ataupun pada gagasan hak
penentuan nasib sendiri nasional (right
to national self-determination) mengancam India, RRT, Malaysia,
Indonesia, dan lainnya.
Kedua,
kebijakan luar negeri Jokowi-JK melalui reposisi sejumlah isu global akan
berhadapan dalam persoalan serius bagaimana menempatkan nasionalisme dan
globalisme secara bersamaan. Menlu 2014-2019 perlu menyusun dan menata
kebijakan kemandirian strategi agar kepemimpinan alami Jokowi-JK mampu
memberikan dimensi baru bagi sentralitas kawasan ataupun dalam konektivitas
kemaritiman nusantara.
Ketiga,
kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian secara gotong royong tidak hanya
harus terbentuk pada postur kebijakan luar negeri yang semakin rumit dan
terkait satu sama lain. Namun, menjadi inspirasi penting bagi kerja sama
domestik yang selama ini berjalan sendiri secara departemental. Kita tidak ingin
kekacauan pemikiran atau logika negara-bangsa terdesak menuju perang saudara,
seperti kawasan Balkan yang menghancurkan Yugoslavia, atau terperangkap
krisis ekonomi dan keuangan berkepanjangan sejak krisis keuangan 2008. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar