Kamis, 18 September 2014

Postur Kebijakan Luar Negeri RI

Postur Kebijakan Luar Negeri RI

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KEBIJAKAN luar negeri Indonesia pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi sudah tidak lagi hanya bicara soal ”politik luar negeri”, tetapi suatu kebijakan luar negeri menyeluruh sebagai kesadaran tercapainya kerja sama internasional, baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, maupun keamanan. Ini merupakan cita-cita dan menjadi asas kebijakan bebas aktif ketika republik ini didirikan.

Kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam lima tahun ke depan menekankan visi, ”Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.” Dalam lingkup lebih luas, visi ini menjadi penting untuk menempatkan asas gotong royong sebagai fondasi utama, yang secara nyata muncul di tengah kampanye pemilihan presiden dengan banyak relawan yang bekerja berdasarkan asas ini.

Presiden Soekarno menempatkan asas gotong royong sebagai pembentukan karakter nasional agar masyarakat Indonesia dengan multibudaya dan multietnik terhindar dari dominasi sosial, ekonomi, politik, ataupun ideologi asing yang tidak menguntungkan Indonesia. Di bawah Jokowi-JK, kita berharap Indonesia itu harus berdaulat secara gotong royong, mandiri secara gotong royong, dan berkepribadian secara gotong royong sebagai kekuatan yang tidak terbayangkan.

Postur kebijakan luar negeri Indonesia lima tahun ke depan harus dibangun, dibentuk, dan diarahkan para diplomat sebagai profesional yang selama ini membela kepentingan Indonesia di berbagai fora internasional. Di kalangan akademisi, banyak suara yang memunculkan agar Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tetap menduduki jabatannya melanjutkan upaya yang selama ini dapat dicapainya.

Suara lain menginginkan diplomat profesional kementerian luar negeri menduduki posisi menlu. Kita sepakat posisi menlu adalah profesional diplomat karena beberapa faktor.

Pertama, dunia tengah menghadapi ketakutan atas referendum Skotlandia. Referendum Skotlandia merupakan ancaman ketika negara-bangsa dibawa kembali pada situasi reductio ad absurdum (pengurangan bagi kemustahilan), logika berbahaya di tengah globalisasi. Menlu era Jokowi-JK perlu memberikan pengamatan, prediksi, dan rekomendasi jangan sampai dampak logis dengan konsekuensi tidak masuk akal ini menjadi inspirasi luas secara global ataupun pada gagasan hak penentuan nasib sendiri nasional (right to national self-determination) mengancam India, RRT, Malaysia, Indonesia, dan lainnya.

Kedua, kebijakan luar negeri Jokowi-JK melalui reposisi sejumlah isu global akan berhadapan dalam persoalan serius bagaimana menempatkan nasionalisme dan globalisme secara bersamaan. Menlu 2014-2019 perlu menyusun dan menata kebijakan kemandirian strategi agar kepemimpinan alami Jokowi-JK mampu memberikan dimensi baru bagi sentralitas kawasan ataupun dalam konektivitas kemaritiman nusantara.

Ketiga, kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian secara gotong royong tidak hanya harus terbentuk pada postur kebijakan luar negeri yang semakin rumit dan terkait satu sama lain. Namun, menjadi inspirasi penting bagi kerja sama domestik yang selama ini berjalan sendiri secara departemental. Kita tidak ingin kekacauan pemikiran atau logika negara-bangsa terdesak menuju perang saudara, seperti kawasan Balkan yang menghancurkan Yugoslavia, atau terperangkap krisis ekonomi dan keuangan berkepanjangan sejak krisis keuangan 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar